Sabtu, 05 Februari 2011

Waspada (Muraqabba)

A’uudzu bilaahi minasy syaythaanir rajiim

Bismillahir rahmaanir rahiim

Allahumma shalli ‘alaa Muhammadin wa ‘alaa aali Muhammadin wa sallim

La hawla wa la quwwata illa billahil `aliyyil `azhiim

Rabbi yassir wa la ta’ssir Rabbi tammim bi-l khayr

(Ya Allah… jadikanlah segalanya menjadi mudah, jangan biarkan kesulitan membelenggu diriku, ya Allah… jadikanlah akhir dari setiap upaya ini semata-mata berupa kebaikan)

Sidi Jalaluddi Rumi k berkata, “Wahai dikau yang kehausan dan tak berarah, datanglah! Kami adalah insan-insan yang meminum ‘air’ Makrifat Sayyidina Khidir dari arus sungai beliau. Jikalau kalian tidak dapat ‘melihat air’ itu secara nyata, maka berbuatlah seolah-olah engkau seorang tuna netra. Bawalah sebuah ‘tempayan’ sebagai tempat untuk menangguk ‘air’, dan masukkanlah tempayan itu ke dalam arus sungai. Tenggelamkan dirimu sedalam-dalamnya ke dalam ‘arus sungai’ tersebut, sampai dirimu merasakan suatu sentuhan yang berbobot. Ketika sentuhan itu mulai terasa, berarti engkau telah mengalami suatu bimbingan spiritualitas. Pada saat itu kalbu kalian mulai terlempar dari kehampaan dan kepura-puraan menuju kepada suatu pengalaman ruhaniah yang nyata. Benang merah inilah yang acap kali dilakukan oleh para Awliya Allah (Syaikh, serta penuntun ruhani kita), sehingga hal tersebut haruslah menjadi bahan perenungan dan pendalaman kita mengenai makna muraqaba. Walaupun hal ini bukanlah sesuatu yang amat penting, tetapi merupakan sesuatu yang ‘wajib’ bagi para pengikut thariqat.

Pada kenyataan praktisnya, kita akan melatih beberapa kali secara bersama dan kita berharap dapat melakukannya secara terus-menerus di waktu yang akan datang. Dengan cara tersebut, kita akan menggapai thariqat ataupun ‘jalan yang lurus’ sebagai suatu kebiasaan yang konstan. Jika seseorang memberi kalian suatu format/awrad dengan jumlah yang terdefinisi dan telah ditetapkan, maka kalian harus teguh pada bilangan tersebut. Memang setiap bilangan akan merujuk pada jumlah yang terbatas. Sedangkan dzikir adalah sebuah perjalanan menuju cakrawala yang tidak terbatas, karena dia tak berawal dan tak berakhir. Tetapi bilangan tersebut merupakan latihan spiritual, serta cerminan disiplin kita. Muraqaba adalah cara yang partikular untuk melatih kalbu, dan sangat biasa dilakukan oleh para pengikut thariqat. Dalam kebiasaan kita, yaitu Khatam Khwajagan, kita melakukan rabitha, artinya, kita menenggelamkan kalbu ke dalam hubungan spiritual seperti yang telah diungkapkan di atas. Ada beberapa alasan mengapa hal ini terjadi dan dilakukan—kita diperintahkan untuk melakukannya! Seperti halnya setiap amalan kalbu, demikian pula dalam rabitha, pada awalnya harus memiliki batasan, walaupun selanjutnya amalan tersebut untuk dilakukan secara tidak terbatas. Langkah rabitha seperti inilah yang akan membawa dan mengarahkan kita kepada muraqaba. Mengenai muraqaba itu sendiri, kita temui lebih banyak lagi dalam Hadits Nabi yang banyak kita kenal.

Ketika sayyidina Jibril pada suatu kesempatan mengunjungi baginda Rasulullah , beliau menanyakan hal mengenai Islam, Iman dan Ihsan. Muraqaba adalah suatu jargon yang sangat berkaitan dengan Ihsan—ketika kita beribadah kepada Allah , seakan-akan kita melihat Dia. Walaupun kita tidak mampu melihat Dia; Dia pasti melihat kita. Ini adalah bentuk pelatihan untuk menjadi Ihsan—dan Tasawwuf (Sufisme Islam) adalah media untuk merunutnya. Hal inilah yang membuat tasawwuf sangat menarik sebagai bagian dari Din-al Islam. Bagian yang tertinggi. Dalam tingkatan yang sudah demikian pencapaiannya—Allah -lah Yang Memiliki Haqiqatul Akbar. Apa itu Haqiqat? Yaitu suatu kondisi, di mana pada saat engkau menyembah-Nya, seakan-akan engkau melihat-Nya dan walaupun engkau tidak melihat-Nya, Dia melihatmu. Haruslah kita selalu waspada bahwa Dia selalu melihat kita. Jika suatu saat kalian berkata bahwa, “Aku ini ahli tasawwuf,” maka kalian tidak pantas berkata, “Di mana Allah ? Aku tidak melihat-Nya. ” Itu berarti kalian belum masuk ke tingkat Ihsan. Kalian harus selalu istiqamah untuk melakukan hal tersebut. Di dalam apa yang dicontohkan oleh Rasulullah , ada yang disebut dengan musyahada. Hal ini tentu tidak mudah untuk dicapai. Musyahada disebut juga ‘bersaksi’. Muraqaba (berasal dari kata raqaba/raqib) itu sendiri merupakan faktor kedua setelah kondisi kesaksian ini karena dia menyangkut kesadaran bahwa kita diamati oleh-Nya.

Sidi Muhyidin Ibnu Arabi menerangkan bahwa asal kata ini berakar dari ayat terakhir Ayat Kursi, “Wa laa ya-uuduhu hifzhuhumaa…” Dia (Allah ) adalah Raqib as-samawaati wa-l-ardh (Pemilik Alam Dunia dan Akhirat). Muraqaba dari seorang hamba merupakan implikasi dan imitasi dari Atribut Ilahi, yaitu al-Raqib atau Dia Yang Memiliki Pengelihatan atas Segala Sesuatu dengan Segala Yang Dia Miliki. Muraqaba yang kita laksanakan merupakan khazanah kesadaran bahwa Dia melihat kita. Dia melihat di setiap lingkup Waktu yang ada, sebagaimana Waktu adalah Dia. Waspadalah mengenai hal ini. Dia mengawasi di dalam setiap untaian waktu, siang dan malam hari. Pada kondisi biasa-biasa saja, tingkatan kewaspadaan tersebut tidak melekat pada diri kita. Mengapa? Karena kita terlalu sibuk dengan kehidupan yang serba materialistik—yang kita anggap lebih bernilai. Kita sudah sedemikian tenggelamnya dalam atribut yang mendunia. Dunia memang diciptakan untuk ‘merayu’ kita. Namun demikian, melalui dunia pula kita dapat mengambil hikmah untuk selalu mencari-Nya. Kita pun tak pantas berkata bahwa kita akan lebih baik jika tidak berada di dunia; karena kalau bukan karena “dunia”, bagaimana kita mengenal Dia? Sekarang permasalahannya adalah, kita berada dalam situasi sedemikian rupa, dan tidak ‘bersama’ Dia.

Ibnu Ata`illah berkata, “Subhanallah! Segala Puji bagi Allah Yang Menciptakan segala yang tak berawal.” Dia menciptakan suatu lapisan selubung, dan hal tersebut ghaib. Hanya dengan usaha mendekati ‘selubung’ tersebut, kita akan mengerti ‘apa’ di balik semua ini. Segala format ritual yang kita laksanakan bukanlah untuk menyingkirkan atau menyingkir dari dunia, tetapi mencoba memahami untuk apa dunia ini diciptakan. Kita harus mengerti hal itu. Muraqaba adalah usaha untuk menjadi sadar, dan lebih sadar lagi. Kita harus memulai dengan hal-hal yang sederhana dulu, sebelum melangkah kepada hal yang lebih besar. Walaupun, pada kenyataannya apa yang kita sebut ‘kecil’ pun sebenarnya tidak kecil; tetapi sangat besar. Apa saja ‘perbekalan’ kita untuk ‘melihat’ Allah ? Kita hanya punya daya imajinasi saja. Maulana Syaikh membacakan suatu ayat yang menyatakan bahwa Allah bersama kita, di mana pun kita berada. Cobalah berimajinasi bahwa Dia bersama kalian. Oleh karena itu, cobalah melakukan satu langkah lebih awal, yaitu membayangkan bahwa Rasulullah selalu bersama kalian. Beberapa dari kita bisa diberikan karunia untuk dapat merasakan/melihat itu, tetapi pada umumnya jarang sekali. Jadi, apa yang kita lakukan adalah ‘membayangkan’ seseorang yang memang sudah berada di jalur Rasulullah. Dengan metode ini, tentunya akan sangat mudah bagi kita. Kita bisa melakukannya setiap saat. Ketika kita ingin melakukan muraqaba, kita akan menemukan kemudahan. Orang akan selalu bertanya mengenai bagaimana caranya, khusunya orang-orang Barat atau orang-orang yang bersikap serba rasional. Bahkan mereka pernah bertanya kepada Maulana Syaikh, bagaimana caranya mengungkapkan cinta. Yang terpenting di sini sebagai jawaban adalah, bagaimana kita membuat sesuatu menjadi sederhana atau mudah. Apa yang kita laksanakan dalam muraqaba adalah: berpakaian serba putih dan duduk dengan khusuk. Hikmah yang dapat diperoleh adalah kita dapat memperoleh kekuatan spiritual yang dahsyat. Kalian bisa melakukannya kapan saja, khususnya di malam hari. Harus dicapai kondisi ghusl, yaitu mandi terlebih dahulu (suci hadats besar), segala sesuatu harus dibersihkan, karena hal tersebut sangat penting. Muraqaba ini merupakan sebuah langkah dalam penyucian kalbu (tazkiya tun-nafs). Lahir dan batin harus suci. Kemudian duduk dengan khusuk lalu berkatalah dalam kalbu, di dalam kehadiran Maulana Syaikh, Rasulullah , dan Allah , “Engkau bersamaku sepanjang hari, tetapi akulah yang tidak bersama-Mu. Sekarang aku mencoba meninggalkan segalanya demi kesungguhanku untuk bersama-Mu. Diriku tidak mampu untuk bersama-Mu dalam keadaan aku bersama atribut keduniaan.” Inilah kiranya suatu cara untuk membersihkan batin. “Aku duduk bersama-Mu dalam kehadiran waktu, aku selalu berusaha untuk bersama-Mu.”


Untuk itu kita harus duduk dalam kesunyian dan kegelapan. Kita harus seksama mengosongkan diri kita dari berbagai keburukan. Mengapa keburukan-keburukan itu tidak condong untuk menginggalkan kita? Karena kita menyukainya. Malah seringkali kita ini ‘gemar’ dengan penderitaan dan kesedihan yang kita buat sendiri. Ada sebuah cerita dari sebuah negeri di timur, di mana terdapat sekelompok orang yang berkonsentrasi pada meditasi ala Jepang. Di sebuah kuil Zen, pengunjung diantar berkeliling kuil oleh pembimbingnya langsung. Pengunjung tersebut mengatakan bahwa tempat ini pastilah tempat yang suci, karena banyaknya orang yang duduk dalam posisi yang khas dan meditatif. Lalu timbullah pertanyaan, “Mereka sedang bermeditasi apa?” Pembimbing menjawab, “Orang ini bermeditasi mengenai film yang dia tonton semalam; yang ini mengenai tempat tidur, dan lain-lain.” Setiap orang sedang melakukan ‘muraqaba’ dengan versinya masing-masing. Mereka melakukannya untuk hal-hal yang salah! Kalian harus mengerti kepada ‘Siapa’ ber-muraqaba harus diarahkan! Suatu ketika seorang anak muda datang kepada Syaikh, “Maulana, Saya bingung—berilah saya rasa damai. Beberapa waktu yang lalu, saya jatuh cinta kepada seorang gadis, dan kami sempat memutuskan untuk menikah. Tetapi di lain pihak, dia menemukan pria lain yang dia suka dan malah akhirnya merekalah yang menikah! Saya sangat menderita akibat hal ini, tak tahan rasa sakitnya.” Lalu Syaikh menjawab, “Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Temui gadis lain dan nikahi dia.” Si anak muda menjawab, “Usul yang baik, Syaikh! Tetapi pikiran saya selalu terbersit oleh kenangan akan gadis itu dan jikalau saya mencoba jutaan kali, Saya tidak bisa melupakannya. ” Syaikh bertanya, “Mengapa kamu sampai mengingatnya seperti demikian?” Anak muda itu menjawab, “Sebenarnya bukan saya sengaja melakukannya, tetapi selalu saja hal itu datang ke ingatanku Syaikh. Selalu saja bayangannya melewati nuansa pikiran ini.

Nah bukankah hal ini sangat luar biasa? Si anak muda tidaklah sampai menyembah gadis itu; tidak pernah menerima formulasi wirid dari gadis itu yang memuat nama-nama atribut sang gadis. Inilah konsekuensi dari kebersamaan. Ketika meletakkan seseorang di kalbu dengan rasa cinta (mahabbah), kita tidak akan mampu untuk menghilangkannya. Inilah buahnya muraqaba. Lalu mengapa kita tidak melakukan hal tersebut terhadap Syaikh atau guru kita? Sang Syaikh hanya memerlukan satu kali untuk memasuki kalbu dan pikiran kita—lalu akan terus bersemayam di dalamnya terutama setelah mahabbah, kita pun berkonjugasi dengan itu. Para jamaah seringkali mengatakan, “Ya Maulana, kami sudah mencoba muraqaba, tetapi sesaat pada saat dimulai, semua hal yang bersifat keduniaan malah menghampiri kami. Suasana kantor, pekerjaan, anak-anak. Lantas kami harus apa? Syaikh menjawab, “Kalian telah membuat suatu muraqaba. Kalian harus puas dengan hasil tersebut. Memiliki suasana pekerjaan, kantor, dan anak-anak dalam pikiran dan kalbu, itu pun muraqaba namanya. Setiap hal yang kalian cintai, sudah diusahakan, cita-citakan atau tercapai sepanjang hidup kalian selama ini, akan membuah dengan sendirinya di dalam diri kalian. Saya pun berada dalam situasi yang sama. Saya ber-muraqaba kepada Syaikh saya. Saya memeluk dan mencium tangan dan kakinya. Sekarang hal-hal kecintaan tersebut secara terus-menerus membuah di dalam kalbu saya. Dalam kalbu ini terus berkata, “Ya Maulana, ya Maulana,” walaupun pikiran kita tidak memerintahkannya. Ketika sebuah objek yang menimbulkan mahabbah itu sudah bervibrasi di dalam kalbu, pada saat itu kalian sudah dalam kondisi muraqaba. Ketika semua vibrasi ini berulang, dan berulang lagi, maka objek itu sendiri akan hilang. Inilah tingkatan tertinggi dalam muraqaba. Hal ini bergantung kepada siapa yang kalian cintai.

