Jumat, 11 November 2011

Nur Muhammad Yang Terpuji.

Assalamualaikum Warahmatulahi Wabarakatu

Amanah... adalah yang seharusnya mereka sadari, bahwa pada setiap diri manusia telah ditempatkan Amanah-Nya yaitu kekasih-Nya Muhammad Rasulullah SAW, karena HANYA dengan rasul itu, maka semua manusia mendapat petunjuk dan keselamatan.kesadaran manusia pada umumnya hanya sekedar merasakan bahwa "saya telah memahami" hanya karena ia pernah mendengar seorang ustadz berceramah dengan menyebut-nyebut kata Rasul, Muhammad, Tuhan, Allah, Spiritual, Tauhid, hakikat ataupun kata ma'rifat. Sangat naif sekali, kalau hanya dengan demikian sudah merasa sampai.

Yang perlu difahami bahwa : Allah kekal, demikian juga kekasih-Nya (Muhammad Rasulullah SAW) pasti kekal. dengan memiliki pemahaman seperti itu, maka relung pikiran kita baru bisa mulai berpikir tentang kekekalan tersebut.dalam sebuah hadits dikatakan :

MUHAMMAD AWAL bersifat Nurani, (cahaya)
ia dikenal dengan sebutan AHMAD NURANI (hadits lainnya: "anaa min nurrillahi wal 'alamu min nurri"

artinya kata Muhammad : Aku dari nur Allah sedangkan alam semesta dari Nurku)
MUHAMMAD AKHIR bersifat Ruhani,(ruh) ia dikenal dengan sebutan MUHAMMAD RUHANI (hadits lainnya: "anaa abul arwah wal adam abul jasad" artinya kata Muhammad : Aku sumber segala ruh dan adam sumber segala jasad)

MUHAMMAD DHAHIR (LAHIRIYAH) bersifat Insani (manusia)ia dikenal dengan sebutan MUHAMMAD INSANI, lahir di Makkah dan bersembunyi di Madinah al Munawarah (QS. Al Kahfi akhir: "Qul innama anaa basharun mitslukum" artinya, katakan bahwa AKU ini manusia seperti kamu)

MUHAMMAD BATHIN (QAIB) bersifat Rabbani (ketuhanan)ia dikenal dengan sebutan

MUHAMMAD RABBANI, (hadits lainnya: "anaa 'arab bilaa 'ain wa anaa ahmad bilaa mim, artinya 'Arab tanpa 'ain berarti menjadi RABB dan ahmad tanpa mim berarti menjadi AHAD), karena pada maqam bathin identitas Muhammad itu lenyap kedalam identitas yang maha esa.

Disini dapat dilihat bahwa Rasul Muhammad telah memenuhi seluruh waktu dan tempat, pengejawatahan-Nya kedalam format Rasul Muhammad adalah bentuk kasih sayang-Nya kepada manusia dan jin agar mereka mudah mengenal-Nya.

kepangkatan Rasul Muhammad lebih merupakan gerbang (portal) untuk mengakses ke wilayah ketuhanan-Nya Allah SWT. banyak faham mengabaikan tangga ini, andaikan saja mereka mau rendah hati dan menengok kedalam permasalahan ini dengan hati hidayat-Nya, maka mereka akan tersenggukan menahan tangisan kerinduan kepada-Nya.
Wamaa arsalnaaka ila kaafatan lin-naasi bashiiran wanadhiira walakinna aktsaranaasi laya'lamuun, artinya : Sesungguhnya engkau (Rasul Muhammad SAW) telah diutus untuk SEMUA manusia, untuk memberi sesuatu yang baik maupun yang buruk, tapi kebanyakan manusia tidak mengetahui engkau (wahai Rasul Muhammad SAW).
inilah amanah tersebut. barang siapa mencari jalan kepada Allah dengan tanpa melalui Rasul Muhammad yang berada selalu pada dirinya, maka jangan harapkan akan sampai kepada-Nya.
Wasalam

Rabu, 09 November 2011

Al-Haq

Assalamualaiykum Warahmatulahi Wabarakatu.

Jikalau inti Dzat Al Haq termanifestasikan kepada salah satu dari hambaNya dengan sifat dari sifat-sifatNya, sebutan dan ingatan hamba tersebut selalu beredar di-falak sifatNya dengan cara Kulli dan bukan dengan cara juz’i . Kedua sifat [kulli dan juz’i] itu tidak akan mungkin dipisahkan dari diri para hamba, melainkan dengan cara global. Jika seorang hamba memujikan salah satu namaNya dan menyempurnakannya dengan harapan global, maka ia akan dapat menduduki singgasana Arsy sifat tersebut, dan ia akan disifati dengan sifatNya.


Ketika hamba itu menerima sifatNya yang lain, demikian seterusnya hingga ia dapat mewadahi nama-nama Al Haq dalam dirinya, sehingga sifat-sifatNya benar-benar sempurna dalam diri hamba tersebut. Kemudian ketahuilah manakala Al Haq hendak memanifestasikan DiriNya dengan nama-nama atau sifat-sifatNya kepada salah satu hambaNya, Dia akan mensirnakan diri hamba tersebut fana’ bersama Diri Nya, Dia leburkan eksistensi/wujud hamba itu dalam kesirnaan bersamaNya


Manakala cahaya kehambaan telah padam, dan ruh kemakhlukan telah sirna tau fana’, Al Haq akan mencitrakan DiriNya pada struktur kemanusiaan hamba tersebut, tanpa Hulul, inti Dzat-Nya tidak menempati jisim hamba itu, kasih kelembutan-Nya tidak terpisahkan dari hamba tersebut. Dia juga tidak tersambungkan dengan hamba-Nya yang lain sebagai ganti atas peleburan dan kesirnaan struktur jisim hamba-Nya.


