Jumat, 11 November 2011

Nur Muhammad Yang Terpuji.

Assalamualaikum Warahmatulahi Wabarakatu

Amanah... adalah yang seharusnya mereka sadari, bahwa pada setiap diri manusia telah ditempatkan Amanah-Nya yaitu kekasih-Nya Muhammad Rasulullah SAW, karena HANYA dengan rasul itu, maka semua manusia mendapat petunjuk dan keselamatan.kesadaran manusia pada umumnya hanya sekedar merasakan bahwa "saya telah memahami" hanya karena ia pernah mendengar seorang ustadz berceramah dengan menyebut-nyebut kata Rasul, Muhammad, Tuhan, Allah, Spiritual, Tauhid, hakikat ataupun kata ma'rifat. Sangat naif sekali, kalau hanya dengan demikian sudah merasa sampai.

Yang perlu difahami bahwa : Allah kekal, demikian juga kekasih-Nya (Muhammad Rasulullah SAW) pasti kekal. dengan memiliki pemahaman seperti itu, maka relung pikiran kita baru bisa mulai berpikir tentang kekekalan tersebut.dalam sebuah hadits dikatakan :

MUHAMMAD AWAL bersifat Nurani, (cahaya)
ia dikenal dengan sebutan AHMAD NURANI (hadits lainnya: "anaa min nurrillahi wal 'alamu min nurri"

artinya kata Muhammad : Aku dari nur Allah sedangkan alam semesta dari Nurku)
MUHAMMAD AKHIR bersifat Ruhani,(ruh) ia dikenal dengan sebutan MUHAMMAD RUHANI (hadits lainnya: "anaa abul arwah wal adam abul jasad" artinya kata Muhammad : Aku sumber segala ruh dan adam sumber segala jasad)

MUHAMMAD DHAHIR (LAHIRIYAH) bersifat Insani (manusia)ia dikenal dengan sebutan MUHAMMAD INSANI, lahir di Makkah dan bersembunyi di Madinah al Munawarah (QS. Al Kahfi akhir: "Qul innama anaa basharun mitslukum" artinya, katakan bahwa AKU ini manusia seperti kamu)

MUHAMMAD BATHIN (QAIB) bersifat Rabbani (ketuhanan)ia dikenal dengan sebutan

MUHAMMAD RABBANI, (hadits lainnya: "anaa 'arab bilaa 'ain wa anaa ahmad bilaa mim, artinya 'Arab tanpa 'ain berarti menjadi RABB dan ahmad tanpa mim berarti menjadi AHAD), karena pada maqam bathin identitas Muhammad itu lenyap kedalam identitas yang maha esa.

Disini dapat dilihat bahwa Rasul Muhammad telah memenuhi seluruh waktu dan tempat, pengejawatahan-Nya kedalam format Rasul Muhammad adalah bentuk kasih sayang-Nya kepada manusia dan jin agar mereka mudah mengenal-Nya.

kepangkatan Rasul Muhammad lebih merupakan gerbang (portal) untuk mengakses ke wilayah ketuhanan-Nya Allah SWT. banyak faham mengabaikan tangga ini, andaikan saja mereka mau rendah hati dan menengok kedalam permasalahan ini dengan hati hidayat-Nya, maka mereka akan tersenggukan menahan tangisan kerinduan kepada-Nya.
Wamaa arsalnaaka ila kaafatan lin-naasi bashiiran wanadhiira walakinna aktsaranaasi laya'lamuun, artinya : Sesungguhnya engkau (Rasul Muhammad SAW) telah diutus untuk SEMUA manusia, untuk memberi sesuatu yang baik maupun yang buruk, tapi kebanyakan manusia tidak mengetahui engkau (wahai Rasul Muhammad SAW).
inilah amanah tersebut. barang siapa mencari jalan kepada Allah dengan tanpa melalui Rasul Muhammad yang berada selalu pada dirinya, maka jangan harapkan akan sampai kepada-Nya.
Wasalam

Rabu, 09 November 2011

Al-Haq

Assalamualaiykum Warahmatulahi Wabarakatu.

Jikalau inti Dzat Al Haq termanifestasikan kepada salah satu dari hambaNya dengan sifat dari sifat-sifatNya, sebutan dan ingatan hamba tersebut selalu beredar di-falak sifatNya dengan cara Kulli dan bukan dengan cara juz’i . Kedua sifat [kulli dan juz’i] itu tidak akan mungkin dipisahkan dari diri para hamba, melainkan dengan cara global. Jika seorang hamba memujikan salah satu namaNya dan menyempurnakannya dengan harapan global, maka ia akan dapat menduduki singgasana Arsy sifat tersebut, dan ia akan disifati dengan sifatNya.


Ketika hamba itu menerima sifatNya yang lain, demikian seterusnya hingga ia dapat mewadahi nama-nama Al Haq dalam dirinya, sehingga sifat-sifatNya benar-benar sempurna dalam diri hamba tersebut. Kemudian ketahuilah manakala Al Haq hendak memanifestasikan DiriNya dengan nama-nama atau sifat-sifatNya kepada salah satu hambaNya, Dia akan mensirnakan diri hamba tersebut fana’ bersama Diri Nya, Dia leburkan eksistensi/wujud hamba itu dalam kesirnaan bersamaNya


Manakala cahaya kehambaan telah padam, dan ruh kemakhlukan telah sirna tau fana’, Al Haq akan mencitrakan DiriNya pada struktur kemanusiaan hamba tersebut, tanpa Hulul, inti Dzat-Nya tidak menempati jisim hamba itu, kasih kelembutan-Nya tidak terpisahkan dari hamba tersebut. Dia juga tidak tersambungkan dengan hamba-Nya yang lain sebagai ganti atas peleburan dan kesirnaan struktur jisim hamba-Nya.


Sebab manifestasi-Nya, kepada para hamba-Nya adalah semata-mata karena kasih Fadhal/keutamaan dan kasih Al Juud kepemurahan Al Haq kepada para hambaNya.


Jika para hamba itu difana’kan, lalu Dia tidak mengganti kefana’an mereka dengan kasih keutamaan dan kepemurahanNya, maka kesirnaan seperti itu adalah Niqmah/bencana. Kasih kelembutan itu sejatinya adalah ruh Al Quddus. Manakala Al Haq menegakkan kasih kelembutan dari inti Dzat-Nya, sebagai ganti atas kefana’an hambaNya, maka manifestasi kelembutan kasih tersebut merupakan esensi tajalli DiriNya.


Hanya saja kita menamakan kasih kelembutan Ilahiyah dalam dimensi ini dengan sebutan al Abd’/hamba, dengan I’tibar ia kelembutan kasih ini merupakan ganti atas hamba, sebab jika tidak demikian, maka tidak akan ada hamba atau Rabb. Semantis logikanya, jika tidak ada Al Marbuub/yang diatur maka tidak ada Rabb/pengatur, yg ada hanyalah Allah semata, Tuhan Yang Maha Esa.


Ketahuilah, bahwasanya manifestasi sifat-sifat al Haq, ibarat penerimaan inti [dzat] seorang hamba [dalam bersifat] dengan sifat-sifat ar Rabb, dengan penerimaan secara ushul [dasar] dan hukum serta mutlak, seperti penerimaan sesuatu yang disifati dengan sifat yang mensifatinya. Karena kelembutan kasih ketuhanan yang terlanskapkan pada diri seorang hamba, tegak bersama struktur diri hamba tersebut, serta merupakan ganti atas dirinya.


Maka sifat-sifat ketuhanan yang melengkapi hamba tersebut, merupakan sifat dasar/ushul dan mutlak. Manakala seorang hamba mensifati dirinya dengna sifat-sifat ketuhanan, maka sifat al Haq adalah sifat hamba tersebut dan sifat si hamba adalah sifat al Haq. Ada banyak ragam penyingkapan manusia dalam manifestasi sifat-sifat al Haq ini.


Penerimaan mereka akan manifestasi tersebut tergantung dari kemampuan/kapabilitas yang mereka miliki, sejalan dengan kapasitas keilmuan yang mereka punyai, serta kekuatan azam/hasrat kuat yang ada pada diri masing-masing seorang hamba.


Di antara mereka yang ditajalikan kepadanya dengan sifat-sifatNya al Hayatiyah, maka jadilah hamba tersebut sentra Hayah/hidup alam semesta, ia dapat memakrifahi rahasia hidupnya dalam Maujudat/segala wujud secara universal, baik yang berdimensikan jasadiya [badan kasar] maupun dimensi ruhiya [ruh]. Ia bisa memahami makna-makna segala wujud dan mencitrakannya dalam dirinya, yang dengan itu tegaklah sendi-sendi hidup dan kehidupannya secara hakiki, boleh jadi citra makna-makna itu berupa al Aqwaal [perkataan-perkataan] atau al A’maal/perbuatan-perbuatan, bisa juga berupa citra dimensi kelembutan semisal al Arwah [ruh-ruh] atau citra al Katsib alam kasar semisal al Ajsaam/tubuh-tubuh kasar.


Lain halnya jika hidup dan kehidupan hamba tersebut mampu Syuhud/menyaksikan, mampu menggapai Dzauq al Wujdan/pengetahuan intuitif, serta mampu memahami makna-makna tersebut dalam dirinya tanpa wasilah [perantara]. Sang hamba akan mampu menggapai Kasyf Ilahiyah/intuisi ketuhanan, serta memukasyafahi inti Dzat-Nya. Dan Pahami dengan seksama masalah ini.


Syekh Abdul Karim Ibnu Ibrahim Al Jaili, secara pribadi pernah merasakan tajalli sifat ini, yang sedemikian itu, ia menyaksikan hidup dan kehidupan segala wujud dalam dirinya. Dia melihat Qadar segala sesuatu yang maujud/ada dalam kehidupannya, semuanya berjalan sesuai dengan kehendak inti Dzat-Nya. Dia pada tajalli tersebut hidup esa, tidak terpisah dengna inti Dzat, hingga tangan pertolongan-Nya memindahkan diri saya dari tajalli inti Dzat-Nya kepada tajalliyat-Nya yang lain.


Sang Syekh melebur dalam manifestasi-manifestasiNya. Diantara mereka yang ditajalikan kepadanya dengan sifatNya al Ilmiyah, yang sedemikian itu, tatkala al Haq memanifestasikan Diri-Nya dengna sifat Al Hayatiyah, yang terlanskapkan dalam segala wujud. Segala al Mumkinaat/sesuatu yang mungkin. Pada saat itu al Haq memanifestasikan Diri-Nya pada hamba tersebut dengan sifat-Nya al Ilmiyah, maka hamba itu bisa mengetahui kesejatian ragam alam semesta seperti sebelum dan pasca penciptaannya.


Ia bisa mengetahuinya segala sesuatu, mulai pra penciptaan, prosesi penciptaan dan tujuan akhir dari penciptaan segala wujud, ia juga bisa mengetahui sesuatu yang belum dijadikan, serta ahir dari sesuatu yang telah dan akan terjadi. Ia bisa mengetahui sesuatu yang akan terjadi, esensinya pengetahuan hamba itu menembus dimensi ruang dan waktu, serta melintas batas logika.


Kesemua itu merupakan ilmu yang datang dari al Haq melalui pembelajaran langsung dariNya, serta Wujdaan dari inti Dzat-Nya yang tersimpan rapi di Ghaib al Ghaib/kegaiban misteri, bisa dimakrifahi, baik rahasia ilmuNya yang bersifat universal maupun parsial, global maupun partikular, dan untuk menguak tabir kegaiban yang misteri itu adalah dengan Kasyaf/pengetahuan intuitif melihat dgn kenyataan.


Ketahuilah bahwasanya ilmu Laduni [ilmu yang berasal dari pembelajaran langsung dari al Haq – ref. QS Al Kahfi ayat 65], ilmu Dzati [ilmu yang terkait dengan inti [dzat]-Nya] diturunkan secara partikular dari Ghaib al Ghaib [kegaiban yang gaib], ke Syahadah asy Syahadah/kenyataan yg nyata/realitas yang riil, bisa disaksikan rincian globalitasnya dalam kegaiban, dan bisa diketahui universalitas Kulli-nya dalam kegaiban yang gaib.


Sedangkan ilmu Shifati yaitu ilmu yg berdimensikan sifat-sifatNya, tiada akan pernah bisa diketahui, melainkan pasca terjadinya sifat tersebut dalam kegaiban yang gaib. Semua perkataan tersebut tidak akan bisa dipahami kecuali oleh al Ghuraba’ atau insan-insan yang gharib, tidak ada yang bisa merasakan, kecuali para pejalan yang telah menggapai Kasyf/melihat dgn kenyataanya/pengetahuan intuitif.


Di antara mereka ada yang ditajallikan kepadanya dengan sifatNya al Bashar, yang sedemikian itu tatkala Dia memanifestasikan Diri-Nya kepada hamba tersebut dengan sifat al Bashariyah/penglihatan, al Ilmiyah/pengetahuan, al Ihaathiyah/peliputan dan al Kasyfiyah.