Seorang jamaah yang melakukannya dalam kondisi bising mengalami kesulitan, karena dia tidak dapat mendengar ‘suara dari dalam dirinya.’ Sebenarnya hal itu mudah saja, asal kita mau berusaha setenang mungkin. Salah satu cara yang paling efektif adalah jangan bergerak sama sekali. Duduk dengan rileks dan jangan tegang. Biarkan tubuh kalian jatuh, ini bagian dari usaha pengosongan atribut keduniaan tersebut. Lepaskan. Ingat akan Syaikh atau guru-guru kita, ingat bahwa Syaikh mampu untuk melihat hal itu. Ketika kalian bernafas dengan tenang, ucapkan di setiap nafas itu, ALLAH, ALLAH, ALLAH, ALLAH! Demikian selanjutnya—tak perlu metode lain.

Wa min Allah at taufiq bi hurmatil habib bihurmatil Faatiha.


MEDITASI SUFI

Muraqabah adalah meditasi. Meditasi adalah konsentrasi
dan fokus. Meditasi adalah meminta dan mencari jalan
untuk mencapai apa yang Anda cari. MEDITASI SUFI
adalah tingkat terakhir, titik akhir dari
spiritualitas yang mampu kita capai. Meditasi bukannya
duduk di atas kaki Anda, bersila, memejamkan mata
sambil berpikir bahwa Anda telah mencapai apa yang
sedang Anda cari. Hal tersebut hanyalah imitasi, bukan
meditasi sebenarnya.

Meditasi bukanlah bagi pemula. Ini merupakan tingkat
akhir pagi para darwish dalam Thareqat ini, tingkat
tertinggi bagi amalan Sufi. Meditasi bukan untuk semua
orang. Pertama-tama para pemula harus di persiapkan
dan di latih melalui latihan-latihan spiritual lain
yang mengarah pada perkembangan dari berbagai
karakteristik yang diperlukan untuk mencapai
tingkatan meditasi. Dia harus belajar tata cara dan
menguasai metode sufisme untuk mencapai titik itu. Dia
harus di latih.

Latihan ini amat penting, karena meditasi meminta Anda
untuk menghentikan berbagai perasaan dan keinginan.
Anda harus menghilangkannya untuk menyiapkan diri,
bahkan pada tahap awal meditasi. Diri Anda dipenuhi
dengan berbagai hal yang tidak manfaat dan ini harus
disucikan, juga belajar untuk mengendalikan berbagai
pikiran dan perasaan sebelum pelaksanaan meditasi Sufi
Anda berhasil. Meditasi Sufi adalah sebuah ‘koneksi
atau hubungan’, dan fisik Anda harus mampu membawa
‘koneksi’ ini.

Jika melakukan meditasi namun Anda masih di bawah
kontrol nafsu-nafsu, maka meditasi Anda tidak akan
berhasil. Mungkin Anda mengira sedang bermeditasi,
namun sebenarnya hanya menipu diri sendiri. Anda tidak
akan berhasil dalam disiplin ini tanpa mulai dengan
penyucian diri dan belajar bagaimana menghentikan
gangguan-gangguan tersebut. Dalam meditasi Sufi, Anda
harus melepaskan segala keinginan-keinginan selain
cinta pada dia yang sedang menjadi tujuan meditasi
Anda. Lenyapkan segala nafsu keinginan kecuali cinta
pada yang dituju. Jika tersisa keinginan lain, maka
meditasi Anda tak membuahkan apapun. Mungkin Anda
menyatakan kalau Anda mempraktekkan meditasi namun hal
itu tidak berdasar.

Laksana sebuah sungai mengalir ke samudra, setelah
sampai maka merekapun menyatu, maka demikian pula
halnya dengan jalan meditasi Sufi yang mengarahkan
para pencari pada kefanaan di dalam apa yang sedang
dia cari. Bagaimanapun, para pencari harus
mempertahankan pikiran tunggal untuk mencapai tujuan
akhirnya. Hanya jika dia berkemauan dan mampu
meninggalkan segala hal dan kembali ke dalam dirinya
dengan perhatian tak terbagi, maka dia mampu
menjelajahi jalur ini sampai akhir. Jika berhasil,
baru dia akan menemukan apa yang di carinya.

Guna 'Ilmu

Telah menjadi fitrah murni setiap manusia, apa pun kaum atau bangsa, suka kepada ilmu. Justru itulah setiap orang berlomba-lomba menuntut dan mencari ilmu di dalam berbagai-bagai bidang. Pada Islam ia didorong kembali oleh ajaran agamanya. Sebagaimana firman Allah:

Al Mujadalah 11

Artinya: “... supaya Allah meninggikan darjat orang yang beriman di kalangan kamu dan orang yang diberi ilmu pengetahuan, beberapa darjat.” (Al Mujadalah: 11)

Sabda Rasulullah SAW:

hadist-menuntut-ilmu

Artinya: “Menuntut ilmu itu wajib ke atas setiap muslimin dan muslimat.”

Sabda baginda lagi:
Artinya: “Kelebihan orang yang berilmu atas orang yang abid seperti kelebihanku atas orang yang terendah dari umatku.” (Riwayat At Tarmizi)

hadist-kelebihan-orang-ilmu

Artinya: “Kelebihan orang yang berilmu atas orang yang abid ibarat bulan purnama terhadap seluruh bintang.” (Riwayat Abu Daud)

Dalam Islam, menuntut ilmu itu adalah wajib, ilmu itu sendiri ada yang fardhu ain, ada yang fardhu kifayah. Manusia suka menuntut ilmu karena memandang peranan ilmu itu di dalam kehidupan sangat memberi faedah-faedah dan memberi kesan, antaranya:

1. 1. Orang yang bodoh susah berhadapan dengan kehidupan yang bersimpang-siur dan pancarobanya, maka perlu ilmu untuk berhadapan dengannya.
2. 2. Dengan ilmu pengetahuan manusia dapat maju di dalam bidang ekonomi
3. 3. Dengan ilmu pengetahuan manusia dapat maju di dalam bidang pembangunan.
4. 4. Dengan ilmu pengetahuan manusia dapat maju di dalam bidang perhubungan.
5. 5. Dengan ilmu pengetahuan manusia dapat maju di dalam bidang ketenteraan dan persenjataan.
6. Dengan ilmu pengetahuan manusia dapat maju di dalam berbagai-bagai bidang yang lain.
7. Dengan ilmu pengetahuan manusia dapat memberi makan otak dan jiwa.
8. Dengan ilmu pengetahuan manusia dapat menjadi kawan di waktu dan suasana apapun.
9. Dengan ilmu pengetahuan manusia dapat membawa kehidupan yang mudah dan senang.
10. Dengan ilmu pengetahuan manusia biasa dapat menguasai orang atau kaum dan bangsa-bangsa yang bodoh.
11. Dengan ilmu pengetahuan manusia dihormati dan disegani orang.
12. Dengan ilmu pengetahuan manusia mudah membuat kerja yang susah.
13. Dengan ilmu pengetahuan manusia mudah mendapat kejayaan dunia dan Akhirat.
14. Dengan ilmu pengetahuan manusia biasa dia memimpin orang yang bodoh.
15. Dengan ilmu pengetahuan jarang orang menjadi miskin.
16. Dengan ilmu pengetahuan manusia mendapat harta dan kekayaan.
17. Dengan ilmu pengetahuan manusia mendapat kuasa.

Walaupun telah menjadi fitrah manusia suka dengan ilmu pengetahuan dan berusaha mencarinya, namun tidak semua orang dapat memiliki ilmu yang banyak dan tinggi. Di antara sebabnya adalah seperti berikut:

1. Karena seseorang itu Allah Taala telah takdirkan lemah akal fikirannya. Dengan sebab itu dia tidak mampu menimba ilmu yang banyak.
2. Mungkin seseorang itu tidak dapat peluang belajar dengan cukup karena kemiskinan dan kesusahan hidup.
3. Kerana tidak ada peluang-peluang kemudahan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang tinggi seperti tempat belajar jauh.
4. Karena ditakdirkan oleh Allah Taala selalu sakit atau kecacatan anggota maka tidak cergas dalam menuntut ilmu.
5. Karena seseorang itu cepat berkahwin maka terhalanglah untuk mendapat ilmu yang banyak.
6. Karena seseorang itu atau sesuatu kaum atau bangsa itu tidak bersungguh-sungguh menuntut ilmu pengetahuan atau malas menuntut ilmu.

Di antara sumber-sumber ilmu ialah:

1. Melalui belajar dan membaca, membuat kajian.
2. Melalui pengalaman.
3. Bagi rasul atau nabi melalui wahyu.
4. Bagi orang yang bertaqwa, melalui ilham.

Orang yang menuntut dan mencari ilmu ada beberapa golongan. Di antaranya adalah:

1. Menuntut dan mencari ilmu karena ilmu semata-mata. Dia sangat senang, mabuk dan asyik dengan ilmu. Inilah golongan orang yang mencari ilmu karena ilmu semata-mata atau golongan mabuk ilmu.
2. Orang yang mencari ilmu karena menginginkan kekayaan dan harta dunia. Dengan ilmu yang banyak dan tinggi, dapat menjabat pada jabatan yang tinggi dan dapat gaji besar. Dengan ilmu juga orang menjadi pandai berniaga. Dengan berniaga, akan mendapat kekayaan dan harta. Inilah golongan menggunakan ilmu untuk mendapat kekayaan.
3. Ada orang mencari ilmu karena ingin menjadi pemimpin. Seseorang yang hendak menjadi pemimpin mesti ada ilmu. Kalau tidak, sudah tentu tidak dapat memimpin orang. Atas sebab ini, ada golongan memburu ilmu. Inilah golongan yang menggunakan ilmu untuk menjadi pemimpin.
4. Ada setengah golongan bersungguh-sungguh mencari ilmu karena ingin nama dan glamour. Agar orang menganggap dia golongan intelek. Moga-moga dia dihormati orang dan moga-moga namanya masyhur. Inilah golongan ahli ilmu yang inginkan nama.
5. Ada orang belajar ilmu karena hendak keluar dari kebodohan dan kejahilan. Agar jangan orang memandang hina. Jahil itu dipandang tidak baik. Maka mereka pun belajar ilmu pengetahuan hingga menjadi orang yang pandai. Inilah golongan ahli ilmu yang mendapatkan ilmu agar tidak terhina.
6. Ada orang menuntut dan mencari ilmu karena ingin membangun dan maju demi kedaulatan dan kemegahan bangsa dan negara. Agar jangan bangsanya mundur dan terhina. Inilah golongan ahli ilmu yang berfahaman nasionalisme.
7. Orang yang menuntut ilmu karena perintah Allah Taala. Juga dengan tujuan agar dapat mengamalkan ilmu supaya dapat mengabdikan dan mendekatkan diri kepada Allah Taala. Moga-moga dengan itu mendapat keredhaan Allah Taala dan terselamat dari kehinaan di dunia dan di Akhirat. Golongan ini menggunakan ilmu untuk membangunkan ekonomi, ketenteraan, pertanian, bangunan, sekolah, pemerintahan, jalan raya dan lain-lain lagi. Ia adalah dengan tujuan agar dapat melindungi iman, memperkuatkan syariat, membesarkan syiar Tuhan dan mendaulatkan hukum-hukum Tuhan. Justru itu, di dalam membangun melalui ilmunya, mereka sangat menjaga syariat, terlalu menjaga halal dan haram, tidak lari daripada disiplin Islam hingga seluruh usaha dan kemajuan yang dibangunkan menjadi ibadah, menjadi amal soleh, dianggap jihad fisabilillah dan diberi pahala yang besar oleh Allah Taala yang Maha Pemurah. Inilah golongan ahli ilmu yang bertaqwa.

Kita umat Islam, dalam menuntut dan mencari ilmu biarlah menjadi golongan yang ketujuh itu, yaitu mencari ilmu karena Allah Taala. Kalau bukan karena Allah Taala, termasuk orang yang rugi. Kalaupun mendapat untung di dunia, namun rugi di Akhirat karena masuk Neraka. Wal‘iyazubillah.

Sabda Rasulullah SAW:
Artinya: “Siapa yang menuntut ilmu dengan maksud untuk bersaing dengan para ulama atau untuk mujadalah dengan orang-orang yang jahil atau untuk mengambil perhatian manusia, ia akan masuk Neraka.”

Sabda baginda lagi:
Artinya: “Barang siapa yang bertambah ilmunya tetapi tidak bertambah amalannya dia akan bertambah jauh dari Allah.”

Sajak 1
Ilmu Penyuluh Hidup

Bagi orang mukmin, ilmu adalah penyuluh hidupnya!
Pengalamannya adalah pengajaran, iktibar dan penasihatnya
Takutnya kepada Tuhan adalah pengawal diri
Sabarnya adalah perisai hidupnya
Redha dengan Tuhan karena baik sangka dengan Tuhannya
Tawakalnya adalah harapan masa depannya
Bacaan Al Quran adalah hiburannya
dan bercakap-cakap dengan Tuhan
Juga perbualannya dengan Tuhan Pencipta manusia
Selawat adalah penyejuk dan pelembut hatinya
Doa dan permintaannya kepada Tuhannya tanda dia hamba
Hamba adalah hina, lemah,
memerlukan pertolongan Tuhannya
Shalatnya adalah pembaharuan ikrar
dan membaharukan syahadah
Serta membersihkan jiwa dari mazmumah
Begitulah peranan setengah daripada sifat-sifat mahmudah
Juga setengah dari peranan mendirikan shalat
Kalau begitu coba gambarkan
orang yang tidak shalat
Yang juga memiliki sifat-sifat mazmumah
Artinya segala masalah berkumpul di kepala dan jiwanya
Bagaimana tidak menderita dan tersiksa
Mampukah menanggungnya?!



