Senin, 04 April 2011

Zuhud Dalam 3 Makna

Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan

Kesimpulannya, zuhud terhadap dunia bisa ditafsirkan dengan tiga pengertian yang kesemuanya merupakan amalan hati dan bukan amalan tubuh. Oleh karenanya, Abu Sulaiman mengatakan,

لَا تَشْهَدْ لِأَحَدٍ بِالزُّهْدِ، فَإِنَّ الزُّهْدَ فِي الْقَلْبِ

“Janganlah engkau mempersaksikan bahwa seorang itu telah berlaku zuhud (secara lahiriah), karena zuhud itu letaknya di hati”

Makna pertama

Zuhud adalah hamba lebih meyakini rezeki yang ada di tangan Allah daripada apa yang ada di tangannya. Hal ini tumbuh dari bersih dan kuatnya keyakinan, karena sesungguhnya Allah telah menanggung dan memastikan jatah rezeki setiap hamba-Nya sebagaimana firman-Nya,

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الأرْضِ إِلا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا (٦)

“Dan tidak ada suatu binatang melata[709] pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya [Huud: 6].

Dia juga berfirman,

وَفِي السَّمَاءِ رِزْقُكُمْ وَمَا تُوعَدُونَ (٢٢)

“Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu [Adz Dzaariyaat: 22].

فَابْتَغُوا عِنْدَ اللَّهِ الرِّزْقَ وَاعْبُدُوهُ (١٧)

“Maka mintalah rezeki itu di sisi Allah, dan sembahlah Dia [Ankabuut: 17].

Al Hasan mengatakan,

إِنَّ مِنْ ضَعْفِ يَقِينِكَ أَنْ تَكُونَ بِمَا فِي يَدِكَ أَوْثَقَ مِنْكَ بِمَا فِي يَدِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ

“Salah satu bentuk lemahnya keyakinanmu terhadap Allah adalah anda lebih meyakini apa yang ada ditangan daripada apa yang ada di tangan-Nya”.

Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, beliau mengatakan,

إِنَّ أَرْجَى مَا أَكُونُ لِلرِّزْقِ إِذَا قَالُوا لَيْسَ فِي الْبَيْتِ دَقِيقٌ

“Momen yang paling aku harapkan untuk memperoleh rezeki adalah ketika mereka mengatakan, “Tidak ada lagi tepung yang tersisa untuk membuat makanan di rumah”

Masruq mengatakan,

إِنَّ أَحْسَنَ مَا أَكُونُ ظَنًّا حِينَ يَقُولُ الْخَادِمُ: لَيْسَ فِي الْبَيْتِ قَفِيزٌ مِنْ قَمْحٍ وَلَا دِرْهَمٌ

“Situasi dimana saya mempertebal husnuzhanku adalah ketika pembantu mengatakan, “Di rumah tidak ada lagi gandum maupun dirham.” [Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah (34871); Ad Dainuri dalam Al Majalisah (2744); Abu Nu'aim dalam Al Hilyah (2/97)].

Imam Ahmad mengatakan,

أَسَرُّ أَيَّامِي إِلَيَّ يَوْمٌ أُصْبِحُ وَلَيْسَ عِنْدِي شَيْءٌ

“Hari yang paling bahagia menurutku adalah ketika saya memasuki waktu Subuh dan saya tidak memiliki apapun.” [Shifatush Shafwah 3/345].

Abu Hazim Az Zahid pernah ditanya,

مَا مَالُكَ؟

“Apa hartamu”,

beliau menjawab,

لِي مَالَانِ لَا أَخْشَى مَعَهُمَا الْفَقْرَ: الثِّقَةُ بِاللَّهِ، وَالْيَأْسُ مِمَّا فِي أَيْدِي النَّاسِ

“Saya memiliki dua harta dan dengan keduanya saya tidak takut miskin. Keduanya adalah ats tsiqqatu billah (yakin kepada Allah) dan tidak mengharapkan harta yang dimiliki oleh orang lain [Diriwayatkan Ad Dainuri dalam Al Mujalasah (963); Abu Nu'aim dalam Al Hilyah 3/231-232].

Pernah juga beliau ditanya,

أَنَا أَخَافُ الْفَقْرَ وَمَوْلَايَ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا وَمَا تَحْتَ الثَّرَى؟ !