Sebab manifestasi-Nya, kepada para hamba-Nya adalah semata-mata karena kasih Fadhal/keutamaan dan kasih Al Juud kepemurahan Al Haq kepada para hambaNya.


Jika para hamba itu difana’kan, lalu Dia tidak mengganti kefana’an mereka dengan kasih keutamaan dan kepemurahanNya, maka kesirnaan seperti itu adalah Niqmah/bencana. Kasih kelembutan itu sejatinya adalah ruh Al Quddus. Manakala Al Haq menegakkan kasih kelembutan dari inti Dzat-Nya, sebagai ganti atas kefana’an hambaNya, maka manifestasi kelembutan kasih tersebut merupakan esensi tajalli DiriNya.


Hanya saja kita menamakan kasih kelembutan Ilahiyah dalam dimensi ini dengan sebutan al Abd’/hamba, dengan I’tibar ia kelembutan kasih ini merupakan ganti atas hamba, sebab jika tidak demikian, maka tidak akan ada hamba atau Rabb. Semantis logikanya, jika tidak ada Al Marbuub/yang diatur maka tidak ada Rabb/pengatur, yg ada hanyalah Allah semata, Tuhan Yang Maha Esa.


Ketahuilah, bahwasanya manifestasi sifat-sifat al Haq, ibarat penerimaan inti [dzat] seorang hamba [dalam bersifat] dengan sifat-sifat ar Rabb, dengan penerimaan secara ushul [dasar] dan hukum serta mutlak, seperti penerimaan sesuatu yang disifati dengan sifat yang mensifatinya. Karena kelembutan kasih ketuhanan yang terlanskapkan pada diri seorang hamba, tegak bersama struktur diri hamba tersebut, serta merupakan ganti atas dirinya.


Maka sifat-sifat ketuhanan yang melengkapi hamba tersebut, merupakan sifat dasar/ushul dan mutlak. Manakala seorang hamba mensifati dirinya dengna sifat-sifat ketuhanan, maka sifat al Haq adalah sifat hamba tersebut dan sifat si hamba adalah sifat al Haq. Ada banyak ragam penyingkapan manusia dalam manifestasi sifat-sifat al Haq ini.


Penerimaan mereka akan manifestasi tersebut tergantung dari kemampuan/kapabilitas yang mereka miliki, sejalan dengan kapasitas keilmuan yang mereka punyai, serta kekuatan azam/hasrat kuat yang ada pada diri masing-masing seorang hamba.


Di antara mereka yang ditajalikan kepadanya dengan sifat-sifatNya al Hayatiyah, maka jadilah hamba tersebut sentra Hayah/hidup alam semesta, ia dapat memakrifahi rahasia hidupnya dalam Maujudat/segala wujud secara universal, baik yang berdimensikan jasadiya [badan kasar] maupun dimensi ruhiya [ruh]. Ia bisa memahami makna-makna segala wujud dan mencitrakannya dalam dirinya, yang dengan itu tegaklah sendi-sendi hidup dan kehidupannya secara hakiki, boleh jadi citra makna-makna itu berupa al Aqwaal [perkataan-perkataan] atau al A’maal/perbuatan-perbuatan, bisa juga berupa citra dimensi kelembutan semisal al Arwah [ruh-ruh] atau citra al Katsib alam kasar semisal al Ajsaam/tubuh-tubuh kasar.


Lain halnya jika hidup dan kehidupan hamba tersebut mampu Syuhud/menyaksikan, mampu menggapai Dzauq al Wujdan/pengetahuan intuitif, serta mampu memahami makna-makna tersebut dalam dirinya tanpa wasilah [perantara]. Sang hamba akan mampu menggapai Kasyf Ilahiyah/intuisi ketuhanan, serta memukasyafahi inti Dzat-Nya. Dan Pahami dengan seksama masalah ini.


Syekh Abdul Karim Ibnu Ibrahim Al Jaili, secara pribadi pernah merasakan tajalli sifat ini, yang sedemikian itu, ia menyaksikan hidup dan kehidupan segala wujud dalam dirinya. Dia melihat Qadar segala sesuatu yang maujud/ada dalam kehidupannya, semuanya berjalan sesuai dengan kehendak inti Dzat-Nya. Dia pada tajalli tersebut hidup esa, tidak terpisah dengna inti Dzat, hingga tangan pertolongan-Nya memindahkan diri saya dari tajalli inti Dzat-Nya kepada tajalliyat-Nya yang lain.


Sang Syekh melebur dalam manifestasi-manifestasiNya. Diantara mereka yang ditajalikan kepadanya dengan sifatNya al Ilmiyah, yang sedemikian itu, tatkala al Haq memanifestasikan Diri-Nya dengna sifat Al Hayatiyah, yang terlanskapkan dalam segala wujud. Segala al Mumkinaat/sesuatu yang mungkin. Pada saat itu al Haq memanifestasikan Diri-Nya pada hamba tersebut dengan sifat-Nya al Ilmiyah, maka hamba itu bisa mengetahui kesejatian ragam alam semesta seperti sebelum dan pasca penciptaannya.


Ia bisa mengetahuinya segala sesuatu, mulai pra penciptaan, prosesi penciptaan dan tujuan akhir dari penciptaan segala wujud, ia juga bisa mengetahui sesuatu yang belum dijadikan, serta ahir dari sesuatu yang telah dan akan terjadi. Ia bisa mengetahui sesuatu yang akan terjadi, esensinya pengetahuan hamba itu menembus dimensi ruang dan waktu, serta melintas batas logika.


Kesemua itu merupakan ilmu yang datang dari al Haq melalui pembelajaran langsung dariNya, serta Wujdaan dari inti Dzat-Nya yang tersimpan rapi di Ghaib al Ghaib/kegaiban misteri, bisa dimakrifahi, baik rahasia ilmuNya yang bersifat universal maupun parsial, global maupun partikular, dan untuk menguak tabir kegaiban yang misteri itu adalah dengan Kasyaf/pengetahuan intuitif melihat dgn kenyataan.