Sajak 2
Berlindung dari Ilmu yang Tidak Bermanfaat

Marilah kita berlindung dengan Allah
daripada ilmu yang tidak memberi manfaat
Karena ia akan menjadi beban di Akhirat
Bahkan ia akan melaknat
Sohibul ilmi masuk ke dalam Neraka
500 ratus lebih dahulu daripada penyembah berhala
Ilmu yang tidak memberi manfaat, niat bukan karena Allah
Bila diperolehinya hanya untuk mujadalah dan bermegah-megah
Untuk diforum-forumkan dan disyarah-syarahkan,
bukan diamalkan, tapi penuh dengan ujub dan riyak
Mementingkan kertas kerja jadi budaya,
kemudian mesti diberi upah
Setiap apa yang hendak disampaikan mesti ada ganjarannya
Kalau tidak, ilmu tidak akan disampaikan
Makin bertambah ilmu, makin nampak bongkak
dan sombongnya
Dan terasa ‘orang luar biasa’ dengan ilmunya
Jika ada orang yang lebih darinya, sakit hatinya
Bila berbincang dia mau menang saja
Kalau kebenaran itu datang daripada orang lain,
susah mau menerimanya
Gambaran peribadi Rasulullah SAW tidak ada pada dirinya
Peribadinya seperti orang biasa, bahkan nampak angkuhnya
Orang ini tidak akan bergaul
dengan orang yang dipandang rendah
Kecuali keadaan memaksanya
Inilah dia ulama suk yang disabdakan oleh Rasulullah
Kita disuruh jauhi mereka
Bahkan disuruh takut lebih daripada seekor singa yang galak
Karena ia akan melalaikan.

(Dari buku Buah Fikiran Siri 1 yang berisi buah fikiran dan ilham dari Abuya Ashaari Muhammad at Tamimi)

Fardu Ain 'Ilmu

Dalam mencari ilmu dan pengalaman, umat Islam ada dua dorongan yaitu dorongan fitrah dan dorongan imannya. Keinsafan dan kesadaran juga merupakan dorongan. Pada orang lain hanya ada satu dorongan. Kalau ibarat kendaraan, orang yang bukan Islam hanya ada satu mesin, sedangkan orang Islam memiliki dua mesin. Tentunya kendaraan dua mesin lebih kencang daripada kendaraan yang mesinnya satu.

Karena itulah umat Islam di zaman imannya kuat dan ketaqwaannya tebal yaitu di zaman Rasulullah SAW, zaman Sahabat, zaman Tabiin dan zaman Tabi‘it Tabiin, mereka sangat cepat menguasai ilmu dan pengalaman dibandingkan bangsa-bangsa lain sebelum kedatangan Islam seperti Rom, Parsi dan juga bangsa China. Umat Islam dapat menguasai ilmu dalam masa yang singkat karena ada dua dorongan seperti yang telah disebutkan tadi. Akhirnya umat Islam menguasai politik dunia dan ilmu pengetahuan. Mereka menjadi guru kepada bangsa-bangsa di dunia. Mereka dikagumi dan dihormati bahkan disayangi karena mereka membawa bersama akhlak mulia yang dipimpin oleh wahyu.
Di dalam kitab suci Al Quran, banyak kita temui ayat-ayat yang memiliki maksud:
“Mengapa kamu tidak menggunakan akal.”
“Mengapa kamu tidak berfikir.”
“Mengapa mereka tidak mengambil perhatian (pengajaran).”

Firman Allah SWT:
Artinya: “Hendaklah kamu berjalan di atas muka bumi kemudian maka kamu lihatlah betapa kesudahan mereka yang berdusta.” (Al An’am: 11)

Mula-mula umat Islam menumpukan sepenuh masa mengkaji ilmu wahyu (Al Quran dan Sunnah). Ilmu wahyu inilah sebagai asas ilmu umat Islam karena ilmu wahyu merupakan ilmu dunia Akhirat kepada umat Islam. Mereka menghafal, menghayati, mengamalkan serta memperjuangkan. Mereka berlomba-lomba mengembangkan dan menyampaikan kepada kaum-kaum dan bangsa-bangsa di dunia di waktu itu.

Setelah benar-benar matang dan mantap ilmu wahyu itu serta telah tersebar luas, maka umat Islam pun meneroka ilmu-ilmu di luar Islam. Bermula di zaman kerajaan Abbasiah, mereka menterjemahkan kitab-kitab orang Rom, bangsa Yunani, Parsi dan lain-lain lagi. Mereka mengkaji, menilai, menyaring dan memperluaskan ilmu yang tidak bercanggah dengan ajaran Islam. Mereka jadikan ilmu itu hak milik mereka sehingga ia jadi satu cabang dari ilmu Islam seperti ilmu mantik. Maka lahirlah ahli-ahli falsafah Islam, ahli-ahli perubatan, ahli kimia, ahli geografi, ahli falak, ahli sejarah, ahli sains dan lain-lain lagi.

Akhirnya ilmu umat Islam menggabungkan ilmu wahyu dengan ilmu akal. Ilmu nakli bergabung dengan ilmu akli. Maka bertambah luas lagi ilmu umat Islam. Ilmu wahyu atau nakli membangunkan jiwa mereka. Ilmu akli membangunkan akal dan material mereka. Lahirlah tamadun lahir dan tamadun batin atau tamadun dunia dan tamadun Akhirat. Juga disebut tamadun material dan tamadun spiritual atau rohani. Tamadun kebendaan dan tamadun akhlak atau tamadun ekonomi dan tamadun budi pekerti. Bergabunglah kebaikan dunia dengan kebaikan Akhirat. Sesuai dengan doa yang diajarkan oleh Allah yang Maha Agung melalui firman Allah dalam Al Quran:
Artinya: “Wahai Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di Akhirat, dan peliharalah kami dari azab Neraka.” (Al Baqarah: 201)

Waktu itu keperluan-keperluan kehidupan mereka mewah, ibadah mereka mewah dan budi pekerti mereka juga mewah. Mereka sangat mewah dengan sifat-sifat pemurah, timbang rasa, bertolak ansur, malu, sopan santun, merendah diri, bekerjasama, tolong menolong, mengutamakan orang lain, ziarah-menziarahi, nasihat-menasihati, memberi dan menerima serta hormat-menghormati.

Sajak 1
Ilmu Melahirkan Tamadun
Ilmu pengetahuan perlu dicari
Jangan diabaikan dan dicuaikan
Setelah dapat, perlu diamalkan
Ia akan melahirkan kemajuan
Ilmu tauhid, ilmu pembangunan
Dua ilmu ini mesti digabungkan
Agar pembangunan bertunjangkan iman
Itulah yang disuruh oleh Tuhan
Ilmu adalah harta
Lebih baik daripada uang
Dengan ilmu mendapatkan harta
Tapi harta tidak mendapatkan ilmu
Tiada ilmu tiada kemajuan
Bagaimana hendak membangunkan bangsa
Ada ilmu ada kemajuan
Dengan ilmu boleh jadi bangsa maju
Kemajuan perlu dibangunkan
Pembangunan perlu ada ilmu
Satu bangsa tiada kemajuan,
selamanya jadi bangsa terhina

Sajak 2
Kehebatan Ilmu Orang Bertaqwa
Banyak orang dapat jadi pandai hasil membaca dan belajar
Berbagai-bagai ilmu dia perolehi
hasil membaca dan belajar tanpa jemu-jemunya
Tapi jarang orang yang cerdik dan pintar
Cerdik dan pintar adalah kekuatan IQ bawaan
serta selalu akalnya dibawa berfikir dan berfikir
dan memproses ilmu yang diperolehinya
Gabungan pandai dan cerdik ia akan jadi genius
Orang yang pintar orang yang luar biasa namanya
Genius ini orang Islam boleh dapat
orang bukan Islam pun dapat memperolehinya
Di atas genius hanya didapati dan diperolehi
oleh orang yang bertaqwa saja
Saya pun tidak tahu apakah istilah
yang patut diberikan kepadanya?
Kalau para-para Rasul karena terlalu pandai
dan cerdiknya dipanggil fathonah
Selain Rasul tidak boleh disifatkan dengan fathonah
karena ia khususiah bagi mereka
Sementara mencari istilah orang yang bertaqwa
dapat disifatkan di atas genius
dan di bawah fathonah
Orang bertaqwa itu gabungan cerdik dan pintar
serta pandai ia ditunjangi oleh rohnya yang bersih
yang diberi ilham oleh Tuhan
Dia dapat ilmu di dalam ilmu,
ilmu yang tersirat diberi faham,
hasilnya dapat ilmu hikmah
Tuhan berkata sesiapa dapat ilmu hikmah
sesungguhnya mendapat ilmu yang banyak
Sesiapa yang bertaqwa dia diajar oleh Tuhannya
Ilmunya ada yang tersurat
ada yang tersirat diperolehinya
Dia direzekikan ilmu yang halus dan seni-seni
Orang lain tidak dapat menerokanya,
dia dapat menyelaminya
Karena dia dapat ilmu tambahan dari Tuhan
selain ilmu usaha (kasbi) dari titik peluhnya
Orang yang cerdik dan pandai
kalau tidak dipimpin oleh hatinya yang bersih,
selalunya tersalah berfikir
dan tersasar pandangannya
Adakalanya hingga fikirannya tersesat jalan
menuju Tuhannya
Perlu diingat orang yang sibuk membersihkan hatinya
tapi lupa mengasah akal fikirannya
dia jadi beku dan pasif
Orangnya baik, tinggi akhlaknya,
tapi orang tidak rujuk kepadanya,
kecuali sekitar fardhu ain dan hukum-hakam saja
Untuk ilmu seluruh kehidupan atau global
dia tidak mampu menjawabnya
Dia selamat tapi tidak dapat menyelamatkan orang lain
Kalau dia ulama, dia hanya ulama yang berwatak nabi
Ilmunya di dalam ilmu, atau ilmu yang tersirat
atau ilmu hikmah sudah lama hilang
di kalangan umat Islam

(dari buku Buah Fikiran Siri 1 yang berisi buah fikiran dan ilham dari Abuya Ashaari Muhammad at Tamimi)

Kamis, 03 Februari 2011

Tata Cara Berwudhu

Panduan Praktis Tata Cara Wudhu

Segala puji hanya kembali dan milik Allah Tabaroka wa Ta’ala, hidup kita, mati kita hanya untuk menghambakan diri kita kepada Dzat yang tidak membutuhkan sesuatu apapun dari hambanya. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah, Muhammad bin Abdillah Shollallahu ‘alaihi wa Sallam, beserta keluarga dan para sahabat beliau radhiyallahu ‘anhum.

Kedudukan wudhu dalam sholat

Wudhu merupakan suatu hal yang tiada asing bagi setiap muslim, sejak kecil ia telah mengetahuinya bahkan telah mengamalkannya. Akan tetapi apakah wudhu yang telah kita lakukan selama bertahun-tahun atau bahkan telah puluhan tahun itu telah benar sesuai dengan apa yang diajarkan Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi was sallam? Karena suatu hal yang telah menjadi konsekwensi dari dua kalimat syahadat bahwa ibadah harus ikhlas mengharapkan ridho Allah dan sesuai sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam. Demikian juga telah masyhur bagi kita bahwa wudhu merupakan syarat sah sholat[1], yang mana jika syarat tidak terpenuhi maka tidak akan teranggap/terlaksana apa yang kita inginkan dari syarat tersebut. Sebagaimana sabda Nabi yang mulia, Muhammad shallallahu ‘alaihi was sallam,

« لاَ تُقْبَلُ صَلاَةُ مَنْ أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ »

“Tidak diterima sholat orang yang berhadats sampai ia berwudhu”.[2]

Demikian juga dalam juga Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan kepada kita dalam KitabNya,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki”. (QS Al Maidah [5] : 6).

Maka marilah duduk bersama kami barang sejenak untuk mempelajari shifat/tata cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam.

Pengertian wudhu

Secara bahasa wudhu berarti husnu/keindahan dan nadhofah/kebersihan, wudhu untuk sholat dikatakan sebagai wudhu karena ia membersihkan anggota wudhu dan memperindahnya[3]. Sedangkan pengertian menurut istilah dalam syari’at, wudhu adalah peribadatan kepada Allah ‘azza wa jalla dengan mencuci empat anggota wudhu[4] dengan tata cara tertentu. Jika pengertian ini telah dipahami maka kita akan mulai pembahasan tentang syarat, hal-hal wajib dan sunnah dalam wudhu secara ringkas.

Tata Cara Wudhu secara Global

Adapun tata cara wudhu secara ringkas berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam dari Humroon budak sahabat Utsman bin Affan rodhiyallahu ‘anhu[5],

عَنْ حُمْرَانَ مَوْلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ أَنَّهُ رَأَى عُثْمَانَ دَعَا بِوَضُوءٍ ، فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ مِنْ إِنَائِهِ ، فَغَسَلَهُمَا ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ، ثُمَّ أَدْخَلَ يَمِينَهُ فِى الْوَضُوءِ ، ثُمَّ تَمَضْمَضَ ، وَاسْتَنْشَقَ ، وَاسْتَنْثَرَ ، ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثًا وَيَدَيْهِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ ثَلاَثًا ، ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ ، ثُمَّ غَسَلَ كُلَّ رِجْلٍ ثَلاَثًا ، ثُمَّ قَالَ رَأَيْتُ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – يَتَوَضَّأُ نَحْوَ وُضُوئِى هَذَا وَقَالَ « مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِى هَذَا ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ ، لاَ يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ ، غَفَرَ اللَّهُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Dari Humroon -bekas budak Utsman bin Affan-, suatu ketika ‘Utsman memintanya untuk membawakan air wudhu (dengan wadahpent.), kemudian ia tuangkan air dari wadah tersebut ke kedua tangannya. Maka ia membasuh kedua tangannya sebanyak tiga kali, lalu ia memasukkan tangan kanannya ke dalam air wudhu kemudian berkumur-kumur, lalu beristinsyaq dan beristintsar. Lalu beliau membasuh wajahnya sebanyak tiga kali, (kemudian) membasuh kedua tangannya sampai siku sebanyak tiga kali kemudian menyapu kepalanya (sekali sajapent.) kemudian membasuh kedua kakinya sebanyak tiga kali, kemudian beliau mengatakan, “Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam berwudhu dengan wudhu yang semisal ini dan beliau shallallahu ‘alaihi was sallam mengatakan, “Barangsiapa yang berwudhu dengan wudhu semisal ini kemudian sholat 2 roka’at (dengan khusyuked.)dan ia tidak berbicara di antara wudhu dan sholatnya[6] maka Allah akan ampuni dosa-dosanya yang telah lalu”[7].