Dia memanifestasikan Diri-Nya kepada hambaNya dengan sifat al Bashar. Maka penglihatan hamba itu merupakan sumber ilmunya, demikian pula dengan rujukan ilmunya bermuarakan kepada al Haq, bisa juga rujukan ilmu hamba itu dimuarakan kepada makhlukNya, namun penglihatannya bermuarakan kepada al Haq, ia dapat melihat segala wujud [Maujudaat], seperti ketika Maujudaat itu berada di kegaiban yang gaib [Ghaib al Ghaib].


Sungguh merupakan kenaifan yang sangat telanjang, banyak suatu keterpesonaan yang mentakjubkan dalam tajalli ini, namun banyak diacuhkan oleh kebanyakan orang, mereka bahkan menafikan kenyataan tersebut dalam alam asy Syahadah [alam realitas].


Cobalah anda memfokuskan diri menyaksikan pemandangan ketinggian nan agung ini, serta panorama tajalli yang terang dan jelas, betapa mentakjubkan, betapa asyiknya tajalli ini, betapa banyak keterpesonaan yang ada dalam manifestasi ini. Jangan jadikan diri anda manusia yang memiliki penglihatan sehat dan jelas, namun tidak mampu menembus pandangan yang terang dan jelas.


Sebab banyak sekali para hamba yang ditajallikan sifat-sifatNya pada dirinya, namun sifat kemanusiaannya masih dominan dalam dirinya, sehingga sifat-sifat ketuhananNya terpinggirkan dari dirinya. Padahal manakala sifatNya dan sifat hamba tersebut menjadi tunggal, tidak ada dualisme sifat disitu, namun hanya sedikit sekali yang mampu memukasyafahi tajalli ini, yakni kegaibanNya tidak mampu disaksikan kehadirannya, kecuali oleh sedikit insan saja.


Penampakkan al Haq pada hambaNya melalui sifatNya merupakan bentuk pemuliaan Diri kepadanya inti Dzat-Nya, yang kehadiran-Nya adalah kegaiban hamba-Nya dan kegaibannya adalah kehadiran al Haq.


Di antara mereka ada yang ditajallikan kepadanya dengan sifat-sifatNya as Sam’u yang dengan itu hamba tersebut dapat mendengar perkataan al jamadaat [benda-benda padat], tumbuh-tumbuhan, hewan-hewan, serta perkataan para malaikat dan bisa menyimak ungkapan multi bahasa serta ujaran-ujaran makhluk yang lain.


Demikian pula sesuatu yang jauh bagi hamba itu terasa dekat, yang sedemikian itu, tatkala al Haq memanifestasikan DiriNya dengan sifatNya as Sam’u, hamba tersebut bisa mendengar dengan kekuatan ke-Esa-an sifat tersebut ragam bahasa, multi ujaran komunikasi benda-benda padat dan hewan-hewan.


Dalam etos tajalli ini Syekh Abdul Karim Ibnu Ibrahim Al Jaili telah menyimak ilmu Rahmaniyah dari ar Rahman, telah belajar membaca Al Quran secara hakiki, beliau pun merasa tidak lebih dari sebuath ar Rithlu [delapan ons] sedangkan DIA adalah al Mizaan/neraca timbangan. Realita ini tidak bisa dipahami, kecuali oleh ahli Qur’an yang merupakan ahli keilahian yaitu insan-insan khawas/golongan istimewa dan khusu yang menjadi kekasihNya.


Di antara mereka ada yang ditajallikan kepadanya dengan sifatNya al Kalaam, yang dengan itu semua Maujudaat, berasal dari Kalaam hamba tersebut, sebab tatkala al Haq memanifestasikan DiriNya, kepada hamba itu melalui sifatNya al Hayatiyah. Kemudian Dia mengajari hamba itu dengan sifat ‘AliimNya, bahwa segala rahasia hidup dan kehidupan berasal dari DiriNya.


Lalu Dia memperlihatkan dan memperdengarkan hamba itu dengan sifat al Bashar dan as Sam’u-Nya berikut dengan kekuatan ke-Esa-an hidup. Dia jadikan hamba itu berbicara dengan Kalam-Nya, jadilah segala wujud dair kalamNya. Saat itulah sang hamba menyaksikan dengan kalamNya, dalam capaian spiritual ini keazalian segala sesuatu seperti sedia kala, kalimatnya tiada akan pernah habis dan tidak pula berakhir.


Dengan tajalli ini al Haq beraudiensi dengan hambaNya tanpa Hijab [tirai penghalang] nama-nama pra penampakannya. Di antara para audien tersebut ada yang bisa beraudiensi dengna inti Dzat-Nya dari dalam dirinya, ia menyimak pembicaraan yang datang bukan dari salah satu arah tertentu, bukan pula dengan suara, penyimakannya akan ujaran-ujaran tersebut secara ke-universal-an dan bukan dengan telinga


. Dikatakan kepada hamba tersebut :

kau adalah cinta Ku, kau adalah kekasih Ku, kau adalah insan yang dicari dan diharapkan, kau adalah wajah Ku pada segenap hamba, kau adalah harapan utama, kau adalah pencarian tertinggi, kau adalah rahasia Ku dalam segala rahasia, kau adalah cahaya Ku dalam segala cahaya, kau adalah permata Ku, kau adalah perhiasan Ku, kau adalah keindahan Ku, kau kesempurnaan Ku, kau nama Ku, kau inti Dzat-Ku, kau sifat Ku.


Aku adalah namamu, Aku adalah citramu, Aku adalah tandamu, Aku metaformu. Duhai kekasihKu, kau adalah penolong segala wujud, kau adalah maksud dari segala wujud dan Huduts [kebaruan]. Dekatkan dirimu kepada penyaksianKu, maka Aku akan dekatkan diriKu kepadamu dengan wujudKu, jangan kau jauhkan dirimu dari Ku, sebab Akulah yang berfirman : “Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” [QS Qaaf (50) ayat 16].


Jangan kau belenggu dirimu dengan isim/nama seorang hamba, kalau bukan karena adanya Rabb, maka tidak akan pernah ada ‘Abd [hamba]. kau tampakkan Diri Ku, seperti Aku tampakkan dirimu, kalau bukan karena ubudiyah [ritus peribadatan]mu, niscaya tidak akan tertampakkan Rububiyah [ketuhanan] Ku, kau menjadikan Diri Ku tertajallikan, seperti halnya Aku menjadikan dirimu, kalau bukan karena wujudmu, maka wujud tajalli Ku tidak tersibakkan, cinta Ku paling dekat dari segala yang terdekat.


Cinta Ku paling tinggi dari segala yang tertinggi, cinta Ku menghendaki dirimu untuk pensifatan Diri Ku. Aku pilih dirimu untuk Diri Ku, jangan kau keluarkan dirimu untuk selain Diri Ku, jangan keluarkan Diri Ku dari dirimu. Cinta Ku adalah sari dalam buah, cinta Ku adalah garam dalam makanan.


Imajinasi Ku dalam ke-absurd-an, logikamu dalam pengetahuan. Cinta Ku, menjadikan Diri Ku terasa dalam jangkauan inderawi, membuat Ku tersentuh dalam sentuhan. Kekasih Ku, kau adalah muara harapan Ku, sentra penglihatan Ku, media kasih kelembutan Ku. Betapa indah kebersamaan Ku denganmu, betapa syahdu keintimanmu dengan Diri Ku.


Di antara para audien itu ada yang diajak bicara al Haq melalui lisan makhluk [ciptaan]Nya, ia menyimak pembicaraan dari satu arah tertentu, akan tetapi ia sangat mafhum [faham], bahwa ungkapan itu bukan keluar dari arah tersebut, meski berwujud ungkapan yang keluar dari lisan makhlukNya.


Ia bisa memakrifahi sejatinya perkataan tersebut berasal dari al Haq adapun ragam pembicaraannya sangatlah banyak, yang tidak mungkin kita rinci dalam karya ini. Diantara para audien itu ada yang dilanglang buanakan al Haq dari alam jisim ke alam ruh, audiensi bentuk ini merupakan tingkatan tertinggi.


Di antara para audien itu ada yang diajak bicara al Haq melalui hatinya, di antara mereka ada yang diterbangkan dengan ruhnya ke lapisan pertama langit dunia, ada pula yang diterbangkan dengna ruhnya ke langit lapis kedua dan ketiga, diantara mereka ada yang diterbangkan ke Sidratul Muntaha, dan diajak bicara disana.


Tingkat pembicaraan masing-masing insan yang diajak bicara al Haq tersebut, tergantung daripada kemampuan mereka memasuki dan memakrifahi dunia hakikat, sebab al Haq tidak akan meletakkan sesuatu melainkan pada tempatnya.


Pada saat pembicaraaan itu, di antara mereka ada yang diberikan contoh [permisalan] cahayaNya yang dengan itu ia menjadi sumber segala cahaya, di antara mereka ada yang dinisbatkan kepadanya menjadi al Munir [yang menerangi] bersumberkan cahayaNya.


Di antara mereka ada bisa melihat cahayaNya dalm batinnya, yang dengan itu ia bisa mendengar pembicaraan dari arah cahaya Ilahiyah [ketuhanan] tersebut, ia bahkan bisa melihat ragam cahaya ketuhanan dengan berbagai citra.


Di antara mereka ada yang melihat citra ruh, yang memanggil-manggil dirinya, kesemua itu tidak dinamakan al Khitab [pembicaraan], kecuali jika diberitahu al Haq bahwasanya Dia-lah sejatinya al Mutakallim Sang Pembicara.Kalamullah, adalah sebuah realita yang sangat nyata, tidak membutuhkan dalil untuk mengetahuinya, bahwa kekhususan Kalamullah tidak samar [tersembunyi].


Orang seorang yang menyimak Kalamullah tidak menghajatkan dalil maupun keterangan, terlebih al Burhan [aksioma], sebab dengan penyimakan tersebut sang penyimak memakrifahi/memahami dgn penuh keyakinan bahwasanya Kalam [ujaran] itu adalah Kalamullah.


Di antara yang diajak bicara itu ada yang diangkat ke Sidratul Muntaha, al Haq berbicara kepadanya :

KekasihKu, ke-aku-anmu adalah ke-Dia-an Ku, kau adalah permata Ku. Kekasih Ku, ke-universal-anmu adalah ke-Esa-an Ku, engkaulah harapan Ku, Aku adalah untukmu bukan untuk Diri Ku, kau adalah yang Ku inginkan, kau untuk diri-Ku bukan untuk dirimu. Cinta Ku ... kau adalah nuqta [titik], di atas peredaran wujud, kau adalah cahaya. Kau adalah manifestasi, kau adalah kebaikan, kau adalah perhiasan, laksana mata dalam struktur tubuh manusia.


Diantara para audien itu ada yang dipanggil, melalui dimensi kegaiban, serta dapat mengerti warta-warta sebelum terjadi, yang sedemikian itu terjadi karena permintaan mereka kepada al Haq untuk diberitahu, dan Diapun mewartakan ujaran-ujaran tersebut.


Di antara mereka ada meminta karamah/kelebihan, al Haq pun memuliakannya dengan karamah, sebagai dalilnya untuknya jika kembali ke alam indrawi, serta untuk mengeksiskan capaian spiritual/maqom nya di hadapan al Haq. Kita cukupkan paparan perihal al Mukallimin [insan yang diajak bicara] al Haq sampai disini. Kita kembali ke pokok kajian manifestasi sifat-sifatNya.


Di antara mereka ada yang ditajallikan kepadanya dengan sifat-sifatNya al Iradah. Ketahuilah bahwasanya wajah kehidupan makhluk adalah sejalan dengan iradah [kehendak] al Haq, manakala Dia bermanifestasikan dengan sifat al Mutakallim [berbicara], Dia beraudiensi dengan ke-Esa-an al Mutakallimin [ujaran-ujaran]Nya kepada segenap makhlukNya, al Mutakallimin [para audiens]-pun menyimak ajaran-ajaranNya sejalan dengan kehendakNya.


Mayoritas para insan yang telah Wushul [sampai] pada tajalli ini, kembali mundur ke belakang. Mereka mengingkari al Haq dengan apa yang mereka lihat, yg sedemikian tatkala al Haq mempersaksikan kepada mereka dengan kesaksian Dzat bahwa segala sesuatu berjalan dengan IradahNya di alam Ghaib Uluhiyah [ketuhanan].


Mereka lantas mencari penyaksian tersebut dalam diri mereka di alam realita ini, jelas realita itu mustahil terjadi di alam Syahadah [alam realita] ini, karena hal itu merupakan kekhususan dua inti Dzat. Mereka lalu mengingkari kesaksian inti itu, yang menyebabkan mereka melangkah mundur, dan hancurlah kaca kalbu mereka, lantas mengingkari al Haq. Padahal mereka telah menempuh raihan Syuhud/penyaksian, serta hilang [gaib] sesudah wujud.


Diantara mereka ada yang ditajallikan kepadanya dengan sifatNya al Qudrah, segala sesuatu terjadi dengan qudrahNya di alam gaib, Dia menampakkan contoh-contoh produk kegaiban tersebut di alam kasat mata ini. Jika seorang hamba terus intensif memelihara tajalli ini, maka capaian spiritualnya akan meningkat, akan ditampakkan kepadanya segala sesuatu yang disembunyikan-Nya.