Ketahuilah bahwasanya ilmu Laduni [ilmu yang berasal dari pembelajaran langsung dari al Haq – ref. QS Al Kahfi ayat 65], ilmu Dzati [ilmu yang terkait dengan inti [dzat]-Nya] diturunkan secara partikular dari Ghaib al Ghaib [kegaiban yang gaib], ke Syahadah asy Syahadah/kenyataan yg nyata/realitas yang riil, bisa disaksikan rincian globalitasnya dalam kegaiban, dan bisa diketahui universalitas Kulli-nya dalam kegaiban yang gaib.


Sedangkan ilmu Shifati yaitu ilmu yg berdimensikan sifat-sifatNya, tiada akan pernah bisa diketahui, melainkan pasca terjadinya sifat tersebut dalam kegaiban yang gaib. Semua perkataan tersebut tidak akan bisa dipahami kecuali oleh al Ghuraba’ atau insan-insan yang gharib, tidak ada yang bisa merasakan, kecuali para pejalan yang telah menggapai Kasyf/melihat dgn kenyataanya/pengetahuan intuitif.


Di antara mereka ada yang ditajallikan kepadanya dengan sifatNya al Bashar, yang sedemikian itu tatkala Dia memanifestasikan Diri-Nya kepada hamba tersebut dengan sifat al Bashariyah/penglihatan, al Ilmiyah/pengetahuan, al Ihaathiyah/peliputan dan al Kasyfiyah.


Dia memanifestasikan Diri-Nya kepada hambaNya dengan sifat al Bashar. Maka penglihatan hamba itu merupakan sumber ilmunya, demikian pula dengan rujukan ilmunya bermuarakan kepada al Haq, bisa juga rujukan ilmu hamba itu dimuarakan kepada makhlukNya, namun penglihatannya bermuarakan kepada al Haq, ia dapat melihat segala wujud [Maujudaat], seperti ketika Maujudaat itu berada di kegaiban yang gaib [Ghaib al Ghaib].


Sungguh merupakan kenaifan yang sangat telanjang, banyak suatu keterpesonaan yang mentakjubkan dalam tajalli ini, namun banyak diacuhkan oleh kebanyakan orang, mereka bahkan menafikan kenyataan tersebut dalam alam asy Syahadah [alam realitas].


Cobalah anda memfokuskan diri menyaksikan pemandangan ketinggian nan agung ini, serta panorama tajalli yang terang dan jelas, betapa mentakjubkan, betapa asyiknya tajalli ini, betapa banyak keterpesonaan yang ada dalam manifestasi ini. Jangan jadikan diri anda manusia yang memiliki penglihatan sehat dan jelas, namun tidak mampu menembus pandangan yang terang dan jelas.


Sebab banyak sekali para hamba yang ditajallikan sifat-sifatNya pada dirinya, namun sifat kemanusiaannya masih dominan dalam dirinya, sehingga sifat-sifat ketuhananNya terpinggirkan dari dirinya. Padahal manakala sifatNya dan sifat hamba tersebut menjadi tunggal, tidak ada dualisme sifat disitu, namun hanya sedikit sekali yang mampu memukasyafahi tajalli ini, yakni kegaibanNya tidak mampu disaksikan kehadirannya, kecuali oleh sedikit insan saja.


Penampakkan al Haq pada hambaNya melalui sifatNya merupakan bentuk pemuliaan Diri kepadanya inti Dzat-Nya, yang kehadiran-Nya adalah kegaiban hamba-Nya dan kegaibannya adalah kehadiran al Haq.


Di antara mereka ada yang ditajallikan kepadanya dengan sifat-sifatNya as Sam’u yang dengan itu hamba tersebut dapat mendengar perkataan al jamadaat [benda-benda padat], tumbuh-tumbuhan, hewan-hewan, serta perkataan para malaikat dan bisa menyimak ungkapan multi bahasa serta ujaran-ujaran makhluk yang lain.


Demikian pula sesuatu yang jauh bagi hamba itu terasa dekat, yang sedemikian itu, tatkala al Haq memanifestasikan DiriNya dengan sifatNya as Sam’u, hamba tersebut bisa mendengar dengan kekuatan ke-Esa-an sifat tersebut ragam bahasa, multi ujaran komunikasi benda-benda padat dan hewan-hewan.


Dalam etos tajalli ini Syekh Abdul Karim Ibnu Ibrahim Al Jaili telah menyimak ilmu Rahmaniyah dari ar Rahman, telah belajar membaca Al Quran secara hakiki, beliau pun merasa tidak lebih dari sebuath ar Rithlu [delapan ons] sedangkan DIA adalah al Mizaan/neraca timbangan. Realita ini tidak bisa dipahami, kecuali oleh ahli Qur’an yang merupakan ahli keilahian yaitu insan-insan khawas/golongan istimewa dan khusu yang menjadi kekasihNya.


Di antara mereka ada yang ditajallikan kepadanya dengan sifatNya al Kalaam, yang dengan itu semua Maujudaat, berasal dari Kalaam hamba tersebut, sebab tatkala al Haq memanifestasikan DiriNya, kepada hamba itu melalui sifatNya al Hayatiyah. Kemudian Dia mengajari hamba itu dengan sifat ‘AliimNya, bahwa segala rahasia hidup dan kehidupan berasal dari DiriNya.


Lalu Dia memperlihatkan dan memperdengarkan hamba itu dengan sifat al Bashar dan as Sam’u-Nya berikut dengan kekuatan ke-Esa-an hidup. Dia jadikan hamba itu berbicara dengan Kalam-Nya, jadilah segala wujud dair kalamNya. Saat itulah sang hamba menyaksikan dengan kalamNya, dalam capaian spiritual ini keazalian segala sesuatu seperti sedia kala, kalimatnya tiada akan pernah habis dan tidak pula berakhir.