Dari hadits yang mulia ini dan beberapa hadits yang lain dapat kita simpulkan tata cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam secara ringkas sebagai berikut[8],

1. Berniat wudhu (dalam hati) untuk menghilangkan hadats.
2. Mengucapkan basmalah (bacaan bismillah).
3. Membasuh dua telapak tangan sebanyak 3 kali.
4. Mengambil air dengan tangan kanan kemudian memasukkannya ke dalam mulut dan hidung untuk berkumur-kumur dan istinsyaq (memasukkan air dalam hidung).
5. Kemudian beristintsar (mengeluarkan air dari hidung) dengan tangan kiri sebanyak 3 kali.
6. Membasuh seluruh wajah dan menyela-nyelai jenggot sebanyak 3 kali.
7. Membasuh tangan kanan hingga siku bersamaan dengan menyela-nyelai jemari sebanyak 3 kali kemudian dilanjutkan dengan yang kiri.
8. Menyapu seluruh kepala bolak balik sebanyak 1 kali.
9. Menyapu bagian luar dan dalam telinga sebanyak 1 kali.
10. Membasuh kaki kanan hingga mata kaki bersamaan dengan menyela-nyelai jemari sebanyak 3 kali kemudian dilanjutkan dengan kaki kiri.

Syarat-Syarat Wudhu[9]

Syaikh Dr. Sholeh bin Fauzan bin Abdullah Al Fauzan hafidzahullah menyebutkan syarat wudhu ada tujuh[10], yaitu

* Islam,
* Berakal,
* Tamyiz[11],
* Berniat[12], (letak niat ini ketika hendak akan melakukan ibadah tersebut[13],pent.)
* Air yang digunakan adalah air yang bersih dan bukan air yang diperoleh dengan cara yang haram,
* Telah beristinja’[14] & istijmar[15] lebih dulu (jika sebelumnya memiliki keharusan untuk istinja’ dan istijmar dari hadats),
* Tidak adanya sesuatu hal yang mencegah air sampai ke kulit.

Kami tidak menyebutkan dalil tentang hal di atas karena kami menganggap hal ini telah ma’ruf dikalangan kaum muslimin.

Wajib Wudhu

* Membaca bismillah ketika hendak wudhu, sebagaimana sabda Nabi kita shallallahu ‘alaihi was sallam,
* Membasuh wajah, termasuk dalam membasuh wajah adalah berkumur-kumur, istinsyaq dan istintsar[17]. Para ‘ulama mengatakan batasan bagian wajah yang dibasuh adalah mulai dari atas ujung dahi (awal tempat tumbuhnya rambut) sampai bagian bawah jenggot dan batas kiri kanan adalah telinga[*][18].

« لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ وُضُوءَ لَهُ وَلاَ وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى عَلَيْهِ »

“Tidak ada sholat bagi orang yang tidak berwudhu, dan tidak ada wudhu bagi orang yang tidak menyebut nama Allah Ta’ala (bismillah) ketika hendak berwudhu”.[16]

Adapun yang dimaksud dengan istinsyaq adalah sebagaimana yang dikatakan Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqolaniy rohimahullah, “Memasukkan air ke hidung dengan menghisapnya sampai ke ujungnya, sedangkan istintsar adalah kebalikannya”[19]. Dalil tentang hal ini sebagaimana yang firman Allah ‘azza wa jalla,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah wajah”. (QS Al Maidah [5] : 6).

Sebagaimana dalam ilmu ushul fiqh[20] perintah dalam perkara ibadah memberikan konsekwensi wajib. Maka membasuh wajah dalam wudhu adalah wajib. Sedangkan dalil yang menunjukkan wajibnya berkumur-kumur, istinsyaq dan istintsar adalah ayat di atas yang memerintahkan kita untuk membasuh wajah, sedangkan mulut dan hidung merupakan bagian dari wajah. Demikian juga hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,

« إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَنْشِقْ بِمَنْخِرَيْهِ مِنَ الْمَاءِ ثُمَّ لْيَنْتَثِرْ »

“Jika salah seorang dari kalian hendak berwudhu maka beristinsyaqlah di hidungnya dengan air kemudian beristintsarlah”.[21]

Dalil khusus dalam masalah kumur-kumur adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,

« إِذَا تَوَضَّأْتَ فَمَضْمِضْ »

“Jika engkau hendak wudhu, maka berkumur-kumurlah”[22].

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rohimahullah mengatakan,

“Cara berkumur-kumur, istinsyaq dan istintsar dilakukan bersamaan (satu kali jalan), maka setengah air digunakan untuk berkumur-kumur dan sisanya untuk istinsyaq dan istintsar”.[23]

* Menyela-nyelai jenggot, dalil tentang hal ini adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam dari sahabat Anas bin Malik rodhiyallahu ‘anhu,

كَانَ إِذَا تَوَضَّأَ أَخَذَ كَفًّا مِنْ مَاءٍ فَأَدْخَلَهُ تَحْتَ حَنَكِهِ فَخَلَّلَ بِهِ لِحْيَتَهُ

وَقَالَ « هَكَذَا أَمَرَنِى رَبِّى عَزَّ وَجَلَّ »

“Merupakan kebiasaan (Nabi shallallahu ‘alaihi was sallampent. ) jika beliau akan berwudhu, beliau mengambil segenggaman air kemudian beliau basuhkan (ke wajahnyapent) sampai ketenggorokannya kemudian beliau menyela-nyelai jenggotnya”. Kemudian beliau mengatakan, “Demikianlah cara berwudhu yang diperintahkan Robbku kepadaku”[24].

Dan cara menyela-nyelai jenggot adalah sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam di atas yaitu dengan menyela-nyelainya bersamaan dengan membasuh wajah[25].

* Membasuh kedua tangan sampai siku, dalilnya adalah firman Allah ‘azza wa jalla,

إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ

“Apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmusampai dengan siku”. (QS Al Maidah [5] : 6).

Demikian juga hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,

« ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْمَرْفِقِ ثَلاَثًا ، ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُسْرَى إِلَى الْمَرْفِقِ ثَلاَثًا »

“Kemudian beliau membasuh tangannya yang kanan sampai siku sebanyak tiga kali, kemudian membasuh tangannya yang kiri sampai siku sebanyak tiga kali”[26].

* Menyapu[27] kepala dengan air, kedua telinga termasuk dalam bagian kepala[28]. Dalilnya adalah firman Allah ‘azza wa jalla,

وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ

“Dan sapulah kepalamu”. (QS Al Maidah [5] : 6).

Perintah dalam ayat ini menunjukkan hukum menyapu kepala adalah wajib bahkan hal ini diklaim ijma’ oleh An Nawawi Asy Syafi’i rohimahullah[29]. Demikian juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,

« ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ بِيَدَيْهِ ، فَأَقْبَلَ بِهِمَا وَأَدْبَرَ ، بَدَأَ بِمُقَدَّمِ رَأْسِهِ ، حَتَّى ذَهَبَ بِهِمَا إِلَى قَفَاهُ ، ثُمَّ رَدَّهُمَا إِلَى الْمَكَانِ الَّذِى بَدَأَ مِنْهُ »

“Kemudian beliau membasuh mengusap kepala dengan tangannya,(dengan carapent.) menyapunya ke depan dan ke belakang. Beliau memulainya dari bagian depan kepalanya ditarik ke belakang sampai ke tengkuk kemudian mengembalikannya lagi ke bagian depan kepalanya”[30].

Hadits ini menunjukkan bagaimana cara mengusap kepala[31] yang Allah perintahkan dalam surat Al Maidah ayat 6 di atas. Demikian juga hadits ini juga dalil bahwa yang

bagian kepala yang dihusap dalam ayat di atas adalah seluruh kepala/rambut[32] dan inilah pendapat Al Imam Malik rohimahullah demikian juga hal ini merupakan pendapat Al Imam Al Bukhori rohimahullah sebagaimana dalam kitab shahihnya. Jadi mengusap kepala bukanlah hanya sebagian (hanya ubun-ubun) sebagaimana anggapan sebagian orang.

Sedangkan dalil bahwa menyapu kedua telinga termasuk dalam menyapu kepala adalah sabda Nabi ’alaihish sholatu was salam,

« الأُذُنَانِ مِنَ الرَّأْسِ »

“Kedua telinga merupakan bagian dari kepala”.[33]

Lalu cara menyapu kedua telinga adalah sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,

« ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ وَأُذُنَيْهِ بَاطِنِهِمَا بِالسَّبَّاحَتَيْنِ وَظَاهِرِهِمَا بِإِبْهَامَيْهِ »

“kemudian beliau menyapu kedua telinga sisi dalamnya dengan dua telunjuknya dan sisi luarnya dengan kedua jempolnya”.[34]

Adapun untuk cara mengusap kepala dan kedua telinga dengan air, untuk perempuan sama seperti untuk laki-laki sebagaimana yang dikatakan oleh An Nawawi Asy Syafi’i rohimahullah demikian juga hal ini merupakan pendapat Imam Syafi’i rohimahullah sendiri dan dinukil oleh Al Bukhori rohimahullah dalam kitab shohihnya dari Sa’id bin Musayyib rohimahullah [35].

* Membasuh kedua kaki hingga mata kaki. Dalil hal ini adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ

“(basuh) kaki-kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki”.(QS Al Maidah [5] : 6).

Demikian juga hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,

« ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ إِلَى الْكَعْبَيْنِ »

“Kemudian beliau membasuh kedua kakinya hingga dua mata kaki”[36].

Membasuh kedua mata kaki hukumnya wajib karena Allah sebutkan dengan lafadz/bentuk perintah, dan hukum asal perintah dalam masalah ibadah adalah wajib. Adapun cara membasuhnya adalah sebagaimana yang disabdakan beliau alaihish sholatu was salam,

« إِذَا تَوَضَّأَ دَلَكَ أَصَابِعَ رِجْلَيْهِ بِخِنْصَرِهِ »

“Jika beliau shallallahu ‘alaihi was sallam berwudhu, beliau menggosok jari-jari kedua kakinya dengan dengan jari kelingkingnya”[37].

Demikian juga pendapat Al Ghozali rohimahullah, namun beliau qiyaskan dengan cara istinja’, sebagaimana yang dinukilkan oleh Al ‘Amir Ash Shon’ani rohimahullah[38].

* Muwalah

Muwalah[39] adalah berturut-turut dalam membasuh anggota-anggota wudhu dalam artian membasuh anggota wudhu lainnya sebelum anggota wudhu (yang sebelumnya telah dibasuh pent.) mengering dalam kondisi/waktu normal[40].

Dalil wajibnya hal ini adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku”. (QS Al Maidah [5] : 6).

Sisi pendalilannya sebagai berikut, jawab syarat (dari kalimat syarat yang ada dalam ayat inipent.) merupakan suatu yang berurutan dan tidak boleh diakhirkan[41]. Adapun dalil dari Sunnah adalah Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam berwudhu dengan tidak memisahkan membasuh anggota wudhu (yang satu dengan yang lainnyapent.) dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam yang diriwayatkan dari sahabat Umar bin Khottob rodhiyallahu ‘anhu

أَنَّ رَجُلاً تَوَضَّأَ فَتَرَكَ مَوْضِعَ ظُفُرٍ عَلَى قَدَمِهِ فَأَبْصَرَهُ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ « ارْجِعْ فَأَحْسِنْ وُضُوءَكَ ». فَرَجَعَ ثُمَّ صَلَّى

“Bahwasanya ada seorang laki-laki berwudhu dan meninggalkan bagian yang belum dibasuh sebesar kuku pada kakinya. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam melihatnya maka Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam mengatakan, “Kembalilah (berwudhupent.) perbaguslah wudhumu”.[42]

Hal ini merupakan pendapat Imam Syafi’i dalam perkataannya yang lama, serta pendapat Al Imam Ahmad dalam riwayat yang masyhur dar beliau[43].

Sunnah Wudhu

* Bersiwak[44], hal sebagaimana dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,

« لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِى لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ »

“Seandainya jika tidak memberatkan ummatku, niscaya aku perintahkan mereka untuk bersiwak pada setiap hendak berwudhu”[45].

* Mencuci kedua tangan tiga kali ketika hendak berwudhu, sunnah ini lebih ditekankan ketika bangun dari tidur atau dengan kata lain hukumnya wajib.

Dalil yang menunjukkan bahwa mencuci tangan ketika hendak berwudhu sunnah adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,

عَنْ حُمْرَانَ مَوْلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ أَنَّهُ رَأَى عُثْمَانَ دَعَا بِوَضُوءٍ ، فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ مِنْ إِنَائِهِ ، فَغَسَلَهُمَا ثَلاَثَ مَرَّاتٍ….. ثُمَّ قَالَ رَأَيْتُ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – يَتَوَضَّأُ نَحْوَ وُضُوئِى هَذَا

Dari Humroon budaknya Utsman bin Affan, (ketika ia menjadi budaknya Utsmanpent.) suatu ketika beliau memintanya untuk membawakan air wudhu (dengan wadahpent.), kemudian aku tuangkan air dari wadah tersebut ke kedua tangan beliau. Maka ia membasuh tangannya sebanyak tiga kali……kemudian beliau berkata, “Aku dahulu melihat Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam berwudhu dengan wudhu seperti yang aku peragakan ini”[46].

Hal ini ditetapkan sebagai sunnah dan bukan wajib sebab Utsman rodhiyallahu ‘anhu melakukannya karena melihat Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam melakukannya. Semata-mata perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam yang dicontoh para sahabat menunjukkan hukum anjuran atau sunnah[47]. Kemudian dalil yang menunjukkan wajibnya mencuci tangan ketika bangun dari tidur adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,

«وَإِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ فَلْيَغْسِلْ يَدَهُ قَبْلَ أَنْ يُدْخِلَهَا فِى وَضُوئِهِ ، فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لاَ يَدْرِى أَيْنَ بَاتَتْ يَدُهُ »

“Jika salah seorang dari kalian bangun dari tidurnya maka hendaklah ia mencuci tangannya sebelum ia memasukkan tangannya ke air wudhu, karena ia tidak tahu di mana tangannya bermalam”.