Pada tajalli ini Syekh Abdul Karim Ibnu Ibrahim Al Jaili telah mendengar Shalsahalah al Jaros [bunyi lonceng], struktur tubuh beliau terpencar, citranya semburat, namanya terhapus, karena keterpesonaan [Haybah] nya yang amat sangat, beliau seperti kain koyak yang tergantung di puncak pohon, dihempas angin kencang, lambat laun terlempar dari pohon tersebut.


Pada kondisi spiritual seperti itu, beliau tidak melihat, melainkan Buraq, awan putih yang kemilau yang mengguyurkan hujan cahaya-cahaya, serta samudera yang berombak api, bumi dan langit ini serasa berbenturan, beliau merasa berada di kegelapan yang gelapnya berlapis-lapis. Qudra itu terus menciptakan untuk dirinya kekuatan-kekuatan Haybah [kedasyatan], Qudra itu membakar dirinya dengan nafsu-nafsu, hingga Sang Maha Perkasa membawanya ke hanggar keilahian, tampak keindahan yang terindah dalam teropong lubang jarum imajinasi, semburat semua khayal. Imajinasi menari-nari membentangkan karya ciptaan dan asumsi beliau menari-nari ingin merentah dirinya, pada waktu itu terciptalah segala sesuatu. Setelah beliau kembali kepada rasi-rasi bintang [falaq] al Mulk kekuasaan-Nya, tiba-tiba terdengar suara keilahian :

“wahai langit dan bumi, datanglah kamu keduanya menurut perintahKu, dengan suka hati atau terpaksa.” [QS Fushilat (41) : 11]


Di antara wajah manifestasi [Tajalli as Shifat] ini adalah, polarisasi obsesi manusia-manusia yang bercita-cita besar, wajah tajalli ini terwajahkan dalam dunia imajinasi, terdapat di dalamnya kreasi imajinatif yang penuh dengan keghariban dan keajaiban. Tajalli ini juga menampakkan sihir kelas tinggi, dalam manifestasi ini : penghuni surga berbuat apa saja yang mereka kehendaki, juga keajaiban benih yang ada di tanah yang dipakai menciptakan Adam as, seperti yang telah disebutkan Ibnu Arabi dalam kitab beliau.


Dalam tajali ini : manusia yang berjalan di atas air, terbang di udara, mampu menjadikan sesuatu menjadi banyak, dan banyak menjadi sedikit, dan banyak lagi panorama kejadia luarbiasa dengan segala wacana dan dimensinya. Janganlah kalian menjadi heran, sebab semua kejadian yang ada, sejatinya adalah satu macam, namun memiliki ragam wajah, kenyataan itu melahirkan dimensi kebahagiaan dan kepedihan, seorang yang bisa memaknai secara hakiki akan bahagia, insan yang menafikan dan tidak menemukan makna hakiki akan sedih. Pahamlah dengani seksama metafora dan isyarat yang ada.


Kami telah berusaha memaparkan paradoks, metafor-metafor, isyarat-isyarat yang berserak dari realita yang ada dengan kemampuan kami, karena kedalaman rahasia yang tersimpan di dalamnya memerlukan tafakur yang optimal untuk menyingkapnya.


Jika nantinya anda benar-benar mampu menggapai capaian pemahaman hakiki dalam tajalli ini, anda akan mampu menyibak rahasia Qudrah yang terhijab dan tersimpan.


Pada khazanah capaian ini, anda bisa berkata kepada sesuatu : Kun [jadilah] Fa Yakun [maka jadilah] sesuatu yang anda ujarkan tersebut, itulah sejatinya amar-Nya yang terdapat di antara Kaf dan Nun.


Di antara mereka ada yang ditajallikan kepadanya dengan sifatNya ar Rahmah, yang sedemikian itu setelah dinisbatkan kepadanya Arsy ketuhanan [Rububiyah], dan dikuasakan kepadanya sifat RabbNya, diletakkan kepadanya Kursi kemampuan Maujudaat [segala wujud] dengan mediasi hamba tersebut, itulah sejatinya Kursi inti [Dzat]-Nya, penggerak sifat-sifatNya, ia melantunkan ayat-ayat :

“Katakanlah : Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang-orang yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki, Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki.


Di tangan Engkaulah segala kebajikan, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. Engkau masukkan malam ke dalam siang, dan Engkau masukkan siang ke dalam malam, Engkau keluarkan hidup dari yang mati, dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup, dan Engkau beri rizki siapapun yang Engkau kehendaki tanpa hisab.” [QS Ali Imran (3) ayat 26-27].


Kesemua itu di alam gaib-Nya tersucikan dari keraguan, serta sebuah kemestian yang tak terbantahkan, disinilah esensi perbedaan di antara dua sifat dan dua inti [dzat].


Di antara mereka ada yang ditajallikan kepadanya dengan sifatNya al Uluhiyah, dalam tajalli ini berkumpul dua sifat yang bertolak belakang, semisal hitam putih, lapang sempit, termasuk juga alam kerendahan dan alam ketinggian.


Pada fase ini nama dan sifat tak terlogikakan, kulit dan isi telah terkupas, segala sesuatu terlihat : “Laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tapi bila didatanginya air itu, dia tidak mendapatinya sesuatu apapun, dan didapatinya ketetapan Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup.” [QS An Nur (24) ayat 39] diperlihatkan kiri dan kanannya serta dibacakan kitabnya : “Dan dikatakan : Binasalah orang-orang yang zalim.” [QS Hud (11) ayat 44]


Ketahuilah bahwasanya Cahaya itu sejatinya adalah kitab yang tertulis, memberi petunjuk kepada siapa saja yang dikehendaki, seperti yang ditegaskan al Haq dalam firman Qur’ani : “Banyak orang yang disesatkan, dan banyak pula orang yang diberi petunjuk.” [QS Al Baqarah (2) ayat 26].


Ketahuilah tiada jalan menuju-Nya tanpa Cahaya, dan ia [Nur] merupakan Shiratullah [jalan Allah]. Seseorang yang berjalan di bawah CahayaNya, akan beroleh petunjuk, sedang yang berjalan dengan selain CahayaNya akan sesat.


Fadhilah Doa Akasah:

Banyak sekali fadhilah dalam doa akasah ini, berikut beberapa fadhilah nya: (dari majmu syarif)


Sayyidina Abu Bakar Ash Shidiq ra telah berkata: Rasulullah SAW pernah bersabda kepadaku, Janganlah kautinggalkan membaca Akasah ini karena sebab membaca do'a ini kamu akan dapat ke-sentausa-an dan anugerah dari Allah SWT dapat menghafalkan

Al Quran dan Kitab.


Sayyidina Umar Bin Khatab ra berkata: Rasulullah SAW telah bersabda, Wahai Umar bacalah doa ini, karena membaca doa ini akan memperoleh pahala yang sangat besar, tujuh puluh ribu Malaikat berbuat kebajikan karena membaca doa ini, satu Malaikat mempunyai mulut, tujuh puluh dan mempunyai kepala tujuh puluh. Tiap satu memuji kepada Allah SWT dan semua itu diberikan kepada orang yang mau membaca doa ini, Allah memberi rahmat kepadanya.


Sayyidina Utsman bin Affan ra berkata: Sesungguhnya aku dapat menghafalkan Al Quran berkah doa ini.


Sayyidina Ali Bin Abi Thalib ra telah berkata: Aku menjadi kuat karena berkah doa ini.


Hasan Basri (semoga selalu mendapatkan rahmat Allah SWT berkata: Sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya seseorang tidak akan memperoleh pahala seperti pahalanya orang yang membaca doa ini.


wallaahu a'lam

Selasa, 08 November 2011

MAN ARAFA NAFSAHU FAQAT ARAFA RABBAHU

Terdapat hadits yang mengatakan "Barang Siapa Mengenal Dirinya, maka akan mengenal Tuhannya". Bagaimana tahap pertama Langkah yg diharus dilakukan untuk mengenal tuhannya?
Jawaban:
Banyak ulama yang mengatakan bahwa terdapat hadits yang mengatakan "Barangsiapa mengenal dirinya maka akan mengenal Tuhannya". Namun beberapa ulama seperti An-Nawawi dan As-Suyuthiy mengatakan bahwa “Hadits ini tidak tsabit (tidak shahih)”

Terlepas dari perbedaan pendapat tentang status kalimat tersebut hadits atau bukan, kalimat ini berselarasan dengan yang dikatakan Allah:

"Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik." [QS Al Hasyr (59):19]

Dalam Buku Minhajul Abidin, Imam al Ghazali menjelaskan dengan detil tentang bagaimana mengenal diri menjadi anak kunci untuk mengenal Allah Swt. Beliau mengatakan ada 7 (tujuh) tahapan (aqabah) untuk mengenal diri.

Tahapan pertama adalah "Menuntut Ilmu". Inilah yang dimaksud dalam hadits: "Menuntut ilmu adalah fardlu bagi setiap muslim". Ibarat sebuah kompas, ilmu adalah alat bagi kita untuk mencapai sebuah tujuan. Ibarat perjalanan jauh di gurun pasir, ilmu adalah bekal yang menemani perjalanan kita.

Tanpa perbekalan yang tepat kita malah akan membawa bekal yang menjadi beban dalam perjalanan. Tanpa perbekalan yang mencukupi, kita dapat kehausan dan kelaparan di tengah perjalanan.

Tanpa kompas, kita akan tersesat menuju tujuan. Seharusnya berjalanan ke timur, kita malah berjalan ke barat. Harusnya terus berjalan, kita berputar-putar disebuah tempat, menyangka bahwa itu adalah tujuan akhir perjalanan. Al-Quran sesungguhnya sumber ilmu, untuk menempuh perjalanan tersebut.

Dalam menuntut ilmu, kita akan mengetahui bahwa awal yang harus dimiliki oleh setiap pencari Tuhan adalah "keikhlasan", namun memahami keikhlasan juga membutuhkan ilmu.

Hanya para pencari yang sungguh-sungguh mencari Allah sajalah yang akan dijemput-Nya. Siapa yang mendekati berjalan, Dia akan menyambutnya dengan berlari. Siapa yang mendekati sedepak, Dia akan mendekatinya sehasta. Dia akan menyambut dengan sangat gembira, melebihi gembiranya seorang yang kehilangan unta di padang pasir luas, dan tiba-tiba untanya kembali.

“Barangsiapa yang mendekati Allah sedepa, Dia akan mendekatinya sehasta. Barangsiapa mendekati Allah sambil berjalan, Allah akan menyambutnya sambil berlari.” (HR Ahmad dan Thabrani)

Nabi saw pernah bertanya kepada para sahabatnya, “Bagaimana keadaan kalian, seandainya di antara kalian suatu saat berada di padang pasir membawa perbekalan dan unta, lalu kalian tertidur; dan ketika bangun, kalian mendapati unta dan perbekalanmu hilang?”

Para sahabat menjawab, “Tentu cemas sekali, ya Rasulallah!” Rasulullah melanjutkan, “Di saat kalian cemas, tiba-tiba kalian lihat unta itu kembali dari tempat jauh dan menghampiri kalian dengan membawa seluruh perbekalanmu. Apa perasaan kalian?”

Para sahabat kembali menjawab, “Tentu kami akan bahagia sekali.” Nabi yang mulia lalu berkata, “Allah akan lebih bahagia lagi melihat hamba-Nya yang datang kepada-Nya daripada kebahagiaan seseorang yang kehilangan unta kemudian ia melihat untanya datang kembali kepadanya.” (HR. Muslim)

Jika sungguh-sungguh Allah tujuannya, Allah sendirilah yang akan menjaga dari ketersesatan. Allah sendiri yang akan membimbingnya. Namun cara Allah menuntun kata Rumi (Jalaluddin Rumi) cara yang sangat misterius. Menuntut ilmu, juga merupakan perbekalan untuk menjalani tuntunan-Nya yang sangat misterius itu.

Penjelasan ini yang dimaksud dengan kata-kata Imam al Ghazali : "...semua manusia akan rusak kecuali orang yang berilmu, semua manusia yang berilmu akan rusak kecuali orang yang beramal, semua manusia yang beramal akan rusak kecuali orang yang ikhlas".

Jalan menuju Allah adalah sebanyak jiwa hambanya. Artinya, jalan mengendal diri, akan berbeda satu dengan yang lainnya. Namun patternya sama, seperti yang dijelaskan oleh Imam al Ghazali dalam 7 aqabah tersebut. Detil dalam tiap-tiap aqabah ini yang akan berbeda satu sama lain.

***
Secara sturkturisasi unsur, dalam Al Quran Allah mengatakan ada 3 unsur pembentuk manusia:

1. Jasad, tubuh atau jasmani (al-jism)
2. Jiwa atau diri (an-nafs)
3. Ruh atau nyawa (ar-ruh)

Mengenal diri yang akan menjadi jembatan pengenalan kepada Tuhan, bukan pengenalan kepada unsur jasad (al-jism), tetapi kepada unsur jiwa atau diri (an-nafs).

Jadi bukan pengenalan terhadap bagaimana bentuk mata, telinga, wajah, rambut, tangan, kaki kita yang akan mengantarkan kepada pengenalan kepada Allah, tetapi pengenalan kita kepada jiwa atau diri (an-nafs) yang mengantarkan kita mengenal Allah Swt.