Dengan tajalli ini al Haq beraudiensi dengan hambaNya tanpa Hijab [tirai penghalang] nama-nama pra penampakannya. Di antara para audien tersebut ada yang bisa beraudiensi dengna inti Dzat-Nya dari dalam dirinya, ia menyimak pembicaraan yang datang bukan dari salah satu arah tertentu, bukan pula dengan suara, penyimakannya akan ujaran-ujaran tersebut secara ke-universal-an dan bukan dengan telinga


. Dikatakan kepada hamba tersebut :

kau adalah cinta Ku, kau adalah kekasih Ku, kau adalah insan yang dicari dan diharapkan, kau adalah wajah Ku pada segenap hamba, kau adalah harapan utama, kau adalah pencarian tertinggi, kau adalah rahasia Ku dalam segala rahasia, kau adalah cahaya Ku dalam segala cahaya, kau adalah permata Ku, kau adalah perhiasan Ku, kau adalah keindahan Ku, kau kesempurnaan Ku, kau nama Ku, kau inti Dzat-Ku, kau sifat Ku.


Aku adalah namamu, Aku adalah citramu, Aku adalah tandamu, Aku metaformu. Duhai kekasihKu, kau adalah penolong segala wujud, kau adalah maksud dari segala wujud dan Huduts [kebaruan]. Dekatkan dirimu kepada penyaksianKu, maka Aku akan dekatkan diriKu kepadamu dengan wujudKu, jangan kau jauhkan dirimu dari Ku, sebab Akulah yang berfirman : “Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” [QS Qaaf (50) ayat 16].


Jangan kau belenggu dirimu dengan isim/nama seorang hamba, kalau bukan karena adanya Rabb, maka tidak akan pernah ada ‘Abd [hamba]. kau tampakkan Diri Ku, seperti Aku tampakkan dirimu, kalau bukan karena ubudiyah [ritus peribadatan]mu, niscaya tidak akan tertampakkan Rububiyah [ketuhanan] Ku, kau menjadikan Diri Ku tertajallikan, seperti halnya Aku menjadikan dirimu, kalau bukan karena wujudmu, maka wujud tajalli Ku tidak tersibakkan, cinta Ku paling dekat dari segala yang terdekat.


Cinta Ku paling tinggi dari segala yang tertinggi, cinta Ku menghendaki dirimu untuk pensifatan Diri Ku. Aku pilih dirimu untuk Diri Ku, jangan kau keluarkan dirimu untuk selain Diri Ku, jangan keluarkan Diri Ku dari dirimu. Cinta Ku adalah sari dalam buah, cinta Ku adalah garam dalam makanan.


Imajinasi Ku dalam ke-absurd-an, logikamu dalam pengetahuan. Cinta Ku, menjadikan Diri Ku terasa dalam jangkauan inderawi, membuat Ku tersentuh dalam sentuhan. Kekasih Ku, kau adalah muara harapan Ku, sentra penglihatan Ku, media kasih kelembutan Ku. Betapa indah kebersamaan Ku denganmu, betapa syahdu keintimanmu dengan Diri Ku.


Di antara para audien itu ada yang diajak bicara al Haq melalui lisan makhluk [ciptaan]Nya, ia menyimak pembicaraan dari satu arah tertentu, akan tetapi ia sangat mafhum [faham], bahwa ungkapan itu bukan keluar dari arah tersebut, meski berwujud ungkapan yang keluar dari lisan makhlukNya.


Ia bisa memakrifahi sejatinya perkataan tersebut berasal dari al Haq adapun ragam pembicaraannya sangatlah banyak, yang tidak mungkin kita rinci dalam karya ini. Diantara para audien itu ada yang dilanglang buanakan al Haq dari alam jisim ke alam ruh, audiensi bentuk ini merupakan tingkatan tertinggi.


Di antara para audien itu ada yang diajak bicara al Haq melalui hatinya, di antara mereka ada yang diterbangkan dengan ruhnya ke lapisan pertama langit dunia, ada pula yang diterbangkan dengna ruhnya ke langit lapis kedua dan ketiga, diantara mereka ada yang diterbangkan ke Sidratul Muntaha, dan diajak bicara disana.


Tingkat pembicaraan masing-masing insan yang diajak bicara al Haq tersebut, tergantung daripada kemampuan mereka memasuki dan memakrifahi dunia hakikat, sebab al Haq tidak akan meletakkan sesuatu melainkan pada tempatnya.


Pada saat pembicaraaan itu, di antara mereka ada yang diberikan contoh [permisalan] cahayaNya yang dengan itu ia menjadi sumber segala cahaya, di antara mereka ada yang dinisbatkan kepadanya menjadi al Munir [yang menerangi] bersumberkan cahayaNya.


Di antara mereka ada bisa melihat cahayaNya dalm batinnya, yang dengan itu ia bisa mendengar pembicaraan dari arah cahaya Ilahiyah [ketuhanan] tersebut, ia bahkan bisa melihat ragam cahaya ketuhanan dengan berbagai citra.


Di antara mereka ada yang melihat citra ruh, yang memanggil-manggil dirinya, kesemua itu tidak dinamakan al Khitab [pembicaraan], kecuali jika diberitahu al Haq bahwasanya Dia-lah sejatinya al Mutakallim Sang Pembicara.Kalamullah, adalah sebuah realita yang sangat nyata, tidak membutuhkan dalil untuk mengetahuinya, bahwa kekhususan Kalamullah tidak samar [tersembunyi].


Orang seorang yang menyimak Kalamullah tidak menghajatkan dalil maupun keterangan, terlebih al Burhan [aksioma], sebab dengan penyimakan tersebut sang penyimak memakrifahi/memahami dgn penuh keyakinan bahwasanya Kalam [ujaran] itu adalah Kalamullah.