Jika ada yang bertanya apakah hal ini hanya berlaku pada tidur di malam hari saja atau umum? Maka jawabannya adalah sebagaimana yang disampaikan Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam di atas yaitu semua tidur yang menyebabkan orang tidak tahu di mana tangannya berada ketika ia tidur. Dan inilah pendapat yang dipilih oleh Al Imam Asy Syafi’i rohimahullah, demikian juga mayoritas ‘ulama[48].

* Bersungguh-sungguh dalam beristinsyaq dan berkumur-kumur ketika tidak sedang berpuasa[49].

Dalilnya adalah sabda Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,

« بَالِغْ فِى الاِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ صَائِمًا »

“Bersungguh-sungguhlah dalam beristinsyaq kecuali jika kalian sedang berpuasa”[50].

* Mendahulukan membasuh anggota wudhu yang kanan.

Dalilnya adalah sabda Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,

« كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَيُحِبُّ التَّيَمُّنَ فِى طُهُورِهِ إِذَا تَطَهَّرَ »

“Adalah kebiasaan Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam sangat menyukai mendahulukan kanan dalam thoharoh (berwudhupent.)”[51].

* Membasuh anggota wudhu sebanyak 2 kali atau 3 kali.

Dalil bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam membasuh anggota wudhunya 2 kali adalah hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abdullah bin Zaid,

أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – تَوَضَّأَ مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ

“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam berwudhu (membasuh anggota wudhunya sebanyakpent.) dua kali-dua kali.[52]”

Dalil bahwa beliau membasuh anggota wudhu sebanyak tiga kali adalah hadits yang diriwayatkan Humroon dari tentang wudhu Utsman bin Affan rodhiyallahu ‘anhu ketika melihat cara wudhu Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,

عَنْ حُمْرَانَ مَوْلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ أَنَّهُ رَأَى عُثْمَانَ دَعَا بِوَضُوءٍ ، فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ مِنْ إِنَائِهِ ، فَغَسَلَهُمَا ثَلاَثَ مَرَّاتٍ…. ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثًا…

Dari Humroon budaknya Utsman bin Affan, (ketika ia menjadi budaknya Utsmanpent.) suatu ketika beliau memintanya untuk membawakan air wudhu (dengan wadahpent.), kemudian aku tuangkan air dari wadah tersebut ke tangan beliau. Maka ia membasuh tangannya sebanyak 3 kali…kemudian dia membasuh wajahnya sebanyak 3 kali….[53]

Hal ini sering beliau lakukan pada anggota wudhu selain pada mengusap kepala, berdasarkan salah satu riwayat hadits Abdullah bin Zaid rodhiyallahu ‘anhu di atas yang juga dalam shohihain,

ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فَمَسَحَ رَأْسَهُ ، فَأَقْبَلَ بِهِمَا وَأَدْبَرَ مَرَّةً وَاحِدَةً

“Kemudian beliau memasukkan tangannya ke dalam wadah air lalu menyapu kepalanya ke arah depan dan belakang sebanyak 1 kali”[54].

Namun demikian dianjurkan juga menyapu kepala sebanyak tiga kali[55], namun hal ini dianjurkan dengan catatan tidak dilakukan terus menerus berdasarkan salah satu riwayat hadits yang diriwayatkan Humroon tentang cara wudhu Utsman bin Affan rodhiyallahu ‘anhu ketika beliau melihat cara wudhu Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,

وَمَسَحَ رَأْسَهُ ثَلاَثًا ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ ثَلاَثًا ثُمَّ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- تَوَضَّأَ هَكَذَا

Beliau (Utsman bin Affan pent.)menyapu kepalanya tiga kali kemudian membasuh kakinya tiga kali, kemudian beliau berkata, “Aku melihat Rosulullah shallallahu ‘alaihi was sallam berwudhu dengan wudhu seperti ini”[56].

* Tertib, yang dimaksud tertib di sini adalah membasuh anggota wudhu sesuai tempatnya (urutan yang ada dalam ayat wudhupent.)[57].

Hal ini kami cantumkan di sini sebagai sebuah sunnah bukan wajib dalam wudhu dengan alasan hadits Al Miqdam bin Ma’dikarib Al Kindiy rodhiyallahu ‘anhu,

أُتِىَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِوَضُوءٍ فَتَوَضَّأَ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلاَثًا ثُمَّ تَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ ثَلاَثًا وَغَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثًا ثُمَّ غَسَلَ ذِرَاعَيْهِ ثَلاَثًا ثَلاَثًا ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ وَأُذُنَيْهِ ظَاهِرِهِمَا وَبَاطِنِهِمَا

“Rosulullah shallallahu ‘alaihi was sallam melakukan wudhu dengan membasuh tangannya tiga kali kemudian berkumur-kumur dan istinsyaq tiga kali, kemudian membasuh wajahnya tiga kali, kemudian membasuh kakinya tiga kali, kemudian menyapu kepalanya dan telinga bagian luar maupun dalam”[58].

* Berdo’a ketika telah selesai berwudhu.

Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,

« مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ يَتَوَضَّأُ فَيُبْلِغُ – أَوْ فَيُسْبِغُ – الْوُضُوءَ ثُمَّ يَقُولُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ إِلاَّ فُتِحَتْ لَهُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةُ يَدْخُلُ مِنْ أَيِّهَا شَاءَ ».

“Tidaklah salah seorang dari kalian berwudhu dan ia menyempurnakan wudhunya kemudian membaca, “Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah, dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah” melainkan akan dibukakan baginya pintu-pintu surga yang jumlahnya delapan, dan dia bisa masuk dari pintu mana saja ia mau”[59].

At Tirmidzi menambahkan lafafdz,

اللَّهُمَّ اجْعَلْنِى مِنَ التَّوَّابِينَ وَاجْعَلْنِى مِنَ الْمُتَطَهِّرِينَ

“Ya Allah jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertaubat dan jadikanlah aku termsuk orang-orang yang selalu mensucikan diri”[60].

* Sholat dua raka’at setelah wudhu.

Hal ini berdasarkan hadits Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,

« مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِى هَذَا ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ ، لاَ يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ ، غَفَرَ اللَّهُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ »

“Barangsiapa berwudhu sebagaimana wudhuku ini, kemudian sholat 2 raka’at (dengan khusyuked.) setelahnya dan ia tidak berbicara di antara keduanya[61], maka akan diampuni seluruh dosanya yang telah lalu”[62].




[1] Bahkan hal ini diklaim ijma’oleh An Nawawi rohimahullah [lihat Al Minhaaj Syarh Shohih Muslim oleh An Nawawi rohimahullah hal. 98/III cetakan Darul Ma’rifah, Beirut dengan tahqiq dari Syaikh Kholil Ma’mun Syihaa]

[2] HR. Bukhori no. 135, Muslim no. 225.

[3] Lihat Al Minhaaj Syarh Shohih Muslim oleh An Nawawi rohimahullah hal. 95/III. Hal senada juga dikatakan oleh Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqolaniy rohimahullah dalam Fathul Baari hal. 214/I.

[4] Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rohimahullah mengatakan, “Penyebut empat anggota wudhu dalam hal ini hanyalah maksudnya adalah penyebutan sebagian namum yang diinginkan adalah seluruh anggota wudhu”. [lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 110/I, terbitan Al Kitabul ‘Alimiy, Beirut, Lebanon.]Atau bisa kita katakan sebagai majas part pro toto dalam istilah bahasa Indonesia.

[5] Hadits ini merupakan salah satu hadits pokok dalam masalah tata cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam.

[6] Akan datang penjelasannya insya Allah.

[7] HR. Bukhori no. 159,Muslim no. 226.

[8] Lihat Shohih Fiqhis Sunnah oleh Abu Maalik Kamaal bin Sayyid Salim hal. 111/I, terbitan Maktabah Tauqifiyah.

[9] Kami menempuh cara menulis seperti ini (membedakan mana perkara yang sunnah dan wajib) bukanlah berarti tidak ingin meniru wudhu Nabi secara menyeluruh akan tetapi agar ‘amal kita bisa memiliki nilai tambah jika berhadapan dua hal yang sama-sama baik, misalnya hal yang wajib dan sunnah ataupun 2 hal yang sunnah namun salah satu lebih ditekankan. Allahu A’lam.

[10] Lihat Al Mulakhoshul Fiqhiy hal. 24 oleh Syaikh DR. Sholeh bin Fauzan bin Abdullah Al Fauzan hafidzahullah cetakan Dar Ibnul Jauziy Riyadh.

[11] Tolak ukur tamyiz adalah sebagaimana yang dikatakan Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam adalah berumur 7 tahun dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 495 dan dinyatakan hasan shohih oleh Al Albani rohimahullah dalam takhrij beliau untuk Sunan Abu Dawud.

[12] Yang kami maksudkan dengan niat adalah azam/keinginan yang ada dalam hati untuk berwuhu karena ingin melaksanakan perintah Allah dan RosullNya shallallahu ‘alaihi was sallam, Ibnu Taimiyah rohimahullah mengatakan, “Niat dalam seluruh ibadah tempatnya di hati bukan di lisan dan hal ini telah disepakati para ‘ulama kaum muslimin, semisal dalam ibadah thoharoh, sholat, zakat, puasa, haji, membebaskan budak, jihad, dan lain-lain. Seandainya ada seorang yang melafadzkan niat dan hal itu berbeda dengan niat yang ada dalam hatinya maka yang menjadi tolak ukur berpahala atau tidaknya amal adalah niat yang ada dalam hatinya bukan yang ada di lisannya”.[lihat Al Fatawatul Qubro oleh Ibnu Taimiyah, dengan tahqiq Husnain Muhammad Makhluf hal. 87/II, terbitan Darul Ma’rifah, Beirut Lebanon]. yang senada juga dikatakan oleh Al Imam An Nawawi Asy Syafi’i rohimahullah lihat Qowaid wa Fawaid minal ‘Arbain An Nawawiyah oleh Syaikh Nadzim Muhammad Shulthon hal. 30 cetakan Darul Hijroh, Riyadh, KSA demikian juga beliau isyaratkan dalam Kitabnya At Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur’an hal. 50 dengan tahqiq dari Syaikh Abu Abdillah Ahmad bin Ibrohim Abul ‘Ainain cetakan Maktabah Ibnu Abbas Kairo, Mesir. Mudah-mudahan dengan penjelasan ringkas ini pembaca bisa memahami defenisi niat yang benar.

[13] Lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 127/I

[14] Membersihkan sesuatu yang keluar dari dua jalur kemaluan dengan air. [lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 69/I ]

[15] Membersihkan sesuatu yang keluar dari dua jalur kemaluan dengan tiga buah batu atau dengan selainnya [lihat Manjaahus Salikin oleh Syaikh Abdurrohman bin Nashir As Sa’diy rohimahullah hal. 38 cetakan Darul Wathon, Riyadh, KSA].

[16] HR. Ibnu Hibban no. 399, At Tirmidzi no. 26, Abu Dawud no. 101, Al Hakim no. 7000, Ad Daruquthni no. 232. Hadits ini dinilai shohih oleh Al Albani rohimahullah dalam Shohihul Jami’ no. 7514, bahkan Syaikh Abu Ishaq Al Huwainiy membuat satu juz (kitab yang khusus membahas satu hadits) dan beliau menshohihkan hadits ini. Akan tetapi status hadits ini diperselisihkan para ulama di antara yang mendhoifkannya ‘Ali bin Abu Bakr Al Haitsami rohimahullah dalam Majmu’ Az Zawaid hal. 780/IX terbitan Darul Fikr, Beirut dan penulis Shohih Fiqhis Sunnah dalam takhrij beliau untuk hadits ini.

[17] Lihat Al Wajiz fi Fiqhil Kitab was Sunnah oleh Syaikh DR. Abdul Adzim bin Badawiy Al Kholafiy hafidzahullah hal. 38 Dar Ibnu Rojab Kairo, Mesir.

[18] Lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 131-132/I, dan tambahan dari Shohih Fiqhis Sunnah hal. 113/I.

[19] Lihat Fathul Baari hal. 78/X.

[20] Lihat Mandzumah Ushulil Fiqh wa Qowa’idih oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rohimahullah hal. 103 cetakan Dar Ibnul Jauziy Riyadh,KSA.

[21] HR. Muslim no. 237.

[22] HR. Abu Dawud no. 144, hadits ini dinyatakan shohih oleh Al Albani dalam takhrij Beliau untuk Sunan Abu Dawud.

[23] Lihat Ats Tsamrul Mustathob fi Fiqhis Sunnah wal Kitaab oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rohimahullah hal. 10/I cetakan Ghiroos, Kuwait.

[24] HR. Abu Dawud no. 145, Al Baihaqi no. 250 dinyatakan shohih oleh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil no. 92.

[25] Lihat tanda [*] dalam tulisan ini.

[26] HR. Bukhori no. 1832 dan Muslim no. 226.

[27] Perbedaan antara menghapus/menyapu dan membasuh adalah bahwa pada menghapus/menyapu tidak ada mengalirkan air ke tempat yang akan dihapus namun cukup dengan membasahi tangan dengan air dan menyapukan tangan tersebut ke kepala. [Lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 116/I.]

[28] Lihat Al Wajiz fi Fiqhil Kitab was Sunnah oleh Syaikh DR. Abdul Adzim bin Badawiy Al Kholafiy hafidzahullah hal. 38 Dar Ibnu Rojab Kairo, Mesir.

[29] Lihat Al Minhaaj Syarh Shohih Muslim oleh An Nawawi rohimahullah hal. 102/III.

[30] HR. Bukhori no. 185, Muslim 235.

[31] Namun merupakan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam juga membasuhnya dari arah belakang ke depan. Sebagaimana akan kami cantumkan haditsnya dalam pokok bahasan Membasuh anggota wudhu sebanyak 2 kali atau 3 kali dalam tulisan ini insya Allah ta’ala.

[32] Lihat penjelasan masalah ini di Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 117/I.

[33] HR. Abu Dawud no.134, At Tirmidzi no. 37, Ibnu Majah no. 478, dan lain-lain. Hadits ini dinyatakan shohih oleh Al Albani rahmatullah ‘alaihi dalam Ash Shohihah no. 36. Lihat juga penjelasan tentang takhrij hadits ini dalam Subulus Salaam Al Mausulatu ilaa Bulughil Maroom oleh Al ‘Amir Ash Shon’ani rohimahullah hal. 206/I dengan tahqiq dari Syaikh Muhammad Shubhi Hasan Halaaq cetakan Dar Ibnul Jauziy, Riyadh, KSA. Di sini muhaqqiq kitab ini menjelaskan panjang lebar tentang hadits ini yang kesimpulannya hadits ini shohih.