Jiwa atau diri (an-nafs) berbeda dengan ruh atau nyawa (ar-ruh). Kebanyakan orang menyamakannya. Bahkan terkadang kata an-nafs diterjemahkan sebagai ruh. Karenanya saya mengajak sahabat-sahabat untuk mencoba menelisik AQ dengan mencermati kata dalam Arab-nya, untuk melihat spesifikasinya.

Lalu, kenapa pengenalan kita kepada unsur jiwa atau diri (an-nafs) akan mengantarkan kita kepada Allah?

Karena sesungguhnya unsur pembentuk manusia yang dapat "mengenal" dan "selalu bertemu" dengan Allah adalah unsur jiwa atau diri (an-nafs) ini. Saat manusia belum lahir ke dunia, unsur jiwa atau diri (an-nafs) inilah yang melakukan janji setia kepada Allah Swt dengan mengatakan: "balaa syahidna".

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):

"Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi." (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)" [QS Al A’raaf (7):172]

Karenanya apabila kita mengenal jiwa atau diri (an-nafs), maka akan mengantarkan kita mengenal Allah Swt.

Ketika seorang manusia meninggal dunia, kita sering mendengar kalimat: "Semoga arwahnya diterima di sisi-Nya". Kata-kata ini sebenarnya kurang tepat, karena mengandung beberapa kerancuan.

Kerancuan pertama adalah mengenai kata "arwah". Arwah adalah jamak dari kata "ruh". Padalah, ruh seseorang adalah tunggal, bukan jamak. Kerancuan yang lain adalah, ruh selalu dalam keadaan suci. Yang terkotori oleh dosa adalah jiwa. Seharusnya yang didoakan adalah jiwa, bukan ruh seseorang.

Ketika seseorang meninggal dunia, maka ruh akan terlepas dari jasad. Ruh inilah yang memberikan "energi" kepada jasad. Sehingga, ketika seseorang masih hidup, jasadnya bisa dirasakan hangat dan tumbuh.

Sementara jika sudah meninggal, jasanya akan dingin karena energinya sudah tidak ada. Ketika jasad dikuburkan, maka jasad akan kembali ke "kampung halamannya" yaitu bumi. Jasad akan hancur. Sementara ruh kembali ke sisi-Nya, tetap dalam keadaan suci sebagaimana pertama kali ia ditiupkan.

Sedangkan yang dialami oleh jiwa (an-nafs), tergantung dari kondisi ketika manusia tersebut ketika masih hidup di alam dunia. Jiwa yang penuh dosa, akan mengalami siksa kubur.

Siksa kubur disini dapat dilihat sebagai proses pembersihan. Sama seperti ketika anak kecil yang habis bermain-main di lumpur. Untuk membersihkan badan si anak, maka perlu dilakukan proses pembersihan melalui mandi. Jika perlu, badan sampai disikat agat bersih.

Tetapi jiwa yang ketika di alam dunia sudah bersih bercahaya, maka ketika manusia tersebut meninggal, sang jiwa hidup disisi Allah dan dapat berjalan-jalan di tengah manusia sampai di kumpulkan kembali di padang mahsyar, namun manusia tidak menyadarinya.

Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan. [QS Al Anam (6): 122]

Terdapat hadits berkaitan dengan situasi di padang mahsyar, diriwayatkan dari Muadz bin Jabal:
Nabi Muhammad saw bersabda, "Wahai Muadz, sesungguhnya engkau bertanyakan sesuatu yang sangat besar. Ada 12 kelompok umatku akan dihalau ke Padang Mahsyar. Mereka semuanya itu Allah Maha Kuasa tukarkan, tidak seperti mereka hidup ketika didunia."

Golongan itu adalah seperti berikut:

Pertama, dibangkitkan dari kubur dengan keadaan tanpa tangan dan berkaki. Mereka adalah orang yang ketika di dunia dulu suka mengganggu tetangganya.

Kedua, dibangkitkan dari kubur dengan keadaan berupa babi hutan. Mereka adalah orang yang ketika hidupnya meringankan malas dan lalai dalam salat.

Ketiga, dibangkitkan dari kubur dengan keadaan keledai, mereka Sedangkan perut membesar seperti gunung dan di dalamnya penuh dengan ular dan kalajengking. Meraka ini adalah orang yang enggan membayar zakat.

Keempat, dibangkitkan dari kubur dengan keadaan darah memancut keluar dari mulut mereka. Mereka ini adalah orang yang berdusta di dalam jual beli.

Kelima, dibangkitkan dari kubur dengan keadaan berbau busuk lebih daripada bangkai. Mereka ini adalah orang yang melakukan maksiat sembunyi-sembunyi kerana takut dilihat orang, tetapi tidak takut kepada Allah.

Keenam, dibangkitkan dari kubur dengan keadaan leher mereka terputus. Mereka adalah orang yang menjadi saksi palsu.

Ketujuh, dibangkitkan dari kubur tanpa mempunyai lidah dan dari mulut mereka mengalir keluar nanah serta darah. Meraka itu adalah orang yang enggan memberi kesaksian di atas kebenaran.

Kedelapan, dibangkitkan dari kubur dengan keadaan terbalik yaitu kepala kebawah dan kaki keatas, serta farajnya mengeluarkan nanah yang mengalir seperti air. Meraka adalah orang yang berbuat zina dan mati tanpa sempat bertaubat.

Kesembilan, dibangkitkan dari kubur dengan keadaan wajah hitam gelap dan bermata biru serta perutnya dipenuhi api. Mereka itu adalah orang yang memakan harta anak yatim dengan cara zalim.

Kesepuluh, dibangkitkan dari kubur dengan keadaan tubuh mereka penuh dengan sopak dan kusta. Mereka adalah orang yang durhaka kepada orang tuanya.

Kesebelas, dibangkitkan dari kubur dengan keadaan buta, gigi mereka memanjang seperti tanduk lembu jantan, bibir mereka melebar sampai ke dada dan lidah mereka terjulur memanjang sampai ke perut. Perutnya pula menggelebeh hingga ke paha dan keluar beraneka kotoran. Mereka adalah orang yang minum arak.

Keduabelas, dibangkitkan dari kubur dengan keadaan wajah yang bersinar-sinar bercahaya laksana bulan purnama. Mereka melalui titian sirath seperti kilat yang menyambar.

Mereka adalah orang yang beramal soleh dan banyak berbuat baik, selalu menjauhi perbuatan durhaka, mereka memelihara salat lima waktu, ketika meninggal dunia keadaan mereka bertaubat dan mendapat ampunan, kasih sayang dan keridhaan Allah.

Wallahualam

Senin, 09 Mei 2011

Laa Ilaha Illallah

Wajib bagi setiap muslim untuk mempelajari ilmu agama ini, terutama hal – hal yang dengan ilmu tersebut seseorang bisa menegakkan agamanya, Imam Ahmad pernah ditanya tentang apa yang diwajibkan atas seorang hamba untuk mempelajarinya, berkata Imam Ahmad Rahimahullah : ” Ilmu yang dengan nya seseorang bisa menegakkan agamanya, ditanyakan kepada beliau seperti apa,? beliau menjawab ilmu yang seseorang tidak boleh bodoh darinya, seperti sholat, zakat, dan shoum (puasa) dan yang semisalnya.” ( Silahkan lihat Kitab Al-Furuq, Ibnu Muflih 1/525, Hasiyah Al – Ushulus Tsalasah Ibnul Qasim )

Sebelum itu ada kewajiban yang paling agung yang kita harus memahami dan mempelajarinya yaitu tauhid, kewajiban yang terpenting dari yang terpenting lainnya, berkata Syaikh Sholeh Al-Fauzan Hafidzahullah : ” Dan (mempelajari tauhid) perkara yang sangat penting, mempelajari atau memahami tauhid lebih ditekankan atas kamu dari mengetahui hukum sholat, zakat, ibadah-ibadah dan seluruh perkara agama lainnya. Dikarenakan mempelajari perkara ini adalah yang pertama dan pondasi, dikarenakan sholat, zakat, haji, dan selainnya dari ibadah-ibadah tidaklah sah apabila tidak dibangun atas dasar aqidah yang benar dan itulah tauhid yang murni untuk Allah Azza wajalla “ ( Syarh Qawaidul ‘Arba : 6 )

Dan diantara materi tauhid yang paling agung adalah penjelasan tentang makna Laa Ilaha Illallah, bahkan kalimat َ Laa Ilaha Illallah adalah tauhid itu sendiri. Dan pengetahuan tentang makna Laa Ilaha Illallah adalah kenikmatan yang sangat agung, sebagaimana yang dikatakan oleh Sufyan Bin Uyainah Rahimahullah : ” Tidaklah Allah memberi nikmat atas seorang hamba dari hambanya yang lebih besar dari pengetahuan mereka tentang makna Laa Ilaha Illallah “ ( Kalimatul Ikhlas Ibnu Rajab : 103 ). Oleh karena itu kita harus bersemangat memahami kalimat yang agung ini, kalimat yang menjadi sebab manusia diciptakan, para Rasul diutus, kitab – kitab diturunkan, dan karena sebab kalimat inilah terbagi manusia menjadi orang – orang yang beriman dan orang – orang kafir, kebahagian bagi penduduk surga dan penderitaan bagi penduduk neraka, kalimat Laa ilaha illallah adalah urwatul wutsqa (tali yang kokoh), kalimat Laa ilaha illallah adalah rukun yang sangat agung dari agama dan cabang yang sangat penting dari keimanan, dan kalimat Laa ilaha illallah adalah jalan meraih surga dan selamat dari neraka. ( Silahkan lihat Fiqh AL Ad’iyah Wal Adzkar Syaikh Abdul Razzaq Bin Abdul Muhsin Al Badr : 168, Dar Ibnu Affan )

Maka dari itu sangatlah mendesak bagi kita untuk memahami makna Laa ilaha illallah dengan pemahaman yang benar. Berkata Syaikh Zaid Bin Muhammad Al – Madkholi Hafiidzahullah : ” Wajib atas setiap muslim dan muslimah supaya mereka mempelajari rukun dan syarat Laa ilaha Illallah secara global dan jelas ” ( Syarh Al-Ushulus Tsalasah, Syaikh Zaid : 36 )

A. Keutamaan Laa Ilaha Illallah

Sebelum menjelaskan makna Laa ilaha illallah, alangkah pentingnya bagi kita untuk mengetahui keutamaan Laa ilaha lllallah. Keutamaan Laa Ilaha Illallah sangatlah banyak diantaranya adalah :

1. Sebab Keberuntungan dan kebahagian, Sebagaimana seb uah hadist, dari Thariq Al Mahariby Radiyallahu ‘Anhu berkata, saya melihat Rasululloh Shalallahu ‘alaihi wassalam berjalan di pasar dzil madzaz (nama sebuat tempat), memakai baju merah, dan beliau Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda : ” Wahai manusia katakanlah oleh kalian Laa Ilaha Illallah supaya kalian beruntung “ ( HR. Ibnu Khuzaimah di dalam shahihnya dengan sanad shahih han dishahihkan oleh Syaikh Muqbil didalam shahihul Musnad jilid 1 hal : 535 )

2. Diantara keutamaanya bahwasannya kalimat Laa Ilaha Illallah sesuatu yang paling berat timbangannya. Sebagaimana sebuah hadist, dari Abdullah bin ‘Amr, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “ Sesungguhnya Allah akan membersihkan seseorang dari umatku pada hari kiamat, dibentangkan baginya 99 sijjil (catatan amal) masing-masing sijjil sepanjang pandangan mata. Lalu dikatakan kepadanya: ‘ adakah sesuatu yang kamu ingkari dari hal ini, apakah malaikat pencatatku yang terjaga mendzolimimu’ ? Ia menjawab: ‘Tidak wahai Rabbku’. Kemudian ia ditanya, apakah kamu punya (udzur) alasan atau kebajikan?’ ia menggelengkan kepalanya (menunjukkan tidak punya) lalu menjawab tidak punya wahai Rabb.’ lalu ia diberi tahu: ‘Sesungguhnya kamu memiliki kebajikan di sisi Kami dan kamu tidak akan didzalimi sedikitpun pada hari ini, kemudian dikeluarkan baginya sebuah bithaqah (kartu yang berisi catatan amal) yang di dalamnya tertulis -Asyhadu anlaailaha illallah wa asyhadu anna muhammadarrasulullah-‘ maka dikatakan ” hadirkanlah dan timbanglah bitaqah tersebut’, Maka ia berkata: Wahai Rabb apa arti dari bithaqah (kartu) ini di banding dengan sijjil (lembaran) ini’ Dikatakan kepadanya: ‘Engkau tidak akan didzalimi sedikitpun dan diletakkan sijjil (lembaran-lembaran) pada sebuah daun timbangan dan bitaqah (kartu catatan amal Laa Ilaha Illallah) pada daun timbangan lainnya, terangkatlah sijjil dan menjadi beratlah bitaqah, tidak ada yang lebih berat bersama nama Allah sesuatu apapun.” ( HR Tirmidzi, didalam sunannya dan Ibnu Majah dengan sanad shahih, di shahihkan oleh Syaikh Muqbil didalam shahihul musnad jilid : 1 hal : 535 )

3. Diantara keutamaan Laa ilaha illallah sebab dikeluarkan dari neraka,

Sebagaimana dalam sebuah hadist, dari Anas bin Malik Radiyallahu ‘Anhu, bahwasanya Nabi Shalallahu ‘alahi Wassalam bersabda : ” Di keluarkan dari neraka bagi orang yang berkata Laa ilaha illallah dan didalam hatinya terdapat seberat biji sawi dari kebaikan dan dikeluarkan dari neraka bagi orang yang berkata Laa ilaha illallah dan didalam hatinya ada kebaikan seberat biji tepung dan dikeluarkan dari neraka bagi orang yang didalam hatinya ada kebaikan sebesar biji – bijian ” ( HR. Bukhari No : 44 dan Muslim No : 193 )

4. Diantara keutamaan Laa Ilaha Illallah sebab selamat dari neraka.

Sebagaimana dalam sebuah hadist dari Ubadah Bin Shamit Radiyalallahu ‘Anhu berkata, saya mendengar Rasulullah Shalalahu ‘Alahi Wassalam bersabda, : ” Barangsiapa yang bersaksi Tidak ada ilah ( sesembahan ) yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad utusan Allah maka diharamkan atasnya neraka .” ( HR. Muslim No : 29 )

5. Diantara keutamaan Laa Ilaha Illallah sebab dimasukkan dalam surga.

Sebagaimana sebuah hadist dari Usman Bin Affan Radiyallahu ‘Anhu berkata, Rasulullah Shalalahu ‘Alaihi Wassalam bersabda : ” Barangsiapa yang mati dan ia mengetahui makna Laa ilaha illallah maka ia masuk surga “ ( HR. Muslim No : 26 )

Keutamaan Laa ilaha illallah ini tidaklah didapat kecuali bagi yang mengucapkan Laa ilaha illallah, memahami maknanya dan mengamalkan konsekuensinya. Adapun bagi yang mengucapkan tanpa mengetahui maknanya dan mengamalkan konsekuensinya maka ia tidak mendapatkan keutamaan Laa ilaha illallah, bahkan keislamannya tidak sah disisi Allah. Naudzubillah.