Di antara yang diajak bicara itu ada yang diangkat ke Sidratul Muntaha, al Haq berbicara kepadanya :

KekasihKu, ke-aku-anmu adalah ke-Dia-an Ku, kau adalah permata Ku. Kekasih Ku, ke-universal-anmu adalah ke-Esa-an Ku, engkaulah harapan Ku, Aku adalah untukmu bukan untuk Diri Ku, kau adalah yang Ku inginkan, kau untuk diri-Ku bukan untuk dirimu. Cinta Ku ... kau adalah nuqta [titik], di atas peredaran wujud, kau adalah cahaya. Kau adalah manifestasi, kau adalah kebaikan, kau adalah perhiasan, laksana mata dalam struktur tubuh manusia.


Diantara para audien itu ada yang dipanggil, melalui dimensi kegaiban, serta dapat mengerti warta-warta sebelum terjadi, yang sedemikian itu terjadi karena permintaan mereka kepada al Haq untuk diberitahu, dan Diapun mewartakan ujaran-ujaran tersebut.


Di antara mereka ada meminta karamah/kelebihan, al Haq pun memuliakannya dengan karamah, sebagai dalilnya untuknya jika kembali ke alam indrawi, serta untuk mengeksiskan capaian spiritual/maqom nya di hadapan al Haq. Kita cukupkan paparan perihal al Mukallimin [insan yang diajak bicara] al Haq sampai disini. Kita kembali ke pokok kajian manifestasi sifat-sifatNya.


Di antara mereka ada yang ditajallikan kepadanya dengan sifat-sifatNya al Iradah. Ketahuilah bahwasanya wajah kehidupan makhluk adalah sejalan dengan iradah [kehendak] al Haq, manakala Dia bermanifestasikan dengan sifat al Mutakallim [berbicara], Dia beraudiensi dengan ke-Esa-an al Mutakallimin [ujaran-ujaran]Nya kepada segenap makhlukNya, al Mutakallimin [para audiens]-pun menyimak ajaran-ajaranNya sejalan dengan kehendakNya.


Mayoritas para insan yang telah Wushul [sampai] pada tajalli ini, kembali mundur ke belakang. Mereka mengingkari al Haq dengan apa yang mereka lihat, yg sedemikian tatkala al Haq mempersaksikan kepada mereka dengan kesaksian Dzat bahwa segala sesuatu berjalan dengan IradahNya di alam Ghaib Uluhiyah [ketuhanan].


Mereka lantas mencari penyaksian tersebut dalam diri mereka di alam realita ini, jelas realita itu mustahil terjadi di alam Syahadah [alam realita] ini, karena hal itu merupakan kekhususan dua inti Dzat. Mereka lalu mengingkari kesaksian inti itu, yang menyebabkan mereka melangkah mundur, dan hancurlah kaca kalbu mereka, lantas mengingkari al Haq. Padahal mereka telah menempuh raihan Syuhud/penyaksian, serta hilang [gaib] sesudah wujud.


Diantara mereka ada yang ditajallikan kepadanya dengan sifatNya al Qudrah, segala sesuatu terjadi dengan qudrahNya di alam gaib, Dia menampakkan contoh-contoh produk kegaiban tersebut di alam kasat mata ini. Jika seorang hamba terus intensif memelihara tajalli ini, maka capaian spiritualnya akan meningkat, akan ditampakkan kepadanya segala sesuatu yang disembunyikan-Nya.


Pada tajalli ini Syekh Abdul Karim Ibnu Ibrahim Al Jaili telah mendengar Shalsahalah al Jaros [bunyi lonceng], struktur tubuh beliau terpencar, citranya semburat, namanya terhapus, karena keterpesonaan [Haybah] nya yang amat sangat, beliau seperti kain koyak yang tergantung di puncak pohon, dihempas angin kencang, lambat laun terlempar dari pohon tersebut.


Pada kondisi spiritual seperti itu, beliau tidak melihat, melainkan Buraq, awan putih yang kemilau yang mengguyurkan hujan cahaya-cahaya, serta samudera yang berombak api, bumi dan langit ini serasa berbenturan, beliau merasa berada di kegelapan yang gelapnya berlapis-lapis. Qudra itu terus menciptakan untuk dirinya kekuatan-kekuatan Haybah [kedasyatan], Qudra itu membakar dirinya dengan nafsu-nafsu, hingga Sang Maha Perkasa membawanya ke hanggar keilahian, tampak keindahan yang terindah dalam teropong lubang jarum imajinasi, semburat semua khayal. Imajinasi menari-nari membentangkan karya ciptaan dan asumsi beliau menari-nari ingin merentah dirinya, pada waktu itu terciptalah segala sesuatu. Setelah beliau kembali kepada rasi-rasi bintang [falaq] al Mulk kekuasaan-Nya, tiba-tiba terdengar suara keilahian :

“wahai langit dan bumi, datanglah kamu keduanya menurut perintahKu, dengan suka hati atau terpaksa.” [QS Fushilat (41) : 11]


Di antara wajah manifestasi [Tajalli as Shifat] ini adalah, polarisasi obsesi manusia-manusia yang bercita-cita besar, wajah tajalli ini terwajahkan dalam dunia imajinasi, terdapat di dalamnya kreasi imajinatif yang penuh dengan keghariban dan keajaiban. Tajalli ini juga menampakkan sihir kelas tinggi, dalam manifestasi ini : penghuni surga berbuat apa saja yang mereka kehendaki, juga keajaiban benih yang ada di tanah yang dipakai menciptakan Adam as, seperti yang telah disebutkan Ibnu Arabi dalam kitab beliau.