[34] HR. An Nasa’i no. 102, dinyatakan hasan shohih oleh Al Albani dalam takhrij beliau untuk Sunan Nasa’i.

[35] [lihat Al Majmu’ oleh An Nawawi rohimahullah hal. 409/I Asy Syamilah]. Dan hal ini sesuai dengan kaidah fiqh keumuman hukum dalam syari’at antara laki-laki dan perempuan selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya pada salah satu dari keduanya, [lihat Ma’alim Ushulil Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah oleh Syaikh DR. Muhammad bin Husain bin Hasan Al Jaizaniy hafidzahullah hal. 418, cetakan Dar Ibnul Jauziy, Riyadh, KSA].

[36] HR. Bukhori no. 185, Muslim no. 235.

[37] HR. Tirmidzi no. 40, Abu Dawud no. 148, hadits ini dinyatakan shohih oleh Al Albani dalam takhrij beliau untuk Sunan At Tirmidzi.

[38] Lihat Subulus Salaam Al Mausulatu ilaa Bulughil Maroom oleh Al ‘Amir Ash Shon’ani rohimahullah hal. 196/I dengan tahqiq dari Syaikh Muhammad Shubhi Hasan Halaaq cetakan Dar Ibnul Jauziy, Riyadh, KSA.

[39] Lihat Shohih Fiqhis Sunnah hal. 121/I.

[40] Dalam kondisi/waktu normal maksudnya adalah jika tidak ada angin yang berhembus, dalam kondisi cuaca yang sangat panas (sehingga air wudhu dengan cepat mengering), atau sangat dingin. [lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 120/I.]

[41] Lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 119/I.

[42] HR. Mulsim no. 243.

[43] Lihat dari Shohih Fiqhis Sunnah hal. 121/I.

[44] Al Amir Ash Shon’ani rohimahullah mengatakan, “Siwak yang dimaksud dalam istilah para ulama adalah penggunaan potongan kayu atau selainnya pada gigi untuk menghilangkan kotoran kuning pada mulut”. [Lihat Subulus Salaam Al Mausulatu ilaa Bulughil Maroom hal. 175/I], lihat juga tulisan kami di www.alhijroh.co.cc dengan judul “siwak dan mewarnai uban”.

[45] HR. Tirmidzi no. 22, Abu Dawud no. 37, dinilai shohih oleh Al Albani dalam takhrij beliau untuk Sunan At Tirmidzi.

[46] HR. Bukhori no. 159,Muslim no. 226.

[47] Lihat Ma’alim Ushulil Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah hal. 124.

[48] Lihat Taudhihul Ahkaam min Bulughil Maroom oleh Syaikh Abullah Alu Bassaam rohimahullah hal. 215/I cetakan Maktabah Sawaadiy, Mekkah, KSA.

[49] Lihat penjelasan mengapa perintah di sini tidak dimaknai wajib di Taudhihul Ahkaam min Bulughil Maroom hal. 218/I.

[50] HR. Abu Dawud no. 2368, Al Hakim no. 525 dinyatakan shohih oleh Al Albani dalam takhrij beliau untuk Sunan Abu Dawud demikian juga Adz Dzahabi.

[51] HR. Bukhori 168, Muslim no. 268.

[52] HR. Bukhori 158.

[53] HR. Bukhori 164, Muslim no. 226.

[54] HR. Bukhori 186.

[55] Pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rohimahullah di Ats Tsamrul Mustathob fi Fiqhis Sunnah wal Kitaab hal.11/I, demikian juga Syaikh DR. Abdul Adzim bin Badawiy Al Kholafiy hafidzahullah Al Wajiz fi Fiqhil Kitab was Sunnah hal. 41.

[56] HR. Abu Dawud no. 107 dan dinyatakan hasan shohih oleh Al Albani rohimahullah dalam takhrij beliau untuk Sunan Abu Dawud.

[57] Lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 118/I.

[58] HR. Abu Dawud no. 121, dinyatakan shohih oleh Al Albani rohimahullah dalam takhrij beliau untuk Sunan Abu Dawud.

[59] HR. Muslim no. 234.

[60] HR. Tirmidzi no. 55 dan dinyatakan shohih oleh Al Albani dalam takhrij beliau untuk Sunan Tirmidzi.

[61] An Nawawi rohimahullah mengatakan, “yang dimaksud dengan tidak berbicara diantara keduanya yaitu tidak berbicara dalam masalah dunia yang tidak ada hubungannya dengan sholat”. [lihat Al Minhaaj Syarh Shohih Muslim hal. 103/III]

[62] HR. Bukhori no. 159, Muslim no. 226.

Rasa Dalam Pandangan "Sayriat'

Jika dia orang yg lebih kecil dan lebih muda umurnya, maka katakanlah dalam hatimu: 'boleh jadi orang kecil ini tidak banyak berbuat dosa kepada Allah, sedangkan aku adalah orang yg telah banyak berbuat dosa, maka tidak diragukan lagi kalau... derajat dirinya lebih baik dari pada aku.'

Bila ada orang yg lebih tua, hendaklah engkau mengatakan dalam hatimu: 'orang ini lebih dahulu beribadah kepada Allah dari pada aku dan lebih banyak pahalanya dari pada aku'

Jika ada orang yg 'Alim maka katakan dalam hatimu: 'orang ini telah di beri oleh Allah sesuatu yg tidak bisa aku raih, telah mendapatkan apa yg tidak bisa aku dapatkan, telah mengetahui apa yg tidak aku ketahui dan mengamalkan ilmunya'

Jika dia orang yg bodoh, maka katakan dalam hatimu: 'orang ini durhaka kepada Alloh karena kebodohannya, sedangkan aku durhaka kepada-Nya, padahal aku mengetahuinya. Aku tidak tahu dengan apa umurku akan Allah akhiri atau dengan apa umur orang bodoh itu akan Allah akhiri (apakah dengan husnul khatimah atau dengan su'ul khatimah)

Bila ada orang yg kafir, maka katakan dalam hatimu: 'aku tidak tahu bisa jadi dia akan masuk islam, lalu menyudahi amalannya dengan amal shalih, dan bisa jadi aku terjerumus menjadi kafir,lalu menyudahi seluruh amalanku dengan amal yg buruk.

Dalam pandangan islam semua manusia itu sama, tidak di beda-bedakan karena status soasial, harta, tahta, keturunan, atau latar belakang pendidikannya. Manusia yg paling mulia derajatnya di sisi Alloh adalah yg paling tinggi kadar ketaqwaannya di antara mereka.

"Ya Allah, jadikanlah kami orang yg pandai bersabar dan bersyukur, jadikanlah kami orang yg hina menurut pandangan diri kami dan jadikanlah kami orang yg besar menurut pandangan orang lain"

APA ITU TUHAN

Sunting
APA ITU TUHAN
oleh Nova Lia pada 03 Februari 2011 jam 14:58

Asal Kata "Tuhan"



Pada mulanya kata tuhan hanyalah 'pelesetan' dari kata tuan; dan ini terjadi karena kesalahan seorang Belanda bernama Leijdecker pada tahun 1678. Peristiwa itu diterangkan secara menarik oleh Alif Danya Munsyi di majalah T...iara (1984). Ia menyebutkan bahwa peristiwa itu terjadi sebagai salah satu gejala paramasuai, yaitu penambahan bunyi h yang nirguna pada kata-kata tertentu, misalnya hembus, hempas, hasut, dan tuhan.



Alif mengatakan bahwa gejala itu timbul karena pengaruh lafal



daerah, rasa tak percaya pada diri sendiri, dan yang sangat penting adalah yang berkaitan dengan penjajahan bangsa-bangsa Eropa terhadap bangsa Indonesia. "Lingua Franca Melayu yang dipakai bangsa-bangsa Eropa, antara lain Portugis dan Belanda, sebagai bahasa administrasi untuk kegiatan ekonomi dan politik di seantero Nusantara, juga dipakai dalam kepentingan penyiaran agama Nasrani, agama umum yang dianut oleh bangsa-bangsa Eropa," tulis Alif.



Lebih lanjut Alif mengatakan bahwa peralihan tuan menjadi tuhan, sepenuhnya bersumber dari kepercayaan mereka atas Isa Al-Masih. Mereka biasa menyebut Isa dengan panggilan "tuan", yang dalam bahasa Yunani adalah 'Kyrios', dalam bahasa Portugis 'senor', dalam bahasa Belanda 'heere', dalam bahasa Prancis 'seigneur', dan dalam bahasa Inggris 'lord'.



Perhatikan kutipan berikut ini:



Sebutan Tuan bagi Isa Al-Masih berasal dari surat-surat Paulus,



orang Turki, yang menggunakan bahasa Yunani kepada bangsa Yahudi, Rumawi, dan Yunani di daerah Hellenisme. Pada setiap akhir suratnya, Paus selalu menyebut Isa Al-Masih sebagai Tuan: "Semoga rahmat Isa Al-Masih Tuan kita menyertai ruh kita." Kalimat diatas, dalam bahasa Portugis, berbunyi: "A graca de mosso senhor Jesus Cristo seja com ovosso espiritu"



Kalimat diatas, dalam bahasa Belanda berbunyi: "De genade van onzen heere Jezus Christus zij met uw geest"



Kalimat diatas, dalam bahasa Prancisnya, berbunyi: "Que la grace de notre seigneur Jesus-Christ soit avec votre esprit"



Kalimat diatas, dalam bahasa Inggris, berbunyi: "The grace of or lord Jesus Christ be whit your spirit"



Ketika penghayatan ini diterjemahkan ke dalam bahasa ndonesia, mula-mula oleh bangsa Portugis bernama Browerius, pada tahun 1663, sebutan Isa Al-Masih masih Tuan, tetapi ketika orang Belanda bernama Leijdecker pada tahun 1678 menerjemahkan surat-surat Paulus itu, sebutan Tuan telah berubah menjadi Tuhan. Dengan kata lain, Leijdecker yang pertama kali menulis Tuhan.



Dengan demikian, jelaslah bahwa kosakata Tuhan masuk edalam bahasa Indonesia sebagai pengaruh teologi (agama) Kristen. Pada mulanya hanya sebagai 'plesetan' atau 'salah tulis' orang Belanda, tapi selanjutnya dibakukan sebagai kosakata baru yang disejajarkan dengan kata ilah dalam bahasa Arab. Karena itulah dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, W.J.S. Poerwadarminta (orang Katolik) tidak memberikan keterangan apa pun tentang kata Tuhan, kecuali menyamakannya dengan Allah!



Demikian bila kita bicara asal-usul kata Tuhan, sekadar untuk



mengungkapkan bahwa bekas-bekas penjajahan masih bertebaran dimana-mana, dan banyak diantaranya yang menjadi warisan abadi bagi bangsa Indonesia.



II. Makna Tuhan



Selanjutnya, apa boleh buat, kata Tuhan kita gunakan untuk



menerjemahkan kata ilah. Ilahun, jamaknya a litahun, bentuk kata kerjanya adalah alaha, yang artinya sama dengan 'abada,



yaitu "mengabdi". Dengan demikian ilahun artinya sama dengan



ma'budun, "yang diabdi". Lawanya adalah 'abdun, "yang mengabdi", atau "hamba", atau "budak".



Perhatikan firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 133: Tahukah kalian bagaimana sikap Yaqub ketika menghadapi maut? Ketika itu ia bertanya kepada anak-anaknya, "Apakah gerangan yang akan menjadi subjek pengabdian kalian setelah aku mati?" Anak-anaknya menjawab, "Kami akan mengabdi kepada tuhanmu, yang juga merupakan tuhan leluhurmu Ibrahim, Ismail, dan Ishaq, sebagai satu-satunya tuhan. Kepadanya kami pasrahkan diri."



Yang menarik, pada ayat diatas Allah menggunakan kata tanya ma (apa), dan bukan man (siapa). Jelas, kata tanya ma mempunyai jangkauan lebih luas daripada man. Dalam kata ma bahkan tercakup man itu sendiri. Dari sini kita dapat menarik kesimpulan bahwa ilah adalah "sesuatu", bukan hanya "seseorang", yang bersifat "memperbudak", atau "mengendalikan ", atau "menguasai".



Jelasnya, yang berperan sebagai ilah itu tidak terbatas pada sesuatu yang hidup saja, tapi bisa juga benda (materi) yang mati. Ini digambarkan Allah antara lain dalam surat Ali Imran ayat 14:



Dibuat indah dalam pandangan manusia kecintaan yang sulit



dikendalikan (syahwat) terhadap wanita (=lawan jenis), anak-anak, tumpukan kekayaan berupa emas dan perak, kuda yang bagus (=kendaraan), hewan ternak, dan tanaman (=lahan bisnis). Itu semua adalah perhiasan kehidupan dunia.



Itu semua adalah benda-benda yang bisa memperbudak manusia, alias dijadikan tuhan oleh manusia. Dalam surat Al-Furqan ayat 43 bahkan Allah menegaskan bahwa manusia juga bisa mempertuhan hawa nafsunya sendiri.



Selain ilah, dalam Quran juga terdapat kata rabb yang digunakan untuk menyebut tuhan. Secara harfiah rabb berarti "pembimbing", atau "pengendali". Allah adalah rabb, tapi selain Allah ada pula arbaban min dunillah, yaitu rabb-rabb selain Allah, diantaranya Quran menyebutkan bahwa Fir'aun menyatakan dirinya sebagai rabb. (surat An-Nazi'at ayat 24). Dengan demikian, kita bisa membuat definisi tentang tuhan, kira-kira demikian: Tuhan adalah sesuatu yang menguasai dan mengendalikan jiwa manusia, dalam rangka memperbudaknya.



Ingatlah bahwa yang dikuasai dan dikendalikan oleh "tuhan", apa pun atau siapa pun dia, adalah jiwa manusia. Dengan pikiran dan/atau perasaannya itulah manusia melakukan pemandangan dan penilaian terhadap segala sesuatu, yang akhirnya membuat mereka mengambil keputusan (kadang dengan sangat cepat) untuk melakukan atau tidak melakukan



sesuatu. Sehubungan dengan inilah, agaknya, dalam kaitanya dengan peristiwa hijrah, Nabi Muhammad mengatakan bahwa setiap tindakan pasti dilandasi suatu motivasi (niat).