Berkata Syaikh Sulaiman Bin Abdullah Alu Syaikh Rahimahullah : ” Barangsiapa yang bersaksi Laa ilaha illallah yaitu yang mengucapkan kalimat ini, mengetahui maknanya, mengamalkan konsekuensinya secara dzohir dan bathin, sebagimana yang di tunjukkan dalam firman Allah Ta’ala

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا اللهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالمُؤْمِنَاتِ

” Maka ketahuilah, bahwasanya tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah kecuali Allah dan mohon ampunlah atas dosamu dan dosa orang – orang beriman laki-laki dan perempuan” . ( Qs. Muhammad : 19 ),

إِلا مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ

” kecuali orang yang mengakui yang hak (tauhid) dan mereka mengilmui”. ( Qs. Adzukruf : 86 ),

adapun mengucapkannya tanpa mengetahui maknanya dan tidak mengamalkan konsekuensinya, maka yang demikian itu tidaklah bermanfaat menurut kesepakatan Ulama ” ( Taisirul Azizul Hamiid Syarh Kitab Tauhid : 51 )

Oleh karena itu sangatlah mendesak bagi kita untuk memahami makna Laa laha llallah, insya Allah akan di bahas disini secara sederhana dan ringkas.

B. Makna Laa Ilaha Illallah

Makna Laa ilaha illallah adalah tidak ada ilah ( sesembahan ) yang berhak disembah kecuali Allah, adapun sesembahan selain Allah sesembahan yang bathil, tidak berhak untuk disembah.

Berkata Syaikh Ibnu Baaz Rahimahullah : Makna syahadat Laa Ilaha Illallah adalah lama’buda bihaqin ilallah ( Tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah kecuali Allah ) ( Syarh Al – Ushulus Stalasah : 59 )

Seseorang dikatakan memahami makna Laa ilaha illallah, jika dia mengetahui bahwasanya hanya Allah sematalah yang berhak disembah dengan berbagai macam ibadah, selain Allah tidak berhak untuk disembah dengan satu macam ibadah apapun dan siapapun orangnya. Dia tidak berdoa kecuali hanya kepada Allah, dia tidak takut dengan takut ibadah kecuali hanya kepada Allah, dia tidak bertawakal kecuali hanya kepada Allah, seluruh ibadahnya dia serahkan hanya untuk Allah semata.

Inilah penafsiran yang benar dari makna Laa ilaha illallah, yang ditafsirkan oleh para ulama ahlus sunnah wa jama’ah, yaitu Tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah kecuali hanya Allah semata. Hal ini perlu diperhatikan karena disana ada penafsiran yang salah, sebagimana yang disebutkan oleh Syaikh Sholeh Al – Fauzan di dalam kitabnya, Aqidah Tauhid. Penafsiran Makna Laa ilaha illallah yang salah itu diantaranya :

1. Lama’buda Illah ( Tidak ada sesembahan kecuali Allah ) penafsiran seperti ini penafsiran bathil dikarenakan maknanya setiap yang disembah baik itu hak atau yang bathil adalah Allah.

2. Laa Kholiqo Illallah ( Tidak ada pencipta kecuali Allah ) Penafsiran seperti ini hanya bagian dari makna Laa ilaha illallah bukanlah yang diinginkan dari penafsiran kalimat ini. Karena penafsiran ini tidaklah menetapkan kecuali tauhid rububiyah semata. Dan itu tidaklah cukup karena tauhid jenis ini diakui oleh orang – orang musyrik.

3. Laa Haakimiiyatu Illallah ( Tidak ada yang menetapkan hukum kecuali Allah ) Penafsiran seperti ini hanyalah bagian dari makna Laa ilaha illallah. Bukan ini penafsiran yang diiginkan dari makna ini, dikarenakan penafsiran seperti ini tidaklah cukup. Misalnya jika dia mentauhidkan Allah didalam masalah hukum saja, tetapi berdoa kepada selain Allah atau memalingkan ibadah kepada selainnya maka tidaklah dikatakan muwahid (orang yang mentauhidkan Allah).

Dan setiap penafsiran diatas adalah penafsiran bathil dan kurang. Saya ingatkan penafsiran – penafsiran diatas dikarenakan terdapat disebagian kitab – kitab yang beredar ”

( Silahkan lihat Aqidah Tauhid, Syaikh Sholeh Al-Fauzan : 50 – 51 )

Dari keterangan di atas jelaslah bagi kita bahwa makna Laailahaillallah adalah Tidak ada Ilah ( sesembahan ) yg berhak disembah kecuali Allah. Adapun menafsirkan kalimat Laailahaillallah dengan makna ‘Tidak ada tuhan selain Allah, Tidak ada yang mengatur selain Allah, ‘Tidak ada pencipta selain Allah adalah kurang dan menyelisihi Al Quran dan Sunnah.

C. Rukun Laa Ilaha Illallah

Kalimat Laailahaillallah memiliki 2 (dua) rukun, yaitu:
1. An-Nafyu (meniadakan) terletak pada kalimat ( Laailaha) Artinya meniadakan seluruh sesembahan selain Allah Ta’ala. Dan mengkafiri sesembahan selain Allah. ( mengkafiri perbuatan peribadahan kepada selain Allah, orang yang menyembah selain Allah, orang yang disembah selain Allah yang ia ridho terhadap penyembahannya tersebut ).

2. Al-Itsbaat ( menetapkan ) pada kalimat ( Illallah ) artinya menetapkan hanya Allah sematalah yang berhak disembah. Dan mengamalkan konsekuensi tersebut. Dalil dua rukun ini adalah Firman Allah Ta’ala

فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى

” Barangsiapa ingkar kepada thagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus “ ( Qs. Al Baqarah : 256 )

Perkataan Ini ( فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ ) makna rukun yang pertama ( Laa Ilaha ) perkataan ( وَيُؤْمِنْ بِاللهِ ) makna rukun yang kedua ( Illallah )

Allah Ta’ala berfirman

إِنَّنِي بَرَاءٌ مِمَّا تَعْبُدُون إِلا الَّذِي فَطَرَنِي فَإِنَّهُ سَيَهْدِينِ

” Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu sembah, kecuali Allah yang menciptakan ku “ ( Qs. Ibrahim : 26 – 27 )

Perkataan Ini ( إِنَّنِي بَرَاءٌ ) makna rukun yang pertama (Laa Ilaha ) perkataan ( إِلا الَّذِي فَطَرَنِي ) makna rukun yang kedua ( Illallah )

( Kitab Aqidah Tauhid Syaikh Sholeh Al Fauzan Hal : 40 – 41 )

Seorang hamba harus memenuhi dua rukun ini didalam pengucapan kalimat Laa ilaha illallah nya.

D. Syarat Laa Ilaha Illallah

Sebagaimana dari hasil penelitian dalil – dalil Al – Qur’an dan As – Sunnah bahwa syarat Laailahaillallah ada ada tujuh syarat sebagaimana akan disebutkan disini.

[1] Ilmu (Mengilmui maknanya) yang meniadakan kebodohan

[2] Yakin yang meniadakan syak (keragu-raguan)

[3] Ikhlas yang meniadakan syirik

[4] Shidq ( jujur ) yang meniadakan dusta

[5] Mahabbah ( cinta ) yang meniadakan benci

[6] Inqiyad ( tunduk ) yang meniadakan sikap meninggalkan

[7] Qabul ( menerima ) yang meniadakan sikap menentang

( Silahkan lihat Aqidah Tauhid Syaikh Shalih Al Fauzan Al – dan Wajibat )

Penjelasan Syarat Laa Ilaha Illallah

Perlu diketahui bahwasanya yang di inginkan dari syarat Laa ilaha illallah ini, bukanlah sekedar di hapal semata tanpa ada pengamalan secara dzohir dan bathin. Karena tidaklah bermanfaat pengetahuan seseorang tentang syarat Laa ilaha illallah atau bahkan menghafalnya tetapi tidak terkumpul ke tujuh syarat ini pada amalan mereka. ( Silahkan lihat Tanbihaat Al Mutahatimaat Al Ma’rifat ‘ala Kulli Muslimin wa Muslimat, Ibrahim Bin Syaikh Sholih Al – Qar’awi : 41 Darus Shamiy )

Berkata Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Abdullah Ar – Rajihiy Hafidzahullah : ” Barangsiapa yang berkata Laa ilaha illallah dengan lisannya dan tidak memenuhi syaratnya dari ikhlas, shidq (jujur), mahabbah (cinta) dan inqiyad (tunduk) maka dia seorang musyrik. Dan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda : ” Barangsiapa yang berkata tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah kecuali Allah dan mengkafiri sesembahan selain Allah maka diharamkan hartanya, darahnya dan perhitungannya disisi Allah “. Dan hal ini yaitu tidak mengkafirkan apa – apa yang disembah selain Allah, merupakan bentuk dia tidak mendatangkan syarat-syarat kalimat ini, kalimat Laa ilaha illallah yang dia ucapkan dengan lisannya di batalkan oleh perbuatannya. ( As’ilatu Wa’ajwibatu Fil Iman wal Kufri, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Abdullah Ar – Rajihiy dan lain – lain : 45 )



Syarat pertama : Ilmu

Yaitu mengilmui makna Laa ilaha illallah, dari apa – apa yang di nafikan (ditiadakan) dari sesembahan selain Allah dan mengistbatkan (menetapkan) hanya Allah sematalah yang berhaq untuk disembah. Lawan dari syarat ilmu ini adalah al – jahl (bodoh) yaitu bodah dari pengetahuan tentang makna Laa ilaha illallah.

Allah Ta’ala berfirman,

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ

“ Maka ilmuilah (ketahuilah), bahwa sesungguhnya tidak ada ( ilah ) sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah.” (QS. Muhammad :19)

Inti ayat ini dijadikan dalil bahwa ilmu syarat Laa ilaha illallah adalah ayat ini dimulai dari perintah untuk mengilmui kalimat Laa ilaha illallah, didahulukan ilmu dari ucapan dan perbuatan, hal ini menunjukkan ilmu merupakan syarat Laa ilaha illallah

Begitu juga Allah Ta’ala berfirman,

إِلا مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ

“ Kecuali orang yang bersaksi yang haq (laa ilaha illallah) dan mereka menglimuinya ” ( QS. Az Zukhruf: 86 )

Inti ayat ini dijadikan dalil bahwa ilmu syarat Laa ilaha illallah adalah pada ayat ini ( شَهِدَ بِالْحَقِّ ) ” bersaksi yang hak ( Laa ilaha illallah ) dengan syarat ilmu (يَعْلَمُون َ ) mereka mengetahui makna yang terkandung didalamnya.

Dari ‘Utsman Bin Affan Radiyalallahu ‘Anhu , beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“ Barang siapa yang mati dalam keadaan mengilmui (mengetahui) bahwa tidak ada ( ilah ) sesembahan yang berhaq disembah kecuali Allah, maka dia akan masuk surga.” ( HR. Muslim No : 26 )

Disyaratkan pada hadist ini, orang yang mengucapkan Laa ilaha illallah masuk surga dengan syarat mengilmui maknanya.



Syarat kedua : Yakin

Yakin adalah hilangnya keraguan, yang demikian itu karena kuat dan sempurnanya ilmu. Seseorang yang megucapkan kalimat Laa Ilaha Illallah harus yakin terhadap kandungan kalimat ini dengan keyakinan yang kokoh yang tidak tercampur oleh keraguan. Adapun lawan dari yakin adalah Syak (keraguan), yaitu ragu terhadap kalimat ini. Naudzubillah.

Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّمَا المُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللهِ أُوْلَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ

“ Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.” ( QS. Al Hujurat : 15 )

Inti ayat ini dijadikan dalil bahwa yakin syarat Laa Ilaha Illallah adalah disyaratkan pada ayat ini kejujuran keimanan seseorang kepada Allah dan Rasul Nya dengan tidak dicampuri keraguan (tidak ragu-ragu يَرْتَابُوا ) yang merupakan lawan dari yakin.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“ Barangsiapa yang bersaksi bahwa tidak ada yang ilah ( sesembahan ) yang berhak di sembah kecuali Allah dan aku adalah utusan Allah. Tidak ada seorang hamba pun yang bertemu Allah (meninggal dunia) dengan membawa kedua persaksian tersebut dalam keadaan tidak ragu-ragu kecuali Allah akan memasukkannya ke surga.” ( HR. Muslim no. 31)

Pada hadist ini disyaratkan orang yang mengucapkan Laa Ilaha Illallah yang menjadi sebab dimasukkannya kedalam surga, dengan syarat tidak ada keraguaan di dalam hatinya. Jika tidak ada syarat maka tidak ada yang disyaratkan.



Syarat Ketiga : Ikhlas

Syarat yang ketiga adalah ikhlas yang meniadakan kesyirikan, kenifaqkan, riya dan sum’ah. Ikhlas adalah membersihkan amal dengan membersihkan niat dari seluruh kotoran syirik.



وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan ikhlas (memurnikan) keta’atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.” ( QS. Al Bayyinah : 5 )

Inti ayat ini dijadikan dalil bahwa ikhlas syarat Laa Ilaha Illallah adalah pada perkataan (dengan ikhlas مُخْلِصِينَ ), yaitu tidaklah mereka diperintahkan untuk beribadah kecuali hanya kepada Allah semata dengan mengikhlaskan ketaatan kepada Nya. Hal ini menunjukkan bahwa ikhlas syarat dari Laa Ilaha Illallah.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

” Orang yang berbahagia karena mendapat syafa’atku pada hari kiamat nanti adalah orang yang mengucapkan laa ilaha illallah dengan ikhlas dalam hatinya atau dirinya.” ( HR. Bukhari no. 99 )

Pada hadist ini terkandung bahwa ikhlas adalah syarat kalimat laa ilaha illallah. Dikarenakan tidaklah seseorang mendapat syafaat Nabi di akhirat kelak kecuali bagi orang yang mengucapkan laa ilaha illallah dengan syarat ikhlas dari hatinya.

Dari Itban Bin Malik Radiyallahu ‘Anhu berkata, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda : ” Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi orang yang mengucapkan laa ilaha illallah karena mengharap wajah Allah ” ( HR. Bukhari No : 415 )

Pada hadist ini Allah mengharamkan bagi orang yang mengucapkan laa ilaha illallah neraka, dengan syarat di ucapkan dengan niat yang ikhlas mencari wajah Allah semata. Hal ini menunjukkan Ikhlas merupakan syarat laa ilaha illallah.



Syarat Keempat : Shidq (jujur)

Syarat yang keempat ini adalah jujur, kejujuran yang meniadakan kedustaan. Maka orang yang mengucapkan laa ilaha illallah diharuskan jujur didalam hatinya, sesuai antara ucapan dan hatinya, adapun jika mengucapkan laa ilaha illallah sementara hatinya mendustakan hal ini seperti kondisi orang munafiq. Naudzubillah

Allah Ta’ala berfirman

الم أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لا يُفْتَنُونَ وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ

” Alif Laam Miin, Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan ” Kami telah beriman”, dan mereka tidak di uji. Dan sungguh, Kami telah menguji orang sebelum mereka, maka Allah pasti mengetahui orang – orang yang benar dan pasti mengetahui orang – orang yang dusta” ( Qs. AL – Ankabut : 1 sd 3 )

Allah mengkhabarkan pada ayat yang mulia ini, sebuah sunatullah bagi orang yang mengaku beriman akan di uji, untuk menunjukkan kejujuran imannya, apakah ia seorang yang jujur atau seorang yang dusta dalam keimanannya. Maka shidq (jujur) merupakan syarat dari keimanan kepada Allah

Dari Muadz Bin Jabbal Radiyallahu ‘Anhu berkata, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda : ” Tidaklah seseorang bersaksi bahwa tidak ada ( ilah ) sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya dengan kejujuran dari dalam hatinya, kecuali Allah akan mengharamkan neraka baginya.” ( HR. Bukhari no. 128 Muslim : 32 )

Disyaratkan pada hadist ini orang yang mengucapkan laa ilaha illallah yang diharamkan atasnya neraka, bagi orang yang mengucapkannya yang bersumber dari hati yang jujur.

Syarat Kelima : Mahabbah ( cinta )

Yaitu mencintai kalimat ini dan mencintai kandungan kalimat ini.

Mahabbah ( cinta ) dibagi menjadi dua :

Mahabbah ( cinta ) yang hukumnya wajib : Yaitu mahabbah yang seorang tidak dihukumi sebagai seorang muslim kecuali ada pada dirinya, seperti mencintai Allah, mencintai perkara yang Allah wajibkan padanya dan meninggalkan apa yang diharamkan baginya. Maka jika seseorang pada dirinya tidak ada Mahabbah jenis ini secara keseluruhan atau mahabbah yang tidaklah dikatakan seseorang sebagai seorang muslim kecuali ada mahabbah tersebut pada dirinya. Adapun jika meremehkan sebagian dari kewajiban yang bukan termasuk jenis mahabbah yang merupakan syarat sah keislaman seseorang maka berkuranglah keimanannya sesuai peremahan kewajiban yang ia lakukan.
Mahabbah ( cinta ) sunnah : Yaitu cinta yang menjadi pendorong dia melakukan perkara sunnah.

Adapun mahabbah ( cinta ) yang dimaksud disini adalah mahabah yang merupakan syarat sah keislaman seseorang.

Allah Ta’ala berfirman

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللهِ أَندَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ

” Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan – tandingan selain Allah, mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.” ( QS. Al Baqarah : 165 )

Inti ayat ini dijadikan dalil bahwa mahabbah (cinta) syarat Laa Ilaha Illallah adalah bahwasanya mahabbah ( cinta ) adalah ibadah yang sangat agung, yang seseorang tidaklah dikatakan sebagai orang beriman kecuali dengannya.

Dari Anas Bin Malik Radiyallahu ‘Anhu berkata, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda : ” Tiga perkara yang jika ada pada diri seseorang akan merasakan manisnya iman, Allah dan Rasul Nya lebih di cintai dari selain keduanya, tidak mencintai seseorang kecuali karena Allah, membenci kembali kepada kekafiran setelah Allah menyelamatkan darinya sebagaimana bencinya jika dimasukkan kedalam neraka.” ( HR. Bukhari no : 16 dan Muslim no 43 )

Tidaklah seseorang mendapatkan manisnya iman kecuali mencintai Allah dan Rasul Nya melebihi dari kecintaannya kepada yang lain.

Syarat Keenam : Inqiyad ( tunduk )

Allah Ta’ala berfirman

وَمَنْ يُسْلِمْ وَجْهَهُ إِلَى اللهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى

” Dan barangsiapa berserah diri kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikkan maka sesungguhnya dia telah berpegang kepada buhul ( tali ) yang kokoh “. ( Qs. Luqman : 22 )

Inti ayat ini dijadikan dalil dari inqiyad ( tunduk ) syarat Laa Ilaha Illallah adalah pada perkataan ( berserah diri kepada Allah وَمَنْ يُسْلِمْ وَجْهَهُ إِلَى اللهِ ). Jika tidak ada syarat maka tidak ada yang disyaratkan. Jika seseorang tidak mendatangkan syarat inqiyad pada dirinya maka tidak ada yang disyaratkan yaitu tidak ada islam pada dirinya ( islamnya tidak sah )

Syarat Ketujuh : Qabul ( menerima )

Syarat yang ketujuh adalah Qabul ( menerima ), yaitu menerima kandungan makna yang terkandung dari kalimat ini, dari meniadakan dengan hati dan lisannya sesembahan selain Allah dan menetapkan hanya Allah sematalah yang berhak disembah.

Lihatlah pada firman Allah ta’ala,

وَكَذَلِكَ مَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ إِلَّا قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آثَارِهِمْ مُقْتَدُون قَالَ أَوَلَوْ جِئْتُكُمْ بِأَهْدَى مِمَّا وَجَدْتُمْ عَلَيْهِ آبَاءَكُمْ قَالُوا إِنَّا بِمَا أُرْسِلْتُمْ بِهِ كَافِرُونَ فَانتَقَمْنَا مِنْهُمْ فَانظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ المُكَذِّبِينَ

“Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatanpun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka”.(Rasul itu) berkata: “Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu dapati bapak – bapakmu menganutnya?” Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya.” Maka Kami binasakan mereka maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu.” ( QS. Az Zukhruf : 23-25 )

Di jelaskan pada ayat ini bahwasannya mereka menolak kebenaran yaitu lawan dari syarat Laa ilaha illallah qabul ( menerima ) kebenaran maka Allah mengadzabnya.

E. Perbedaan Inqiyad ( tunduk ) dan Qabul ( menerima )

Qabul lebih umum dari inqiyad, setiap inqiyad pasti qabul tidak setiap qabul pasti inqiyad. Atau inqiyad mengikuti dengan perbuatan

Dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

“Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang aku bawa dari Allah adalah seperti air hujan lebat yang turun ke tanah. Di antara tanah itu ada yang subur yang dapat menyimpan air dan menumbuhkan rerumputan. Juga ada tanah yang tidak bisa menumbuhkan rumput (tanaman), namun dapat menahan air. Lalu Allah memberikan manfaat kepada manusia (melalui tanah tadi, pen); mereka bisa meminumnya, memberikan minum (pada hewan ternaknya, pen) dan bisa memanfaatkannya untuk bercocok tanam. Tanah lainnya yang mendapatkan hujan adalah tanah kosong, tidak dapat menahan air dan tidak bisa menumbuhkan rumput (tanaman). Itulah permisalan orang yang memahami agama Allah dan apa yang aku bawa (petunjuk dan ilmu, pen) bermanfaat baginya yaitu dia belajar dan mengajarkannya. Permisalan lainnya adalah permisalan orang yang menolak (petunjuk dan ilmu tadi, pen) dan tidak menerima petunjuk Allah yang aku bawa.” (HR. Bukhari no. 79 dan Muslim no. 2282 )

Pada hadist ini dijelaskan orang yang tidak menerima kebenaran secara keseluruhan dengan berpaling dan meninggalkannya maka dialah orang kafir jika hujah ( penjelasan ) telah tegak padanya. Karena dia tidak mendatangkan salah satu syarat Laa Ilaha Illallah yaitu Qabul (menerima). ( Silahkan lihat Tanbihaat Al Mutahatimaat Al Ma’rifat ‘ala Kulli Muslimin wa Muslimat, Ibrahim Bin Syaikh Sholih Al – Qar’awi : 41 Darus Shamiy, Shahihul Minal Atsar Fi Khutbatil Mimbar, Faishol Haasidy : 61, Thoriqatul Wusuli ila Idhoohis stalasatil Ushul syaikh Zaid Al Madkholi : 36-41, Al Qaulul Mufid Fi Adilatit Tauhid Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahhab Al Whusoby )

F. Konsekuensi Laa Ilaha Illallah

Yaitu dengan meninggalkan ibadah kepada selain Allah dari apa – apa yang disembah. Hal ini terdapat pada perkataan kita ( Laa ilaha ) dan beribadah hanya kepada Allah semata, hal ini terkandung pada kalimat ( Illallah ). Adapun dalil hal ini banyak sekali diantara nya adalah firman Allah Ta’ala

وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ

” Dan Rabbmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah kecuali Dia ” ( Qs. Al Israa : 23 )

وَاعْبُدُوا اللهَ وَلا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا

” Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan Nya dengan sesuatu apapun “ ( Qs. An – Nisa’ : 36 )..Wasalam

Senin, 04 April 2011

Zuhud Dalam 3 Makna

Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan

Kesimpulannya, zuhud terhadap dunia bisa ditafsirkan dengan tiga pengertian yang kesemuanya merupakan amalan hati dan bukan amalan tubuh. Oleh karenanya, Abu Sulaiman mengatakan,

لَا تَشْهَدْ لِأَحَدٍ بِالزُّهْدِ، فَإِنَّ الزُّهْدَ فِي الْقَلْبِ

“Janganlah engkau mempersaksikan bahwa seorang itu telah berlaku zuhud (secara lahiriah), karena zuhud itu letaknya di hati”

Makna pertama

Zuhud adalah hamba lebih meyakini rezeki yang ada di tangan Allah daripada apa yang ada di tangannya. Hal ini tumbuh dari bersih dan kuatnya keyakinan, karena sesungguhnya Allah telah menanggung dan memastikan jatah rezeki setiap hamba-Nya sebagaimana firman-Nya,

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الأرْضِ إِلا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا (٦)

“Dan tidak ada suatu binatang melata[709] pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya [Huud: 6].