Dalam tajali ini : manusia yang berjalan di atas air, terbang di udara, mampu menjadikan sesuatu menjadi banyak, dan banyak menjadi sedikit, dan banyak lagi panorama kejadia luarbiasa dengan segala wacana dan dimensinya. Janganlah kalian menjadi heran, sebab semua kejadian yang ada, sejatinya adalah satu macam, namun memiliki ragam wajah, kenyataan itu melahirkan dimensi kebahagiaan dan kepedihan, seorang yang bisa memaknai secara hakiki akan bahagia, insan yang menafikan dan tidak menemukan makna hakiki akan sedih. Pahamlah dengani seksama metafora dan isyarat yang ada.


Kami telah berusaha memaparkan paradoks, metafor-metafor, isyarat-isyarat yang berserak dari realita yang ada dengan kemampuan kami, karena kedalaman rahasia yang tersimpan di dalamnya memerlukan tafakur yang optimal untuk menyingkapnya.


Jika nantinya anda benar-benar mampu menggapai capaian pemahaman hakiki dalam tajalli ini, anda akan mampu menyibak rahasia Qudrah yang terhijab dan tersimpan.


Pada khazanah capaian ini, anda bisa berkata kepada sesuatu : Kun [jadilah] Fa Yakun [maka jadilah] sesuatu yang anda ujarkan tersebut, itulah sejatinya amar-Nya yang terdapat di antara Kaf dan Nun.


Di antara mereka ada yang ditajallikan kepadanya dengan sifatNya ar Rahmah, yang sedemikian itu setelah dinisbatkan kepadanya Arsy ketuhanan [Rububiyah], dan dikuasakan kepadanya sifat RabbNya, diletakkan kepadanya Kursi kemampuan Maujudaat [segala wujud] dengan mediasi hamba tersebut, itulah sejatinya Kursi inti [Dzat]-Nya, penggerak sifat-sifatNya, ia melantunkan ayat-ayat :

“Katakanlah : Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang-orang yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki, Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki.


Di tangan Engkaulah segala kebajikan, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. Engkau masukkan malam ke dalam siang, dan Engkau masukkan siang ke dalam malam, Engkau keluarkan hidup dari yang mati, dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup, dan Engkau beri rizki siapapun yang Engkau kehendaki tanpa hisab.” [QS Ali Imran (3) ayat 26-27].


Kesemua itu di alam gaib-Nya tersucikan dari keraguan, serta sebuah kemestian yang tak terbantahkan, disinilah esensi perbedaan di antara dua sifat dan dua inti [dzat].


Di antara mereka ada yang ditajallikan kepadanya dengan sifatNya al Uluhiyah, dalam tajalli ini berkumpul dua sifat yang bertolak belakang, semisal hitam putih, lapang sempit, termasuk juga alam kerendahan dan alam ketinggian.


Pada fase ini nama dan sifat tak terlogikakan, kulit dan isi telah terkupas, segala sesuatu terlihat : “Laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tapi bila didatanginya air itu, dia tidak mendapatinya sesuatu apapun, dan didapatinya ketetapan Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup.” [QS An Nur (24) ayat 39] diperlihatkan kiri dan kanannya serta dibacakan kitabnya : “Dan dikatakan : Binasalah orang-orang yang zalim.” [QS Hud (11) ayat 44]


Ketahuilah bahwasanya Cahaya itu sejatinya adalah kitab yang tertulis, memberi petunjuk kepada siapa saja yang dikehendaki, seperti yang ditegaskan al Haq dalam firman Qur’ani : “Banyak orang yang disesatkan, dan banyak pula orang yang diberi petunjuk.” [QS Al Baqarah (2) ayat 26].


Ketahuilah tiada jalan menuju-Nya tanpa Cahaya, dan ia [Nur] merupakan Shiratullah [jalan Allah]. Seseorang yang berjalan di bawah CahayaNya, akan beroleh petunjuk, sedang yang berjalan dengan selain CahayaNya akan sesat.


Fadhilah Doa Akasah:

Banyak sekali fadhilah dalam doa akasah ini, berikut beberapa fadhilah nya: (dari majmu syarif)


Sayyidina Abu Bakar Ash Shidiq ra telah berkata: Rasulullah SAW pernah bersabda kepadaku, Janganlah kautinggalkan membaca Akasah ini karena sebab membaca do'a ini kamu akan dapat ke-sentausa-an dan anugerah dari Allah SWT dapat menghafalkan

Al Quran dan Kitab.


Sayyidina Umar Bin Khatab ra berkata: Rasulullah SAW telah bersabda, Wahai Umar bacalah doa ini, karena membaca doa ini akan memperoleh pahala yang sangat besar, tujuh puluh ribu Malaikat berbuat kebajikan karena membaca doa ini, satu Malaikat mempunyai mulut, tujuh puluh dan mempunyai kepala tujuh puluh. Tiap satu memuji kepada Allah SWT dan semua itu diberikan kepada orang yang mau membaca doa ini, Allah memberi rahmat kepadanya.


Sayyidina Utsman bin Affan ra berkata: Sesungguhnya aku dapat menghafalkan Al Quran berkah doa ini.


Sayyidina Ali Bin Abi Thalib ra telah berkata: Aku menjadi kuat karena berkah doa ini.


Hasan Basri (semoga selalu mendapatkan rahmat Allah SWT berkata: Sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya seseorang tidak akan memperoleh pahala seperti pahalanya orang yang membaca doa ini.


wallaahu a'lam

Selasa, 08 November 2011

MAN ARAFA NAFSAHU FAQAT ARAFA RABBAHU

Terdapat hadits yang mengatakan "Barang Siapa Mengenal Dirinya, maka akan mengenal Tuhannya". Bagaimana tahap pertama Langkah yg diharus dilakukan untuk mengenal tuhannya?
Jawaban:
Banyak ulama yang mengatakan bahwa terdapat hadits yang mengatakan "Barangsiapa mengenal dirinya maka akan mengenal Tuhannya". Namun beberapa ulama seperti An-Nawawi dan As-Suyuthiy mengatakan bahwa “Hadits ini tidak tsabit (tidak shahih)”

Terlepas dari perbedaan pendapat tentang status kalimat tersebut hadits atau bukan, kalimat ini berselarasan dengan yang dikatakan Allah:

"Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik." [QS Al Hasyr (59):19]

Dalam Buku Minhajul Abidin, Imam al Ghazali menjelaskan dengan detil tentang bagaimana mengenal diri menjadi anak kunci untuk mengenal Allah Swt. Beliau mengatakan ada 7 (tujuh) tahapan (aqabah) untuk mengenal diri.