Begitu juga setiap urusan, pasti ada motivasi yang mendasarinya. Maka (dalam kaitanya dengan Hijrah) siapapun yang Hijrahnya bertujuan mematuhi Allah, maka berarti motivasi hijrahnya adalah ridha Allah. Sedangkan yang Hijrahnya karena dunia (rangsangan pragmatis), maka dunia itulah yang akan diburunya; dan siapa pun yang Hijrahnya karena seorang perempuan atau laki-laki (nafsu birahi), maka mengawini perempuan/laki-laki itulah tujuannya yang hendak dicapainya. Dengan demikian, setiap diri berhijrah dengan tujuan hijrahnya masing-masing. Dengan kata lain, pada saat Hijrah dari Mekkah ke Yatsrib itu, Nabi Muhammad tidak hanya memimpin orang-orang yang bertuhan Allah, yang pikirannya dan perasaannya dikuasai dan dikendalikan Allah (melalui WahyuNya) tapi juga 'terpaksa' membawa serta orang orang-orang yang dikuasai dan dikendalikan oleh motifasi lain.



1) Hellenisme, nama untuk kebudayaan, cita-cita dan cara hidup orang Yunani seperti yang terdapat di Athena di zaman Pericles. Seringkali dibandingkan dengan kesungguhan kebudayaan Ibrani seperti dilukiskan dalam perjanjian lama. Hellenisme dalam abad keempat sebelum digantikan oleh kebudayaan Yunani, tetapi tiap-tiap usaha menghidupkan kembali cita-cita Yunani di zaman modern disebut Hellenisme.Tuhan



Pada mulanya kata tuhan hanyalah 'pelesetan' dari kata tuan; dan ini terjadi karena kesalahan seorang Belanda bernama Leijdecker pada tahun 1678. Peristiwa itu diterangkan secara menarik oleh Alif Danya Munsyi di majalah T...iara (1984). Ia menyebutkan bahwa peristiwa itu terjadi sebagai salah satu gejala paramasuai, yaitu penambahan bunyi h yang nirguna pada kata-kata tertentu, misalnya hembus, hempas, hasut, dan tuhan.



Alif mengatakan bahwa gejala itu timbul karena pengaruh lafal



daerah, rasa tak percaya pada diri sendiri, dan yang sangat penting adalah yang berkaitan dengan penjajahan bangsa-bangsa Eropa terhadap bangsa Indonesia. "Lingua Franca Melayu yang dipakai bangsa-bangsa Eropa, antara lain Portugis dan Belanda, sebagai bahasa administrasi untuk kegiatan ekonomi dan politik di seantero Nusantara, juga dipakai dalam kepentingan penyiaran agama Nasrani, agama umum yang dianut oleh bangsa-bangsa Eropa," tulis Alif.



Lebih lanjut Alif mengatakan bahwa peralihan tuan menjadi tuhan, sepenuhnya bersumber dari kepercayaan mereka atas Isa Al-Masih. Mereka biasa menyebut Isa dengan panggilan "tuan", yang dalam bahasa Yunani adalah 'Kyrios', dalam bahasa Portugis 'senor', dalam bahasa Belanda 'heere', dalam bahasa Prancis 'seigneur', dan dalam bahasa Inggris 'lord'.



Perhatikan kutipan berikut ini:



Sebutan Tuan bagi Isa Al-Masih berasal dari surat-surat Paulus,



orang Turki, yang menggunakan bahasa Yunani kepada bangsa Yahudi, Rumawi, dan Yunani di daerah Hellenisme. Pada setiap akhir suratnya, Paus selalu menyebut Isa Al-Masih sebagai Tuan: "Semoga rahmat Isa Al-Masih Tuan kita menyertai ruh kita." Kalimat diatas, dalam bahasa Portugis, berbunyi: "A graca de mosso senhor Jesus Cristo seja com ovosso espiritu"



Kalimat diatas, dalam bahasa Belanda berbunyi: "De genade van onzen heere Jezus Christus zij met uw geest"



Kalimat diatas, dalam bahasa Prancisnya, berbunyi: "Que la grace de notre seigneur Jesus-Christ soit avec votre esprit"



Kalimat diatas, dalam bahasa Inggris, berbunyi: "The grace of or lord Jesus Christ be whit your spirit"



Ketika penghayatan ini diterjemahkan ke dalam bahasa ndonesia, mula-mula oleh bangsa Portugis bernama Browerius, pada tahun 1663, sebutan Isa Al-Masih masih Tuan, tetapi ketika orang Belanda bernama Leijdecker pada tahun 1678 menerjemahkan surat-surat Paulus itu, sebutan Tuan telah berubah menjadi Tuhan. Dengan kata lain, Leijdecker yang pertama kali menulis Tuhan.



Dengan demikian, jelaslah bahwa kosakata Tuhan masuk edalam bahasa Indonesia sebagai pengaruh teologi (agama) Kristen. Pada mulanya hanya sebagai 'plesetan' atau 'salah tulis' orang Belanda, tapi selanjutnya dibakukan sebagai kosakata baru yang disejajarkan dengan kata ilah dalam bahasa Arab. Karena itulah dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, W.J.S. Poerwadarminta (orang Katolik) tidak memberikan keterangan apa pun tentang kata Tuhan, kecuali menyamakannya dengan Allah!



Demikian bila kita bicara asal-usul kata Tuhan, sekadar untuk



mengungkapkan bahwa bekas-bekas penjajahan masih bertebaran dimana-mana, dan banyak diantaranya yang menjadi warisan abadi bagi bangsa Indonesia.



II. Makna Tuhan



Selanjutnya, apa boleh buat, kata Tuhan kita gunakan untuk



menerjemahkan kata ilah. Ilahun, jamaknya a litahun, bentuk kata kerjanya adalah alaha, yang artinya sama dengan 'abada,



yaitu "mengabdi". Dengan demikian ilahun artinya sama dengan



ma'budun, "yang diabdi". Lawanya adalah 'abdun, "yang mengabdi", atau "hamba", atau "budak".



Perhatikan firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 133: Tahukah kalian bagaimana sikap Yaqub ketika menghadapi maut? Ketika itu ia bertanya kepada anak-anaknya, "Apakah gerangan yang akan menjadi subjek pengabdian kalian setelah aku mati?" Anak-anaknya menjawab, "Kami akan mengabdi kepada tuhanmu, yang juga merupakan tuhan leluhurmu Ibrahim, Ismail, dan Ishaq, sebagai satu-satunya tuhan. Kepadanya kami pasrahkan diri."



Yang menarik, pada ayat diatas Allah menggunakan kata tanya ma (apa), dan bukan man (siapa). Jelas, kata tanya ma mempunyai jangkauan lebih luas daripada man. Dalam kata ma bahkan tercakup man itu sendiri. Dari sini kita dapat menarik kesimpulan bahwa ilah adalah "sesuatu", bukan hanya "seseorang", yang bersifat "memperbudak", atau "mengendalikan ", atau "menguasai".



Jelasnya, yang berperan sebagai ilah itu tidak terbatas pada sesuatu yang hidup saja, tapi bisa juga benda (materi) yang mati. Ini digambarkan Allah antara lain dalam surat Ali Imran ayat 14:



Dibuat indah dalam pandangan manusia kecintaan yang sulit



dikendalikan (syahwat) terhadap wanita (=lawan jenis), anak-anak, tumpukan kekayaan berupa emas dan perak, kuda yang bagus (=kendaraan), hewan ternak, dan tanaman (=lahan bisnis). Itu semua adalah perhiasan kehidupan dunia.



Itu semua adalah benda-benda yang bisa memperbudak manusia, alias dijadikan tuhan oleh manusia. Dalam surat Al-Furqan ayat 43 bahkan Allah menegaskan bahwa manusia juga bisa mempertuhan hawa nafsunya sendiri.



Selain ilah, dalam Quran juga terdapat kata rabb yang digunakan untuk menyebut tuhan. Secara harfiah rabb berarti "pembimbing", atau "pengendali". Allah adalah rabb, tapi selain Allah ada pula arbaban min dunillah, yaitu rabb-rabb selain Allah, diantaranya Quran menyebutkan bahwa Fir'aun menyatakan dirinya sebagai rabb. (surat An-Nazi'at ayat 24). Dengan demikian, kita bisa membuat definisi tentang tuhan, kira-kira demikian: Tuhan adalah sesuatu yang menguasai dan mengendalikan jiwa manusia, dalam rangka memperbudaknya.



Ingatlah bahwa yang dikuasai dan dikendalikan oleh "tuhan", apa pun atau siapa pun dia, adalah jiwa manusia. Dengan pikiran dan/atau perasaannya itulah manusia melakukan pemandangan dan penilaian terhadap segala sesuatu, yang akhirnya membuat mereka mengambil keputusan (kadang dengan sangat cepat) untuk melakukan atau tidak melakukan



sesuatu. Sehubungan dengan inilah, agaknya, dalam kaitanya dengan peristiwa hijrah, Nabi Muhammad mengatakan bahwa setiap tindakan pasti dilandasi suatu motivasi (niat).



Begitu juga setiap urusan, pasti ada motivasi yang mendasarinya. Maka (dalam kaitanya dengan Hijrah) siapapun yang Hijrahnya bertujuan mematuhi Allah, maka berarti motivasi hijrahnya adalah ridha Allah. Sedangkan yang Hijrahnya karena dunia (rangsangan pragmatis), maka dunia itulah yang akan diburunya; dan siapa pun yang Hijrahnya karena seorang perempuan atau laki-laki (nafsu birahi), maka mengawini perempuan/laki-laki itulah tujuannya yang hendak dicapainya. Dengan demikian, setiap diri berhijrah dengan tujuan hijrahnya masing-masing. Dengan kata lain, pada saat Hijrah dari Mekkah ke Yatsrib itu, Nabi Muhammad tidak hanya memimpin orang-orang yang bertuhan Allah, yang pikirannya dan perasaannya dikuasai dan dikendalikan Allah (melalui WahyuNya) tapi juga 'terpaksa' membawa serta orang orang-orang yang dikuasai dan dikendalikan oleh motifasi lain.



1) Hellenisme, nama untuk kebudayaan, cita-cita dan cara hidup orang Yunani seperti yang terdapat di Athena di zaman Pericles. Seringkali dibandingkan dengan kesungguhan kebudayaan Ibrani seperti dilukiskan dalam perjanjian lama. Hellenisme dalam abad keempat sebelum digantikan oleh kebudayaan Yunani, tetapi tiap-tiap usaha menghidupkan kembali cita-cita Yunani di zaman modern disebut Hellenisme.

Rabu, 02 Februari 2011

SAJADAH KERINDUANKU

SAJADAH KERINDUANKU

Senyap malam menghantar gelisah sehingga jiwaku terlempar ke dalam lorong sunyi. Kegelapan yang menyakitkan ini kian melengkapi kesendirianku. Susah payah kucari terjemah dari rangkaian peristiwa demi peristiwa yang terpampang di hadapanku, dengan cara menyibukkan diri dalam percakapan bersama Tuhan. Di antara hiruk pikuk dialog dengan-Nya, satu persatu fakta dan realita berdesakan hadir, membuka mata dan memunculkan kesadaran batinku. Sehingga tubuh dan jiwaku yang semula menggigil menahan nyeri, menjadi sedikit tenteram. Ya Allah seberat inikah jalan yang mesti kulalui untuk dapat berjumpa dengan-Mu? Dan semahal inikah harga yang mesti kubayar? sendiri di tengah rimba keterasingan ini. ku tatap langit dan kuhitung gemintang cahaya rembulan tak terjemahkan. sajadahku telah basah oleh airmata yang mengalir dari pedih rinduku. kutenteramkan hati dan kubentang cakrawala kesabaranku inilah jalan terbaik meraih hakikat. Senyap malam menghantar gelisah sehingga jiwaku terlempar ke dalam lorong sunyi. Kegelapan yang menyakitkan ini kian melengkapi kesendirianku. Susah payah kucari terjemah dari rangkaian peristiwa demi peristiwa yang terpampang di hadapanku, dengan cara menyibukkan diri dalam percakapan bersama Tuhan. Di antara hiruk pikuk dialog dengan-Nya, satu persatu fakta dan realita berdesakan hadir, membuka mata dan memunculkan kesadaran batinku. Sehingga tubuh dan jiwaku yang semula menggigil menahan nyeri, menjadi sedikit tenteram. Ya Allah seberat inikah jalan yang mesti kulalui untuk dapat berjumpa dengan-Mu? Dan semahal inikah harga yang mesti kubayar? Meski kusadari beratnya konsekuensi yang harus kupikul atas resiko yang Kau paksakan padaku tempo hari, namun tak urung keraguan kerap meliputi jiwaku manakala badai dahsyat datang menghempas.
Kesangsianku akan keberadaan dan kepedulian-Mu adalah ujian berat yang dapat merobek-robek keimananku. Padahal begitu banyak persimpangan rumit yang meruntuhkan benteng ketegaranku dan menghalangi pandanganku pada-Mu. Namun, sungguh aku tak ingin kehilangan akal dalam menggapai-Mu ya Allah
Malam kian larut dan tubuhku telah letih oleh pergulatan hebat yang terjadi sejak sore. Maka kuambil wudhu' dan kubentang sajadahku. Dengan sisa tenaga, aku menelusup kedalam selimut kasih sayang-Mu, seraya bibir bergetar menguntai harap di atas permadani kepasrahanku: “Ya Allah berilah aku penglihatan yang baik, agar dapat kusaksikan kemuliaan-Mu. Berilah aku hati yang tidak akan menyembah selain-Mu. Dan berilah aku keberanian dan kekuatan untuk dapat melanjutkan hidup ini. ”Robbanaa atmillana nurona waghfirlana innakaa ‘alakulli syai’in qodiir. “Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu." (At-Tahrim: 8).
kulangkahi gunung nafsu, kudaki bukit zat
kutelusuri titian riyadhoh mujahadah kutengok penjuru alam, namun tak juga aku melihat-Mu Ilahi, aku lelah mencari-Mu aku bosan menunggu-Mu
aku jemu menanti-Mu aku risau diri resah harapan pada-Mu ku tunggu Kau di bumi, tak muncul
ku jaga Kau di langit, juga diri-Mu tak datang kunanti Kau di surga, mengapa Engkau tak hadir juga aku pulang dengan pasrah sambil kubuka pintu hatiku nur-Mu menerobos hatiku, menerangi rumahku kutengok lewat jendela hatiku, kulihat diri-Mu senyum seraya menyapaku kusapa diri-Mu yang menjawab diriku, Kau tanya diriku yang menjawab diri-Mu siapa engkau, aku kelu tak ada jawab dalam ungkap kata cerita!
Ilahi, aku rinduuu pada-Mu
aku tetap berjalan di atas kain, walau kutemui benang kutiti benang, kulihat kapas, kuungkap kapas, satu rasa kulukis tak tampak warna, tak ada di dalam kapas hanya putih yang tak bisa dikata serasa kosong tapi berisi isi yang kosong, kosong dilihat isi bagai titik titik menjelma gurat garis, garis mengusung kata
kata bangkit jadi kalimat, kalimat mengukir cerita
adakah cerita tak beralur makna mana makna cerita sulit dicerna tak! tak ada
tak tidak
tak ada kata nan dapat diungkap dalam cakap sikap tak ada yang dapat dibuat tuk menyurat nan tersirat tak ada nan dapat dirasa pada asa di masa
tak kata
tak ungkap
tak cakap
tak sikap
tak buat
tak surat
tak sirat
tak rasa
tak asa
tak masa
tak tak tak tak
tak tak tak!