Dia juga berfirman,

وَفِي السَّمَاءِ رِزْقُكُمْ وَمَا تُوعَدُونَ (٢٢)

“Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu [Adz Dzaariyaat: 22].

فَابْتَغُوا عِنْدَ اللَّهِ الرِّزْقَ وَاعْبُدُوهُ (١٧)

“Maka mintalah rezeki itu di sisi Allah, dan sembahlah Dia [Ankabuut: 17].

Al Hasan mengatakan,

إِنَّ مِنْ ضَعْفِ يَقِينِكَ أَنْ تَكُونَ بِمَا فِي يَدِكَ أَوْثَقَ مِنْكَ بِمَا فِي يَدِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ

“Salah satu bentuk lemahnya keyakinanmu terhadap Allah adalah anda lebih meyakini apa yang ada ditangan daripada apa yang ada di tangan-Nya”.

Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, beliau mengatakan,

إِنَّ أَرْجَى مَا أَكُونُ لِلرِّزْقِ إِذَا قَالُوا لَيْسَ فِي الْبَيْتِ دَقِيقٌ

“Momen yang paling aku harapkan untuk memperoleh rezeki adalah ketika mereka mengatakan, “Tidak ada lagi tepung yang tersisa untuk membuat makanan di rumah”

Masruq mengatakan,

إِنَّ أَحْسَنَ مَا أَكُونُ ظَنًّا حِينَ يَقُولُ الْخَادِمُ: لَيْسَ فِي الْبَيْتِ قَفِيزٌ مِنْ قَمْحٍ وَلَا دِرْهَمٌ

“Situasi dimana saya mempertebal husnuzhanku adalah ketika pembantu mengatakan, “Di rumah tidak ada lagi gandum maupun dirham.” [Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah (34871); Ad Dainuri dalam Al Majalisah (2744); Abu Nu'aim dalam Al Hilyah (2/97)].

Imam Ahmad mengatakan,

أَسَرُّ أَيَّامِي إِلَيَّ يَوْمٌ أُصْبِحُ وَلَيْسَ عِنْدِي شَيْءٌ

“Hari yang paling bahagia menurutku adalah ketika saya memasuki waktu Subuh dan saya tidak memiliki apapun.” [Shifatush Shafwah 3/345].

Abu Hazim Az Zahid pernah ditanya,

مَا مَالُكَ؟

“Apa hartamu”,

beliau menjawab,

لِي مَالَانِ لَا أَخْشَى مَعَهُمَا الْفَقْرَ: الثِّقَةُ بِاللَّهِ، وَالْيَأْسُ مِمَّا فِي أَيْدِي النَّاسِ

“Saya memiliki dua harta dan dengan keduanya saya tidak takut miskin. Keduanya adalah ats tsiqqatu billah (yakin kepada Allah) dan tidak mengharapkan harta yang dimiliki oleh orang lain [Diriwayatkan Ad Dainuri dalam Al Mujalasah (963); Abu Nu'aim dalam Al Hilyah 3/231-232].

Pernah juga beliau ditanya,

أَنَا أَخَافُ الْفَقْرَ وَمَوْلَايَ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا وَمَا تَحْتَ الثَّرَى؟ !

“Tidakkah anda khawatir akan kefakiran?” Beliau menjawab, “Bagaimana bisa saya takut fakir sementara Pemelihara-ku memiliki segala yang ada di langit, bumi, apa yang ada diantara keduanya, dan di bawah tanah.”

Selembar kertas pernah diserahkan kepada ‘Ali ibnu Muwaffaq, dia pun membacanya dan di dalamnya tertulis,

يَا عَلِيَّ بْنُ الْمُوَفَّقِ أَتَخَافُ الْفَقْرَ وَأَنَا رَبُّكَ؟

“Wahai ‘Ali ibnul Muwaffaq, masihkah engkau takut akan kefakiran sementara Aku adalah Rabb-mu?”

Al Fudhai bin ‘Iyadh mengatakan,

أَصْلُ الزُّهْدِ الرِّضَا عَنِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ

“Akar zuhud adalah ridha terhadap apa yang ditetapkan Allah ‘azza wa jalla.” [Diriwayatkan Ad Dainuri dalam Al Mujalasah (960, 3045); Abu 'Abdirrahman As Sulami dalam Thabaqatush Shufiyah (10)].

Beliau juga mengatakan,

الْقَنُوعُ هُوَ الزُّهِدُ وَهُوَ الْغِنَى

“Qana’ah (puas atas apa yang diberikan oleh Allah ta’ala) merupakan sikap zuhud dan itulah kekayaan yang sesungguhnya.”

Dengan demikian, setiap orang yang merealisasikan rasa yakin kepada Allah, mempercayakan segala urusannya kepada Allah, ridha terhadap segala pengaturan-Nya, memutus ketergantungan kepada makhluk baik rasa takut dan harapnya, dan semua hal tadi menghalanginya untuk mencari dunia dengan sebab-sebab yang dibenci, maka setiap orang yang keadaannya demikian sesungguhnya dia telah bersikap zuhud terhadap dunia. Dia termasuk orang yang kaya meski tidak memiliki secuil harta dunia sebagaimana yang dikatakan oleh ‘Ammar,

كَفَى بِالْمَوْتِ وَاعِظًا، وَكَفَى بِالْيَقِينِ غِنًى، وَكَفَى بِالْعِبَادَةِ شُغُلًا

“Cukuplah kematian sebagai nasehat, yakin kepada Allah sebagai kekayaan, dan ibadah sebagai kesibukan.” [Diriwayatkan Al Baihaqi dalam Syu'abul Iman (10556) dari 'Ammar bin Yasar secara marfu'].

Ibnu Mas’ud mengatakan,

الْيَقِينُ أَنْ لَا تُرْضِيَ النَّاسَ بِسُخْطِ اللَّهِ، وَلَا تَحْمَدَ أَحَدًا عَلَى رِزْقِ اللَّهِ، وَلَا تَلُمْ أَحَدًا عَلَى مَا لَمْ يُؤْتِكَ اللَّهُ، فَإِنَّ الرِّزْقَ لَا يَسُوقُهُ حِرْصُ حَرِيصٍ، وَلَا يَرُدُّهُ كَرَاهَةُ كَارِهٍ، فَإِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى – بِقِسْطِهِ وَعِلْمِهِ وَحُكْمِهِ – جَعَلَ الرَّوْحَ وَالْفَرَحَ فِي الْيَقِينِ وَالرِّضَا، وَجَعَلَ الْهَمَّ وَالْحُزْنَ فِي الشَّكِّ وَالسُّخْطِ

“Al Yaqin adalah engkau tidak mencari ridha manusia dengan kemurkaan Allah, engkau tidak memuji seseorang demi mendapatkan rezeki yang berasal dari Allah, dan tidak mencela seseorang atas sesuatu yang tidak diberikan Allah kepadamu. Sesungguhnya rezeki tidak akan diperoleh dengan ketamakan seseorang dan tidak akan tertolak karena kebencian seseorang. Sesungguhnya Allah ta’ala –dengan keadilan, ilmu, dan hikmah-Nya- menjadikan ketenangan dan kelapangan ada di dalam rasa yakin dan ridha kepada-Nya sserta menjadikan kegelisahan dan kesedihan ada di dalam keraguan dan kebencian” [Diriwayatkan Ibnu Abid Dunya dalam Al Yaqin (118) dan Al Baihaqi dalam Syu'abul Iman (209)].

Di dalam sebuah hadits mursal disebutkan bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a dengan do’a berikut,

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ إِيمَانًا يُبَاشِرُ قَلْبِي، وَيَقِينًا [صَادِقًا] حَتَّى أَعْلَمَ أَنَّهُ لَا يَمْنَعُنِي رِزْقًا قَسَمْتَهُ لِي، وَرَضِّنِي مِنَ الْمَعِيشَةِ بِمَا قَسَمْتَ لِي

“Ya Allah saya memohon kepada-Mu iman yang mampu mengendalikan hatiku, keyakinan yang benar sehingga saya mengetahui bahwasanya hal itu tidak menghalangi rezeki yang telah Engkau bagikan kepadaku, dan jadikanlah saya ridha atas sumber penghidupan yang telah Engkau bagikan kepadaku.” [Diriwayatkan Ibnu Abid Dunya dalam Al Yaqin (112)].

Dulu, ‘Atha Al Khurasani tidak akan beranjak dari majelisnya hingga mengucapkan,

اللَّهُمَّ هَبْ لَنَا يَقِينًا مِنْكَ حَتَّى تُهَوِّنَ عَلَيْنَا مَصَائِبَ الدُّنْيَا، وَحَتَّى نَعْلَمَ أَنَّهُ لَا يُصِيبُنَا إِلَّا مَا كَتَبْتَ عَلَيْنَا، وَلَا يُصِيبُنَا مِنَ الرِّزْقِ إِلَّا مَا قَسَمْتَ لَنَا

“Ya Allah, berilah kami rasa yakin terhadap diri-Mu sehingga mampu menjadikan kami menganggap ringan musibah dunia yang ada, sehingga kami meyakini bahwa tidak ada yang menimpa kami kecuali apa yang telah Engkau tetapkan kepada kami, dan meyakini bahwa rezeki yang kami peroleh adalah apa yang telah Engkau bagi kepada kami.” [Driwayatkan Ibnu Abid Dunya dalam Al Yaqin (108)].

Diriwayatkan kepada kami secara marfu’ bahwa Ibnu ‘Abbas mengatakan,

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَكُونَ أَغْنَى النَّاسِ، فَلْيَكُنْ بِمَا فِي يَدِ اللَّهِ أَوْثَقَ مِنْهُ بِمَا فِي يَدِهِ

“Barangsiapa yang suka menjadi orang terkaya, maka hendaklah dia lebih yakin terhadap apa yang ada di tangan Allah daripada apa yang ada di tangannya.” [Diriwayatkan Abu Nu'aim dalam Al Hilyah 3/218-219; Al Qadha'i dalamMusnad Asy Syihab (367 & 368) dari hadits 'Abdullah bin 'Abbas].

Makna Kedua

Zuhud adalah apabila hamba tertimpa musibah dalam kehidupan dunia seperti hilangnya harta, anak, atau selainnya, maka dia lebih senang memperoleh pahala atas hilangnya hal tersebut daripada hal itu tetap berada di sampingnya. Hal ini juga muncul dari sempurnanya rasa yakin kepada Allah.

Diriwayatkan dari ‘Ibnu ‘Umar bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata dalam do’anya,

اَللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَاتَحُوْلُ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعْصِيَتِكَ وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَابِهِ جَنَّتَكَ وَمِنَ الْيَقِيْنِ مَاتُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مَصَائِبَ الدُّنْيَا

“Ya Allah, anugerahkan kepada kami rasa takut kepada-Mu yang membatasi antara kami dengan perbuatan maksiat kepadamu dan berikan ketaatan kepada-Mu yang mengantarkan kami ke surga-Mu dan anugerahkan pula keyakinan yang akan menyebabkan ringan bagi kami segala musibah di dunia ini.” [HR. Tirmidzi (3502); An Nasaai dalam 'Amalul Yaum wal Lailah (402); Al Hakim (1/528); Al Baghawi (1374). At Tirmidzi mengatakan, "Hadits hasan gharib"].

Do’a tersebut merupakan tanda zuhud dan minimnya kecintaan kepada dunia sebagaimana yan dikatakan oleh ‘Ali radhiallahu ‘anhu,

مَنْ زَهِدَ الدُّنْيَا، هَانَتْ عَلَيْهِ الْمُصِيبَاتُ

“Barangsiapa yang zuhud terhadap dunia, maka berbagai musibah akan terasa ringan olehnya.”

Makna Ketiga

Zuhud adalah hamba memandang sama orang yang memuji dan mencelanya ketika dirinya berada di atas kebenaran. Hal ini merupakan tanda bahwa dirinya zuhud terhadap dunia, menganggapnya sebagai sesuatu yang remeh, dan minimnya kecintaan dirinya kepada dunia.

Sesungguhnya setiap orang yang mengagungkan dunia akan cinta kepada pujian dan benci pada celaan. Terkadang hal itu menggiring dirinya untuk tidak mengamalkan kebenaran karena takut celaan dan melakukan berbagai kebatilan karena ingin pujian.

Dengan demikian, setiap orang yang memandang sama orang yang memuji dan mencelanya ketika dirinya berada di atas kebenaran, maka hal ini menunjukkan bahwa jabatan/kedudukan yang dimiliki manusia tidaklah berpengaruh di dalam hatinya dan juga menunjukkan bahwa hatinya dipenuhi rasa cinta akan kebenaran serta ridha kepada Allah. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud,

الْيَقِينُ أَنْ لَا تُرْضِيَ النَّاسَ بِسُخْطِ اللَّهِ

“Yakin itu adalah engkau tidak mencari ridha manusia dengan cara menimbulkan kemurkaan Allah. Dan sungguh Allah telah memuji mereka yang berjuang di jalan-Nya dan tidak takut akan celaan.”

Sumber : Jami’ul ‘Ulum wal Hikam hlm. 644-646.

Kedudukan Dalam Sholat

Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah mengatakan,

والناس في الصلاة على مراتب خمسة:

Terkait shalat, manusia terbagi ke dalam lima martabat.