Tahapan pertama adalah "Menuntut Ilmu". Inilah yang dimaksud dalam hadits: "Menuntut ilmu adalah fardlu bagi setiap muslim". Ibarat sebuah kompas, ilmu adalah alat bagi kita untuk mencapai sebuah tujuan. Ibarat perjalanan jauh di gurun pasir, ilmu adalah bekal yang menemani perjalanan kita.

Tanpa perbekalan yang tepat kita malah akan membawa bekal yang menjadi beban dalam perjalanan. Tanpa perbekalan yang mencukupi, kita dapat kehausan dan kelaparan di tengah perjalanan.

Tanpa kompas, kita akan tersesat menuju tujuan. Seharusnya berjalanan ke timur, kita malah berjalan ke barat. Harusnya terus berjalan, kita berputar-putar disebuah tempat, menyangka bahwa itu adalah tujuan akhir perjalanan. Al-Quran sesungguhnya sumber ilmu, untuk menempuh perjalanan tersebut.

Dalam menuntut ilmu, kita akan mengetahui bahwa awal yang harus dimiliki oleh setiap pencari Tuhan adalah "keikhlasan", namun memahami keikhlasan juga membutuhkan ilmu.

Hanya para pencari yang sungguh-sungguh mencari Allah sajalah yang akan dijemput-Nya. Siapa yang mendekati berjalan, Dia akan menyambutnya dengan berlari. Siapa yang mendekati sedepak, Dia akan mendekatinya sehasta. Dia akan menyambut dengan sangat gembira, melebihi gembiranya seorang yang kehilangan unta di padang pasir luas, dan tiba-tiba untanya kembali.

“Barangsiapa yang mendekati Allah sedepa, Dia akan mendekatinya sehasta. Barangsiapa mendekati Allah sambil berjalan, Allah akan menyambutnya sambil berlari.” (HR Ahmad dan Thabrani)

Nabi saw pernah bertanya kepada para sahabatnya, “Bagaimana keadaan kalian, seandainya di antara kalian suatu saat berada di padang pasir membawa perbekalan dan unta, lalu kalian tertidur; dan ketika bangun, kalian mendapati unta dan perbekalanmu hilang?”

Para sahabat menjawab, “Tentu cemas sekali, ya Rasulallah!” Rasulullah melanjutkan, “Di saat kalian cemas, tiba-tiba kalian lihat unta itu kembali dari tempat jauh dan menghampiri kalian dengan membawa seluruh perbekalanmu. Apa perasaan kalian?”

Para sahabat kembali menjawab, “Tentu kami akan bahagia sekali.” Nabi yang mulia lalu berkata, “Allah akan lebih bahagia lagi melihat hamba-Nya yang datang kepada-Nya daripada kebahagiaan seseorang yang kehilangan unta kemudian ia melihat untanya datang kembali kepadanya.” (HR. Muslim)

Jika sungguh-sungguh Allah tujuannya, Allah sendirilah yang akan menjaga dari ketersesatan. Allah sendiri yang akan membimbingnya. Namun cara Allah menuntun kata Rumi (Jalaluddin Rumi) cara yang sangat misterius. Menuntut ilmu, juga merupakan perbekalan untuk menjalani tuntunan-Nya yang sangat misterius itu.

Penjelasan ini yang dimaksud dengan kata-kata Imam al Ghazali : "...semua manusia akan rusak kecuali orang yang berilmu, semua manusia yang berilmu akan rusak kecuali orang yang beramal, semua manusia yang beramal akan rusak kecuali orang yang ikhlas".

Jalan menuju Allah adalah sebanyak jiwa hambanya. Artinya, jalan mengendal diri, akan berbeda satu dengan yang lainnya. Namun patternya sama, seperti yang dijelaskan oleh Imam al Ghazali dalam 7 aqabah tersebut. Detil dalam tiap-tiap aqabah ini yang akan berbeda satu sama lain.

***
Secara sturkturisasi unsur, dalam Al Quran Allah mengatakan ada 3 unsur pembentuk manusia:

1. Jasad, tubuh atau jasmani (al-jism)
2. Jiwa atau diri (an-nafs)
3. Ruh atau nyawa (ar-ruh)

Mengenal diri yang akan menjadi jembatan pengenalan kepada Tuhan, bukan pengenalan kepada unsur jasad (al-jism), tetapi kepada unsur jiwa atau diri (an-nafs).

Jadi bukan pengenalan terhadap bagaimana bentuk mata, telinga, wajah, rambut, tangan, kaki kita yang akan mengantarkan kepada pengenalan kepada Allah, tetapi pengenalan kita kepada jiwa atau diri (an-nafs) yang mengantarkan kita mengenal Allah Swt.

Jiwa atau diri (an-nafs) berbeda dengan ruh atau nyawa (ar-ruh). Kebanyakan orang menyamakannya. Bahkan terkadang kata an-nafs diterjemahkan sebagai ruh. Karenanya saya mengajak sahabat-sahabat untuk mencoba menelisik AQ dengan mencermati kata dalam Arab-nya, untuk melihat spesifikasinya.

Lalu, kenapa pengenalan kita kepada unsur jiwa atau diri (an-nafs) akan mengantarkan kita kepada Allah?

Karena sesungguhnya unsur pembentuk manusia yang dapat "mengenal" dan "selalu bertemu" dengan Allah adalah unsur jiwa atau diri (an-nafs) ini. Saat manusia belum lahir ke dunia, unsur jiwa atau diri (an-nafs) inilah yang melakukan janji setia kepada Allah Swt dengan mengatakan: "balaa syahidna".