CM.Hizboel Wathony
Jakarta, 04 Maret 1994, Revisi: 11 Maret 2001 (ditulis ulang oleh Saeful Anam pada 07 Oktober 2009)

Berpisahnya ROH dari JASADNYA

Berpisahnya ROH dari JASADNYA

KISAH BERPISAHNYA ROH DARI JASAD
Dalam sebuah hadith daripada Aisyah r.a katanya, "Aku sedang duduk bersila di dalam rumah. Tiba-tiba Rasulullah s.a.w. datang
dan masuk sambil memberi salam kepadaku. Aku segera
bangun kerana menghormati dan memuliakannya sebagaiman kebiasaanku diwaktu baginda masuk ke dalam rumah. Rasulullah s.a.w. bersabda, "Duduklah di
tempat duduk, tidak usahlah berdiri, wahai Ummul Mukminin." Maka Rasulullah s.a.w. duduk sambil meletakkan kepalanya di
pangkuanku, lalu baginda berbaring dan tertidur.
Maka aku hilangkan uban pada janggutnya, dan aku dapat 19 rambut yang sudah putih. Maka terfikirlah dalam hatiku dan aku berkata, "Sesungguhnya baginda akan meninggalkan dunia ini sebelum aku sehingga tetaplah satu umat yang
ditinggalkan olehnya nabinya." Maka aku menangis sehingga mengalir air mataku jatuh menitis pada wajah baginda. Baginda s.a.w.
terbangun dari tidurnya seraya bertanya, "Apakah sebabnya sehingga engkau menangis wahai Ummul Mukminin?" Masa aku ceritakan kisah tadi kepadanya, lalu Rasulullah s.a.w. bertanya, "Keadaan bagaimanakah yang hebat bagi mayat?" Kataku, "Tunjukkan wahai Rasulullah!"
Rasulullah s.a.w. berkata, "Engkaulah
katakan!,"
Jawab Aisyah r.a : "Tidak ada keadaan lebih hebat bagi mayat ketika keluarnya mayat dari rumahnya di mana anak-anaknya sama-sama bersedih
hati di belakangnya. Mereka sama-sama berkata, "Aduhai ayah, aduhai ibu!, Ayahnya pula mengatakan: "Aduhai anak!" Rasulullah s.a.w. bertanya lagi: "Itu juga termasuk hebat. Maka, manakah lagi yang lebih hebat daripada itu?"
Jawab Aisyah r.a: "Tidak ada hal yang lebih hebat daripada mayat ketika
ia diletakkan ke dalam liang lahad dan ditimbuni tanah ke atasnya. Kaum kerabat
semuanya kembali. Begitu pula dengan anak-anak dan para kekasihnya semuanya kembali, mereka menyerahkan kepada Allah berserta dengan segala amal perbuatannya." Rasulullah s.a.w. bertanya lagi, "Adakah
lagi yang lebih hebat daripada itu?"
Jawab Aisyah, "Hanya Allah dan Rasul-Nya sahaja yang lebih tahu."
Maka bersabda Rasulullah s.a.w.:
"Wahai Aisyah, sesungguhnya
sehebat-hebat keadaan mayat ialah ketika orang yang memandikan masuk ke rumahnya untuk memandikannya. Maka keluarlah cincin di masa remaja dari jari-jarinya dan ia melepaskan pakaian pengantin dari badannya. Bagi para pemimpin dan fuqaha, sama melepaskan serban dari kepalanya untuk dimandikan."Di kala itu rohnya memanggil, ketika ia melihat mayat dalam keadaan telanjang dengan suara yang seluruh makhluk mendengar kecuali jin dan manusia yang tidak mendengar. Maka berkata roh, "Wahai orang yang memandikan, aku minta kepadamu kerana Allah,
lepaskanlah pakaianku dengan perlahan-lahan sebab di saat ini aku berehat dari kesakitan sakaratul maut." Dan apabila air disiram maka
akan berkata mayat, "Wahai orang yang memandikan akan roh Allah, janganlah engkau menyiram air dalam keadaan yang panas dan janganlah pula dalam keadaan sejuk kerana tubuhku terbakar dari
sebab lepasnya roh," Dan jika mereka memandikan, maka berkata roh: "Demi Allah, wahai orang yang memandikan, janganlah engkau gosok tubuhku dengan kuat sebab tubuhku luka-luka dengan keluarnya roh." Apabila telah selesai dari dimandikan dan diletakkan pada kafan serta tempat kedua telapaknya sudah diikat, maka mayat memanggil, "Wahai orang yang memandikanku, janganlah engkau kuat-
kuatkan dalam mengafani kepalaku sehingga aku dapat
melihat wajah anak-anakku dan kaum keluargaku sebab ini adalah penglihatan
terakhirku pada mereka. Adapun pada hari ini aku dipisahkan dari mereka dan aku tidakakan dapat berjumpa lagi sehingga hari kiamat." Apabila mayat dikeluarkan dari rumah, maka mayat akan menyeru, "Demi Allah, wahai jemaahku, aku telah meninggalkan isteriku menjadi janda, maka janganlah kamu
menyakitinya. Anak-anakku telah menjadi yatim, janganlah menyakiti mereka. Sesungguhnya pada hari ini aku akan dikeluarkan dari rumahku dan meninggalkan segala yang kucintai dan aku
tidak lagi akan kembali untuk selama-lamanya."
Apabila mayat diletakkan ke dalam keranda, maka berkata lagi mayat, "Demi Allah, wahai jemaahku, janganlah kamu percepatkan aku sehingga aku mendengar suara ahliku, anak-anakku dan kaum keluargaku. Sesungguhnya hari ini ialah hari perpisahanku dengan mereka sehingga hari kiamat."...(oleh Saeful Anam pada 18 Maret 2010)

MABUK

MABUK DALAM CINTA TERHADAP ALLAH S.W.T

Dikisahkan dalam sebuah kitab karangan Imam Al-Ghazali bahawa pada suatu hari Nabi Isa a.s berjalan di hadapan seorang pemuda yang sedang menyiram air di kebun. Pemuda yang sedang menyiram air itu melihat kepada Nabi Isa a.s berada di hadapannya maka dia pun berkata, "Wahai Nabi Isa a.s, kamu mintalah dari Tuhanmu agar Dia memberi kepadaku seberat semut Jarrah cintaku kepada- Nya." Berkata Nabi Isa a.s, "Wahai saudaraku, kamu tidak akan terdaya untuk seberat Jarrah itu." Berkata pemuda itu lagi, "Wahai Isa a.s, kalau aku tidak terdaya untuk satu Jarrah, maka kamu mintalah untukku setengah berat Jarrah." Oleh kerana keinginan pemuda itu untuk mendapatkan kecintaannya
kepada Allah s.w.t., maka Nabi Isa a.s pun berdoa, "Ya Tuhanku, berikanlah dia setengah berat Jarrah cintanya kepada- Mu." Setelah Nabi Isa a.s berdoa maka beliau pun berlalu dari situ.
Selang beberapa lama Nabi Isa a.s datang lagi ke tempat pemuda yang memintanya berdoa, tetapi Nabi Isa a.s tidak dapat berjumpa dengan pemuda itu. Maka Nabi Isa a.s pun bertanya kepada orang yang lalu-lalang di tempat tersebut, dan berkata kepada salah seorang yang berada di situ bahawa pemuda itu telah gila dan kini berada di atas gunung.
Setelah Nabi Isa a.s mendengar penjelasan orang-orang itu maka beliau pun berdoa kepada Allah s.w.t., "Wahai Tuhanku, tunjukkanlah kepadaku tentang pemuda itu." Selesai Nabi Isa a.s berdoa maka beliau pun dapat melihat pemuda itu yang berada di antara gunung-gunang dan sedang duduk di atas sebuah batu besar, matanya memandang ke
langit. Nabi Isa a.s pun menghampiri pemuda itu dengan memberi salam, tetapi pemuda itu tidak menjawab salam Nabi Isa a.s, lalu Nabi Isa berkata, "Aku ini Isa a.s."
Kemudian Allah s.w.t. menurunkan wahyu yang berbunyi, "Wahai Isa, bagaimana dia dapat mendengar pembicaraan manusia, sebab dalam hatinya itu terdapat kadar setengah berat Jarrah cintanya kepada-
Ku. Demi Keagungan dan Keluhuran-Ku, kalau engkau memotongnya dengan gergaji sekalipun tentu dia tidak mengetahuinya."
Barang siapa yang mengakui tiga perkara tetapi tidak menyucikan diri dari tiga perkara yang lain maka dia adalah orang yang tertipu.
1. Orang yang mengaku kemanisan berzikir kepada Allah s.w.t., tetapi dia mencintai dunia.
2. Orang yang mengaku cinta ikhlas di dalam beramal, tetapi dia ingin mendapat sanjungan dari manusia.
3. Orang yang mengaku cinta kepada Tuhan yang menciptakannya,
tetapi tidak berani
merendahkan dirinya.
Nabi Muhammad s.a.w. telah bersabda, "Akan datang waktunya umatku akan mencintai lima lupa kepada yang lima :
1. Mereka cinta kepada dunia. Tetapi mereka lupa kepada akhirat.
2. Mereka cinta kepada harta benda. Tetapi mereka lupa kepada hisab.
3. Mereka cinta kepada makhluk. Tetapi mereka lupa kepada al-Khaliq.
4. Mereka cinta kepada dosa. Tetapi mereka lupa untuk bertaubat.
5. Mereka cinta kepada gedung-gedung mewah. Tetapi mereka lupa kepada kubur." Syubhanallah...
Hindarkanlah aku dan keluargaku dari keburukan-keburukan yg kau ciptakan itu.

Wara

Wara'

Khalid Al-Miski adalah seorang pemuda yang tampan, rajin beribadah, wara', ikhlas, rajin bekerja, dan amanah. Dia seorang pedagang. Salah seorang wanita cantik tertarik pada Khalid Al-Miski yang tampan. Suatu hari, wanita ini memanggil Khalid dengan maksud akan membeli barang dagangannya. Ia telah merancang tipu-dayanya, lalu Khalid diminta agar masuk ke dalam rumahnya dengan alasan ia akan membeli
dagangannya. Ternyata ia segera mengunci pintu-pintu
rumahnya, kemudian berkata, "Kamu akan celaka, jika tidak mau melayani aku! Sebab aku akan mempermalukanmu di depan umum sehingga mereka menuduhmu ingin memperkosaku."
Khalid berusaha mengalihkan
pembicaraan, tetapi tanpa membuahkan hasil. Lalu Khalid memperingatkannya dengan janji dan ancaman Allah. Akan tetapi, setan telah menguasai wanita cantik
tersebut dan membutakan
mata hatinya.
Ketika Khalid yakin bahwasanya ia tidak bisa
menyelamatkan diri dari ancaman wanita tersebut, maka ia tampakkan dirinya menyetujui permintaannya
dan meminta izin untuk ber­benah diri di kamar mandi.
Wanita itu bahagia dan setuju. Khalid masuk ke kamar mandi dan berpikir bagaimana
caranya agar dapat terhindar
dari godaan ini. Kemudian, Allah memberi petunjuk,
sekalipun nanti tubuhnya akan
kotor. Tidak masalah, asalkan
ia dapat menghindarkan diri dari maksiat yang pasti
mendatangkan murka Allah.
Kemudian, Khalid melumuri
wajah dan tubuhnya dengan tinja, dengan demikian
tercium bau tidak enak,
kelihatan jelek, dan menjijikkan.
Khalid keluar dari kamar mandi, begitu wanita tersebut
melihat Khalid kotor dan
menjijikkan, ia menghardik
dan menyuruhnya keluar serta
mengusir dari rumahnya.
Pemuda tersebut lari dan meninggalkan rumah wanita
untuk menyelamatkan diri dan agamanya.
Allah Ta'ala mengganti bau
busuk dan menjijikkan itu
dengan bau yang harum bagaikan minyak miski.
Orang-orang pun dari kejauhan sudah mengetahui
kedatangannya, sebelum mereka melihat Khalid, yaitu dengan mencium baunya yang harum. Sejak saat itu orang-orang memanggilnya dengan Khalid Al-Miski.
Inilah seorang Mukmin yang
sebenarnya, yang meyakini
bahwa Allah senantiasa
mengawasi gerak-geriknya
setiap saat sehingga sekalipun di hadapannya seorang wanita
yang cantik dan gemulai, namun ia merasa takut
kepada Allah. Tidak takut kepada manusia atau undang-
undang karena semuanya tidak dapat melihat dan mengawasinya sepanjang waktu. Hanya Dzat Yang Maha Mendengar dan Maha Melihatlah yang senantiasa
memantau gerakannya. Khalid takut dengan bahaya yang ditimbulkan oleh maksiat,
maka ia mencari alasan dengan melumuri kotoran pada tubuhnya, dan justru ini
menunjukkan kebersihan
batinnya dan ketulusan imannya. Kemudian, Allah
menggantinya dengan bau
harum semerbak di dunia dan baginya di akhirat pahala yang besar dan berlimpah.
Sekarang ini, di zaman kita hidup, berapa banyak manusia
melumuri wajah dan tubuhnya
dengan parfum dan wangi-
wangian. Akan tetapi, bau
busuk perbuatan mereka menjadikan mereka tercemar
dan terbongkar
keburukannya, walaupun mereka berusaha menutupi
aibnya. Disebabkan mereka hanya takut kepada manusia, bukan kepada Allah. Balasan seseorang itu sesuai dengan
jenis amalnya.....(oleh Saeful Anam pada 23 Mei 2010)