“Tidakkah anda khawatir akan kefakiran?” Beliau menjawab, “Bagaimana bisa saya takut fakir sementara Pemelihara-ku memiliki segala yang ada di langit, bumi, apa yang ada diantara keduanya, dan di bawah tanah.”

Selembar kertas pernah diserahkan kepada ‘Ali ibnu Muwaffaq, dia pun membacanya dan di dalamnya tertulis,

يَا عَلِيَّ بْنُ الْمُوَفَّقِ أَتَخَافُ الْفَقْرَ وَأَنَا رَبُّكَ؟

“Wahai ‘Ali ibnul Muwaffaq, masihkah engkau takut akan kefakiran sementara Aku adalah Rabb-mu?”

Al Fudhai bin ‘Iyadh mengatakan,

أَصْلُ الزُّهْدِ الرِّضَا عَنِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ

“Akar zuhud adalah ridha terhadap apa yang ditetapkan Allah ‘azza wa jalla.” [Diriwayatkan Ad Dainuri dalam Al Mujalasah (960, 3045); Abu 'Abdirrahman As Sulami dalam Thabaqatush Shufiyah (10)].

Beliau juga mengatakan,

الْقَنُوعُ هُوَ الزُّهِدُ وَهُوَ الْغِنَى

“Qana’ah (puas atas apa yang diberikan oleh Allah ta’ala) merupakan sikap zuhud dan itulah kekayaan yang sesungguhnya.”

Dengan demikian, setiap orang yang merealisasikan rasa yakin kepada Allah, mempercayakan segala urusannya kepada Allah, ridha terhadap segala pengaturan-Nya, memutus ketergantungan kepada makhluk baik rasa takut dan harapnya, dan semua hal tadi menghalanginya untuk mencari dunia dengan sebab-sebab yang dibenci, maka setiap orang yang keadaannya demikian sesungguhnya dia telah bersikap zuhud terhadap dunia. Dia termasuk orang yang kaya meski tidak memiliki secuil harta dunia sebagaimana yang dikatakan oleh ‘Ammar,

كَفَى بِالْمَوْتِ وَاعِظًا، وَكَفَى بِالْيَقِينِ غِنًى، وَكَفَى بِالْعِبَادَةِ شُغُلًا

“Cukuplah kematian sebagai nasehat, yakin kepada Allah sebagai kekayaan, dan ibadah sebagai kesibukan.” [Diriwayatkan Al Baihaqi dalam Syu'abul Iman (10556) dari 'Ammar bin Yasar secara marfu'].

Ibnu Mas’ud mengatakan,

الْيَقِينُ أَنْ لَا تُرْضِيَ النَّاسَ بِسُخْطِ اللَّهِ، وَلَا تَحْمَدَ أَحَدًا عَلَى رِزْقِ اللَّهِ، وَلَا تَلُمْ أَحَدًا عَلَى مَا لَمْ يُؤْتِكَ اللَّهُ، فَإِنَّ الرِّزْقَ لَا يَسُوقُهُ حِرْصُ حَرِيصٍ، وَلَا يَرُدُّهُ كَرَاهَةُ كَارِهٍ، فَإِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى – بِقِسْطِهِ وَعِلْمِهِ وَحُكْمِهِ – جَعَلَ الرَّوْحَ وَالْفَرَحَ فِي الْيَقِينِ وَالرِّضَا، وَجَعَلَ الْهَمَّ وَالْحُزْنَ فِي الشَّكِّ وَالسُّخْطِ

“Al Yaqin adalah engkau tidak mencari ridha manusia dengan kemurkaan Allah, engkau tidak memuji seseorang demi mendapatkan rezeki yang berasal dari Allah, dan tidak mencela seseorang atas sesuatu yang tidak diberikan Allah kepadamu. Sesungguhnya rezeki tidak akan diperoleh dengan ketamakan seseorang dan tidak akan tertolak karena kebencian seseorang. Sesungguhnya Allah ta’ala –dengan keadilan, ilmu, dan hikmah-Nya- menjadikan ketenangan dan kelapangan ada di dalam rasa yakin dan ridha kepada-Nya sserta menjadikan kegelisahan dan kesedihan ada di dalam keraguan dan kebencian” [Diriwayatkan Ibnu Abid Dunya dalam Al Yaqin (118) dan Al Baihaqi dalam Syu'abul Iman (209)].