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):

"Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi." (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)" [QS Al A’raaf (7):172]

Karenanya apabila kita mengenal jiwa atau diri (an-nafs), maka akan mengantarkan kita mengenal Allah Swt.

Ketika seorang manusia meninggal dunia, kita sering mendengar kalimat: "Semoga arwahnya diterima di sisi-Nya". Kata-kata ini sebenarnya kurang tepat, karena mengandung beberapa kerancuan.

Kerancuan pertama adalah mengenai kata "arwah". Arwah adalah jamak dari kata "ruh". Padalah, ruh seseorang adalah tunggal, bukan jamak. Kerancuan yang lain adalah, ruh selalu dalam keadaan suci. Yang terkotori oleh dosa adalah jiwa. Seharusnya yang didoakan adalah jiwa, bukan ruh seseorang.

Ketika seseorang meninggal dunia, maka ruh akan terlepas dari jasad. Ruh inilah yang memberikan "energi" kepada jasad. Sehingga, ketika seseorang masih hidup, jasadnya bisa dirasakan hangat dan tumbuh.

Sementara jika sudah meninggal, jasanya akan dingin karena energinya sudah tidak ada. Ketika jasad dikuburkan, maka jasad akan kembali ke "kampung halamannya" yaitu bumi. Jasad akan hancur. Sementara ruh kembali ke sisi-Nya, tetap dalam keadaan suci sebagaimana pertama kali ia ditiupkan.

Sedangkan yang dialami oleh jiwa (an-nafs), tergantung dari kondisi ketika manusia tersebut ketika masih hidup di alam dunia. Jiwa yang penuh dosa, akan mengalami siksa kubur.

Siksa kubur disini dapat dilihat sebagai proses pembersihan. Sama seperti ketika anak kecil yang habis bermain-main di lumpur. Untuk membersihkan badan si anak, maka perlu dilakukan proses pembersihan melalui mandi. Jika perlu, badan sampai disikat agat bersih.

Tetapi jiwa yang ketika di alam dunia sudah bersih bercahaya, maka ketika manusia tersebut meninggal, sang jiwa hidup disisi Allah dan dapat berjalan-jalan di tengah manusia sampai di kumpulkan kembali di padang mahsyar, namun manusia tidak menyadarinya.

Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan. [QS Al Anam (6): 122]

Terdapat hadits berkaitan dengan situasi di padang mahsyar, diriwayatkan dari Muadz bin Jabal:
Nabi Muhammad saw bersabda, "Wahai Muadz, sesungguhnya engkau bertanyakan sesuatu yang sangat besar. Ada 12 kelompok umatku akan dihalau ke Padang Mahsyar. Mereka semuanya itu Allah Maha Kuasa tukarkan, tidak seperti mereka hidup ketika didunia."

Golongan itu adalah seperti berikut:

Pertama, dibangkitkan dari kubur dengan keadaan tanpa tangan dan berkaki. Mereka adalah orang yang ketika di dunia dulu suka mengganggu tetangganya.

Kedua, dibangkitkan dari kubur dengan keadaan berupa babi hutan. Mereka adalah orang yang ketika hidupnya meringankan malas dan lalai dalam salat.

Ketiga, dibangkitkan dari kubur dengan keadaan keledai, mereka Sedangkan perut membesar seperti gunung dan di dalamnya penuh dengan ular dan kalajengking. Meraka ini adalah orang yang enggan membayar zakat.

Keempat, dibangkitkan dari kubur dengan keadaan darah memancut keluar dari mulut mereka. Mereka ini adalah orang yang berdusta di dalam jual beli.

Kelima, dibangkitkan dari kubur dengan keadaan berbau busuk lebih daripada bangkai. Mereka ini adalah orang yang melakukan maksiat sembunyi-sembunyi kerana takut dilihat orang, tetapi tidak takut kepada Allah.

Keenam, dibangkitkan dari kubur dengan keadaan leher mereka terputus. Mereka adalah orang yang menjadi saksi palsu.

Ketujuh, dibangkitkan dari kubur tanpa mempunyai lidah dan dari mulut mereka mengalir keluar nanah serta darah. Meraka itu adalah orang yang enggan memberi kesaksian di atas kebenaran.

Kedelapan, dibangkitkan dari kubur dengan keadaan terbalik yaitu kepala kebawah dan kaki keatas, serta farajnya mengeluarkan nanah yang mengalir seperti air. Meraka adalah orang yang berbuat zina dan mati tanpa sempat bertaubat.

Kesembilan, dibangkitkan dari kubur dengan keadaan wajah hitam gelap dan bermata biru serta perutnya dipenuhi api. Mereka itu adalah orang yang memakan harta anak yatim dengan cara zalim.

Kesepuluh, dibangkitkan dari kubur dengan keadaan tubuh mereka penuh dengan sopak dan kusta. Mereka adalah orang yang durhaka kepada orang tuanya.

Kesebelas, dibangkitkan dari kubur dengan keadaan buta, gigi mereka memanjang seperti tanduk lembu jantan, bibir mereka melebar sampai ke dada dan lidah mereka terjulur memanjang sampai ke perut. Perutnya pula menggelebeh hingga ke paha dan keluar beraneka kotoran. Mereka adalah orang yang minum arak.

Keduabelas, dibangkitkan dari kubur dengan keadaan wajah yang bersinar-sinar bercahaya laksana bulan purnama. Mereka melalui titian sirath seperti kilat yang menyambar.

Mereka adalah orang yang beramal soleh dan banyak berbuat baik, selalu menjauhi perbuatan durhaka, mereka memelihara salat lima waktu, ketika meninggal dunia keadaan mereka bertaubat dan mendapat ampunan, kasih sayang dan keridhaan Allah.

Wallahualam