Di dalam sebuah hadits mursal disebutkan bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a dengan do’a berikut,

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ إِيمَانًا يُبَاشِرُ قَلْبِي، وَيَقِينًا [صَادِقًا] حَتَّى أَعْلَمَ أَنَّهُ لَا يَمْنَعُنِي رِزْقًا قَسَمْتَهُ لِي، وَرَضِّنِي مِنَ الْمَعِيشَةِ بِمَا قَسَمْتَ لِي

“Ya Allah saya memohon kepada-Mu iman yang mampu mengendalikan hatiku, keyakinan yang benar sehingga saya mengetahui bahwasanya hal itu tidak menghalangi rezeki yang telah Engkau bagikan kepadaku, dan jadikanlah saya ridha atas sumber penghidupan yang telah Engkau bagikan kepadaku.” [Diriwayatkan Ibnu Abid Dunya dalam Al Yaqin (112)].

Dulu, ‘Atha Al Khurasani tidak akan beranjak dari majelisnya hingga mengucapkan,

اللَّهُمَّ هَبْ لَنَا يَقِينًا مِنْكَ حَتَّى تُهَوِّنَ عَلَيْنَا مَصَائِبَ الدُّنْيَا، وَحَتَّى نَعْلَمَ أَنَّهُ لَا يُصِيبُنَا إِلَّا مَا كَتَبْتَ عَلَيْنَا، وَلَا يُصِيبُنَا مِنَ الرِّزْقِ إِلَّا مَا قَسَمْتَ لَنَا

“Ya Allah, berilah kami rasa yakin terhadap diri-Mu sehingga mampu menjadikan kami menganggap ringan musibah dunia yang ada, sehingga kami meyakini bahwa tidak ada yang menimpa kami kecuali apa yang telah Engkau tetapkan kepada kami, dan meyakini bahwa rezeki yang kami peroleh adalah apa yang telah Engkau bagi kepada kami.” [Driwayatkan Ibnu Abid Dunya dalam Al Yaqin (108)].

Diriwayatkan kepada kami secara marfu’ bahwa Ibnu ‘Abbas mengatakan,

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَكُونَ أَغْنَى النَّاسِ، فَلْيَكُنْ بِمَا فِي يَدِ اللَّهِ أَوْثَقَ مِنْهُ بِمَا فِي يَدِهِ

“Barangsiapa yang suka menjadi orang terkaya, maka hendaklah dia lebih yakin terhadap apa yang ada di tangan Allah daripada apa yang ada di tangannya.” [Diriwayatkan Abu Nu'aim dalam Al Hilyah 3/218-219; Al Qadha'i dalamMusnad Asy Syihab (367 & 368) dari hadits 'Abdullah bin 'Abbas].

Makna Kedua

Zuhud adalah apabila hamba tertimpa musibah dalam kehidupan dunia seperti hilangnya harta, anak, atau selainnya, maka dia lebih senang memperoleh pahala atas hilangnya hal tersebut daripada hal itu tetap berada di sampingnya. Hal ini juga muncul dari sempurnanya rasa yakin kepada Allah.

Diriwayatkan dari ‘Ibnu ‘Umar bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata dalam do’anya,

اَللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَاتَحُوْلُ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعْصِيَتِكَ وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَابِهِ جَنَّتَكَ وَمِنَ الْيَقِيْنِ مَاتُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مَصَائِبَ الدُّنْيَا

“Ya Allah, anugerahkan kepada kami rasa takut kepada-Mu yang membatasi antara kami dengan perbuatan maksiat kepadamu dan berikan ketaatan kepada-Mu yang mengantarkan kami ke surga-Mu dan anugerahkan pula keyakinan yang akan menyebabkan ringan bagi kami segala musibah di dunia ini.” [HR. Tirmidzi (3502); An Nasaai dalam 'Amalul Yaum wal Lailah (402); Al Hakim (1/528); Al Baghawi (1374). At Tirmidzi mengatakan, "Hadits hasan gharib"].

Do’a tersebut merupakan tanda zuhud dan minimnya kecintaan kepada dunia sebagaimana yan dikatakan oleh ‘Ali radhiallahu ‘anhu,

مَنْ زَهِدَ الدُّنْيَا، هَانَتْ عَلَيْهِ الْمُصِيبَاتُ

“Barangsiapa yang zuhud terhadap dunia, maka berbagai musibah akan terasa ringan olehnya.”

Makna Ketiga

Zuhud adalah hamba memandang sama orang yang memuji dan mencelanya ketika dirinya berada di atas kebenaran. Hal ini merupakan tanda bahwa dirinya zuhud terhadap dunia, menganggapnya sebagai sesuatu yang remeh, dan minimnya kecintaan dirinya kepada dunia.

Sesungguhnya setiap orang yang mengagungkan dunia akan cinta kepada pujian dan benci pada celaan. Terkadang hal itu menggiring dirinya untuk tidak mengamalkan kebenaran karena takut celaan dan melakukan berbagai kebatilan karena ingin pujian.

Dengan demikian, setiap orang yang memandang sama orang yang memuji dan mencelanya ketika dirinya berada di atas kebenaran, maka hal ini menunjukkan bahwa jabatan/kedudukan yang dimiliki manusia tidaklah berpengaruh di dalam hatinya dan juga menunjukkan bahwa hatinya dipenuhi rasa cinta akan kebenaran serta ridha kepada Allah. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud,

الْيَقِينُ أَنْ لَا تُرْضِيَ النَّاسَ بِسُخْطِ اللَّهِ

“Yakin itu adalah engkau tidak mencari ridha manusia dengan cara menimbulkan kemurkaan Allah. Dan sungguh Allah telah memuji mereka yang berjuang di jalan-Nya dan tidak takut akan celaan.”

Sumber : Jami’ul ‘Ulum wal Hikam hlm. 644-646.

Kedudukan Dalam Sholat

Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah mengatakan,

والناس في الصلاة على مراتب خمسة:

Terkait shalat, manusia terbagi ke dalam lima martabat.

أحدها: مرتبة الظالم لنفسه المفرط وهو الذي انتقص من وضوئها ومواقيتها وحدودها وأركانها.

Pertama, seorang yang zhalim kepada diri sendiri lagi lalai. Dialah orang yang melalaikan shalat dalam hal wudhu, waktu, berbagai aturan dan rukunya.

الثاني: من يحافظ على مواقيتها وحدودها وأركانها الظاهرة ووضوئها، لكن قد ضيع مجاهدة نفسه في الوسوسة فذهب مع الوساوس والأفكار.

Kedua, seorang yang menjaga waktu shalat, aturan, rukun beserta wudhunya. Namun, dia kurang memaksa hatinya untuk menolak waswas, akhirnya dia mengerjakan shalat sembari disertai waswas dan berbagai macam pikiran.

الثالث: من حافظ على حدودها وأركانها وجاهد نفسه في دفع الوساوس والأفكار، فهو مشغول بمجاهدة عدوه لئلا يسرق صلاته، فهو في صلاة وجهاد.

Ketiga, seorang yang menjaga berbagai aturan dan rukun shalat serta memaksa jiwanya untuk menolak waswas dan berbagai macam pikiran, sehingga dia sibuk memerangi musuhnya agar tidak mencuri shalatnya. Dengan demikian, dia senantiasa berada dalam shalat dan jihad.

الرابع: من إذا قام إلى الصلاة أكمل حقوقها وأركانها وحدودها واستغرق قلبه مراعاة حدودها وحقوقها لئلا يضيع شيئاً منها، بل همه كله مصروف إلى إقامتها كما ينبغي وإكمالها واتمامها، قد استغرق قلب شأن الصلاة وعبودية ربه تبارك وتعالى فيها.

Keempat, seorang yang apabila mengerjakan shalat, dia menyempurnakan hak-hak shalat, rukun dan batasannya. Hatinya berkonsentrasi penuh untuk menjaga berbagai batasan dan hak shalat agar dirinya tidak menyia-nyiakannya sedikitpun. Bahkan, seluruh perhatiannya tercurah untuk menegakkan dan menyempurnakan shalat sebagaimana yang diinginkan. Hatinya telah larut dalam shalat dan peribadatan kepada Rabb-nya tabaraka wa ta’ala.

الخامس: من إذا قام إلى الصلاة قام إليها كذلك، ولكن مع هذا قد أخذ قلبه ووضعه بين يدي ربه عز وجل ناظراً بقبله إليه مراقباً له ممتلئاً من محبته وعظمته، كأنه يراه ويشاهده، وقد اضمحلت تلك الوساوس والخطوات وارتفعت حجبها بينه وبين ربه، فهذا بينه وبين غيره في الصلاة أفضل وأعظم مما بين السماء والأرض، وهذا في صلاته مشغول بربه عز وجل قرير العين به.

Kelima, seorang yang apabila mengerjakan shalat, maka dia mengerjakannya seperti disebutkan pada poin sebelumnya. Namun, bersamaan dengan itu dia mengambil hatinya dan menempatkannya di hadapan Rabb-nya ‘azza wa jalla, dalam keadaan hatinya melihat kepada-Nya, terawasi oleh-Nya, serta dipenuhi oleh kecintaan dan pengagungan kepada-Nya. Seolah-olah dia melihat dan menyaksikan-Nya. Telah lenyap berbagai waswas dan pikiran yang melalaikan, serta terangkatlah penghalang (hijab) antara dirinya dan Rabb-nya. Kedudukan orang ini dibandingkan yang lain terkait perihal shalat adalah lebih afdhal dan mulia daripada perbandingan langit dan bumi. Dalam shalatnya, orang ini sibuk dengan Rabb-nya ‘azza wa jalla yang telah menjadi penyejuk matanya.

فالقسم الأول معاقب، والثاني محاسب، والثالث مكفر عنه، والرابع مثاب، والخامس مقرب من ربه لأن له نصيباً ممن جعلت قرة عينه في الصلاة،

Golongan pertama akan disiksa, yang kedua akan dihisab, yang ketiga diampuni kesalahannya, yang keempat diberi pahala, dan yang kelima kedudukannya akan didekatkan kepada Rabb-nya karena dia termasuk mereka yang telah menjadikan shalat sebagai penyejuk matanya.

فمن قرت عينه بصلاته في الدنيا قرت عينه بقربه من ربه عز وجل في الآخرة، وقرت عينه أيضاً به في الدنيا، ومن قرت عينه بالله قرت به كل عين، ومن لم تقر عينه بالله تعالى تقطعت نفسه على الدنيا حسرات،

Barangsiapa matanya tersejukkan dengan shalat di dunia, maka matanya akan tersejukkan dengan kedekatan kepada Allah ‘azza wa jalla di akhirat dan hal yang serupa dia temukan di dunia. Barangsiapa yang matanya tersejukkan dengan Allah, maka seluruh mata akan senang dengannya. Dan barangsiapa yang matanya tidak tersejukkan dengan Allah ta’ala maka jiwanya akan terdampar di dunia dipenuhi beragam penyesalan.

وقد روي أن العبد إذا قام يصلي قال الله عز وجل: (ارفعوا الحجب، فإذا التفت قال أرخوها) ، وقد فسر هذا الالتفات بالتفات القلب عن الله عز وجل إلى غيره، فإذا التفت إلى غيره، أرخى الحجاب بينه وبين العبد فدخل الشيطان وعرض عليه أمور الدنيا وأراه إياها في صورة المرآة،

Diriwayatkan bahwa apabila seorang hamba berdiri mengerjakan shalat, maka Allah ‘azza wa jalla berfirman, “Angkatlah hijab”, namun apabila hamba tersebut kemudian berpaling, maka Allah pun berfirman, “Turunkanlah hijab tersebut.” Berpaling yang dimaksud ditafsirkan dengan berpalingnya hati dari Allah kepada selain-Nya. Dengan demikian, apabila dia berpaling kepada selain-Nya, maka Allah menurunkan hijab diantara diri-Nya dan hamba sehingga setan pun masuk, memaparkan dan memperlihatkan berbagai perkara dunia dalam bentuk cermin (ketika dirinya mengerjakan shalat).

وإذا أقبل بقلبه على الله ولم يلتفت لم يقدر الشيطان على أن يتوسط بين الله تعالى وبين ذلك القلب، وإنما يدخل الشيطان إذا وقع الحجاب، فإن فر إلى الله تعالى وأحضر قلبه فر الشيطان، فإن التفت حضر الشيطان، فهو هكذا شأنه وشأن عدوه في الصلاة.

Apaila hatinya menghadap kepada Allah dan tidak berpaling, maka setan tidaklah kuasa untuk menyusup diantara Allah dan hati tersebut. Setan hanya mampu menyusup apabila terdapat hijab antara Allah dan hamba. Namun, apabila hamba lari kepada Allah ta’ala dan menghadirkan hati, maka setan pun akan lari. Namun, apabila dirinya berpaling, maka setan pun hadir. Demikianlan gambaran seorang hamba dan musuhnya dalam shalat.

Al Wabilush Shayyib 38-39 dengan perantaraan Al Majmu Al Qayyim min Kalami Ibni al-Qayyim hlm. 19-20.