أحدها: مرتبة الظالم لنفسه المفرط وهو الذي انتقص من وضوئها ومواقيتها وحدودها وأركانها.

Pertama, seorang yang zhalim kepada diri sendiri lagi lalai. Dialah orang yang melalaikan shalat dalam hal wudhu, waktu, berbagai aturan dan rukunya.

الثاني: من يحافظ على مواقيتها وحدودها وأركانها الظاهرة ووضوئها، لكن قد ضيع مجاهدة نفسه في الوسوسة فذهب مع الوساوس والأفكار.

Kedua, seorang yang menjaga waktu shalat, aturan, rukun beserta wudhunya. Namun, dia kurang memaksa hatinya untuk menolak waswas, akhirnya dia mengerjakan shalat sembari disertai waswas dan berbagai macam pikiran.

الثالث: من حافظ على حدودها وأركانها وجاهد نفسه في دفع الوساوس والأفكار، فهو مشغول بمجاهدة عدوه لئلا يسرق صلاته، فهو في صلاة وجهاد.

Ketiga, seorang yang menjaga berbagai aturan dan rukun shalat serta memaksa jiwanya untuk menolak waswas dan berbagai macam pikiran, sehingga dia sibuk memerangi musuhnya agar tidak mencuri shalatnya. Dengan demikian, dia senantiasa berada dalam shalat dan jihad.

الرابع: من إذا قام إلى الصلاة أكمل حقوقها وأركانها وحدودها واستغرق قلبه مراعاة حدودها وحقوقها لئلا يضيع شيئاً منها، بل همه كله مصروف إلى إقامتها كما ينبغي وإكمالها واتمامها، قد استغرق قلب شأن الصلاة وعبودية ربه تبارك وتعالى فيها.

Keempat, seorang yang apabila mengerjakan shalat, dia menyempurnakan hak-hak shalat, rukun dan batasannya. Hatinya berkonsentrasi penuh untuk menjaga berbagai batasan dan hak shalat agar dirinya tidak menyia-nyiakannya sedikitpun. Bahkan, seluruh perhatiannya tercurah untuk menegakkan dan menyempurnakan shalat sebagaimana yang diinginkan. Hatinya telah larut dalam shalat dan peribadatan kepada Rabb-nya tabaraka wa ta’ala.

الخامس: من إذا قام إلى الصلاة قام إليها كذلك، ولكن مع هذا قد أخذ قلبه ووضعه بين يدي ربه عز وجل ناظراً بقبله إليه مراقباً له ممتلئاً من محبته وعظمته، كأنه يراه ويشاهده، وقد اضمحلت تلك الوساوس والخطوات وارتفعت حجبها بينه وبين ربه، فهذا بينه وبين غيره في الصلاة أفضل وأعظم مما بين السماء والأرض، وهذا في صلاته مشغول بربه عز وجل قرير العين به.

Kelima, seorang yang apabila mengerjakan shalat, maka dia mengerjakannya seperti disebutkan pada poin sebelumnya. Namun, bersamaan dengan itu dia mengambil hatinya dan menempatkannya di hadapan Rabb-nya ‘azza wa jalla, dalam keadaan hatinya melihat kepada-Nya, terawasi oleh-Nya, serta dipenuhi oleh kecintaan dan pengagungan kepada-Nya. Seolah-olah dia melihat dan menyaksikan-Nya. Telah lenyap berbagai waswas dan pikiran yang melalaikan, serta terangkatlah penghalang (hijab) antara dirinya dan Rabb-nya. Kedudukan orang ini dibandingkan yang lain terkait perihal shalat adalah lebih afdhal dan mulia daripada perbandingan langit dan bumi. Dalam shalatnya, orang ini sibuk dengan Rabb-nya ‘azza wa jalla yang telah menjadi penyejuk matanya.

فالقسم الأول معاقب، والثاني محاسب، والثالث مكفر عنه، والرابع مثاب، والخامس مقرب من ربه لأن له نصيباً ممن جعلت قرة عينه في الصلاة،

Golongan pertama akan disiksa, yang kedua akan dihisab, yang ketiga diampuni kesalahannya, yang keempat diberi pahala, dan yang kelima kedudukannya akan didekatkan kepada Rabb-nya karena dia termasuk mereka yang telah menjadikan shalat sebagai penyejuk matanya.

فمن قرت عينه بصلاته في الدنيا قرت عينه بقربه من ربه عز وجل في الآخرة، وقرت عينه أيضاً به في الدنيا، ومن قرت عينه بالله قرت به كل عين، ومن لم تقر عينه بالله تعالى تقطعت نفسه على الدنيا حسرات،

Barangsiapa matanya tersejukkan dengan shalat di dunia, maka matanya akan tersejukkan dengan kedekatan kepada Allah ‘azza wa jalla di akhirat dan hal yang serupa dia temukan di dunia. Barangsiapa yang matanya tersejukkan dengan Allah, maka seluruh mata akan senang dengannya. Dan barangsiapa yang matanya tidak tersejukkan dengan Allah ta’ala maka jiwanya akan terdampar di dunia dipenuhi beragam penyesalan.

وقد روي أن العبد إذا قام يصلي قال الله عز وجل: (ارفعوا الحجب، فإذا التفت قال أرخوها) ، وقد فسر هذا الالتفات بالتفات القلب عن الله عز وجل إلى غيره، فإذا التفت إلى غيره، أرخى الحجاب بينه وبين العبد فدخل الشيطان وعرض عليه أمور الدنيا وأراه إياها في صورة المرآة،

Diriwayatkan bahwa apabila seorang hamba berdiri mengerjakan shalat, maka Allah ‘azza wa jalla berfirman, “Angkatlah hijab”, namun apabila hamba tersebut kemudian berpaling, maka Allah pun berfirman, “Turunkanlah hijab tersebut.” Berpaling yang dimaksud ditafsirkan dengan berpalingnya hati dari Allah kepada selain-Nya. Dengan demikian, apabila dia berpaling kepada selain-Nya, maka Allah menurunkan hijab diantara diri-Nya dan hamba sehingga setan pun masuk, memaparkan dan memperlihatkan berbagai perkara dunia dalam bentuk cermin (ketika dirinya mengerjakan shalat).

وإذا أقبل بقلبه على الله ولم يلتفت لم يقدر الشيطان على أن يتوسط بين الله تعالى وبين ذلك القلب، وإنما يدخل الشيطان إذا وقع الحجاب، فإن فر إلى الله تعالى وأحضر قلبه فر الشيطان، فإن التفت حضر الشيطان، فهو هكذا شأنه وشأن عدوه في الصلاة.

Apaila hatinya menghadap kepada Allah dan tidak berpaling, maka setan tidaklah kuasa untuk menyusup diantara Allah dan hati tersebut. Setan hanya mampu menyusup apabila terdapat hijab antara Allah dan hamba. Namun, apabila hamba lari kepada Allah ta’ala dan menghadirkan hati, maka setan pun akan lari. Namun, apabila dirinya berpaling, maka setan pun hadir. Demikianlan gambaran seorang hamba dan musuhnya dalam shalat.

Al Wabilush Shayyib 38-39 dengan perantaraan Al Majmu Al Qayyim min Kalami Ibni al-Qayyim hlm. 19-20.

Sabtu, 26 Maret 2011

Perjalanan Setelah Meninggal

1. يأبى قال من أطاعني دخل الجنة ومن عصاني فقد أبى رواه البخاري
2. Dari Abi Hurairah ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Setiap ummatku pasti akan masuk surga, kecuali yang tidak mau.” Shahabat b...ertanya, “Ya Rasulallah, siapa yang tidak mau?” Beliau menjawab, “Mereka yang mentaatiku akan masuk surga dan yang menetangku maka dia telah enggan masuk surga.”
3. Dari Abi Said bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Bila ahli surga telah masuk surga dan ahli neraka telah masuk neraka, maka Allah SWT akan berkata, Orang yang di dalam hatinya ada setitik iman, hendaklah dikeluarkan. Maka mereka pun keluar dari neraka.”
4. Dari Anas ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Dikeluarkan dari neraka orang yang mengucapkan dan di dalam hatinya ada seberat biji dari kebaikan.”
5. Rasulullah Saw bersabda: “Semua ummatku akan masuk surga, kecuali orang yang enggan (tidak mau).” (HR Bukhori 22/248)

Dan tentang roh orang mukmin
Juga telah warid: “ Bahawasanya roh-roh orang mukmin datang pada setiap malam ke langit dunia dan mereka berhenti di hadapan rumah-rumah mereka. Setiap seorang daripada mereka menyeru dengan suara sedih 1000 kali: “Wahai ahli keluargaku, wahai kaum kerabatku, wahai anakku, wahai orang yang mendiami rumah-rumah kami, berpakaian dengan pakaian kami, berbahagi harta kami, tidak adakah sesiapa antara kamu yang mengingati kami dan memikirkan keadaan kami yang berada dalam kejauhan, kami berada dalam tahanan yang panjang dan kawalan yang ketat? Kasihanilah kami, moga-moga Allah akan mengasihi kamu, dan janganlah kamu bakhil kepada kami sebelum kamu menjadi seperti kami. Wahai hamba-hamba Allah, sesungguhnya kelebihan yang ada pada tangan kamu sekarang, dahulunya ada pada tangan kami. Malangnya kami tidak menafkahkan sebahagian daripadanya untuk jalan Allah, maka perkiraan hisab serta penyesalan atas kami sedangkan manfaatnya bagi orang lain. Maka apabila tidak memperolehi sesuatu (yakni hadiah, sedekah, doa, istighfar dan sebagainya daripada orang hidup kepada mereka), pergilah roh-roh tersebut dengan kekecewaan dan hampa.” Dan telah warid juga bahawasanya Junjungan Nabi s.a.w. bersabda: “Tidaklah orang mati itu di dalam kuburnya melainkan seperti orang yang kelemasan memohon pertolongan. Dia menunggu datangnya doa-doa kepadanya daripada anaknya atau saudaranya atau temannya. Apabila diterimanya (doa-doa tersebut), maka ianya adalah sesuatu yang terlebih kasih baginya daripada dunia dan segala isinya (yakni menerima hadiah berupa doa adalah lebih disukai si mati daripada memperolehi dunia dan segala isinya).
Datang dan perginya sebahagian roh-roh orang mukmin yang tertentu ke barang mana tempat dengan kehendak dan izin Allah adalah suatu perkara yang tidak dapat dinafikan lagi.
(Sidi Abu Bakar Syatho ad-Dimyathi menulis berkenaan perkara ini dalam karya agungnya " I`aanatuth Thoolibiin" jilid 2 halaman 161)
Diriwayatkan oleh al-Hakim at-Tirmidzi daripada Sayyidina Salman r.a. yang berkata: "Bahawasanya arwah kaum mu'minin di barzakh pada dunia ini bebas berpergian ke mana-mana yang dikehendaki antara langit dan bumi, sehinggalah Allah mengembalikannya kepada jasad-jasad mereka (yakni pada hari kebangkitan nanti)."

Dan diriwayatkan oleh Ibnu Abid Dunya daripada Sayyidina Malik bin Anas r.a. yang berkata:- "Telah sampai kepadaku bahawasanya roh-roh orang mu'min itu bebas berpergian ke mana-mana sahaja yang dikehendaki."
Pendapat Ulama Muktabar :
1. Pendapat Abu Hurairah dan Abdullah Ibnu Umar; Arwah orang-orang mukmin disisi Allah baik para syuhada atau bukan syuhada.
2. Imam Ahmad pada riwayat anaknya Abdullah; Arwah orang kafir di Neraka, sedangkan orang mukmin di Surga.
3. Diriwayatkan dari sekumpulan sahabat dan tabi’in bahwa arwah orang mukmin berada di telaga/kolam, sedangkan arwah orang kafir di salah satu sumur bernama Barhut yang berada di Hadhro Maut.
4. Pendapat yang lebih rajih —menurut Ibnu Qayyim— adalah: arwah bertempat sesuai derajatnya, adakalnya di alam Barjakh, ada yang di A’la ‘Illiyyin yaitu arwah para nabi, ada yang berada di sekitar surga pergi kemana ia suka yaitu ruh sebagian syuhada, ada arwah yang ditahan di pintu surga, ada arwah yang ditahan di kuburnya, ada juga arwah yang ditahan dibumi dan sebagainya.
WAllahu’alam bisawab

MUTASAWWIF

Terdapat tiga golongan yang terbit melalui tasawwuf iaitu
Sufi
Mutasawwif dan
Mutaswif:

1. Sufi; Orang yang mematikan dirinya dan hidup di sisi al-haqq. Dia telah melepaskan dirinya dari sifat manusiawi telah benar-benar mencapai sifat-sifa...t Allah subhanahu wata’ala.

2. Mutasawwif; orang yang berusaha untuk mencapai ke tingkatan sufi dengan melakukan berbagai kegiatan riyadah dalam mencari rahsia hakikat dirinya dan rahsia hakikat Allah SWT.

3. Mutaswif; adalah orang yang mendakwa dirinya Sufi dan Mutasawwif demi mendapatkan wang dan harta benda serta benda dan manfaat-manfaat duniawi. Mereka langsung tidak tahu tentang Sufi dan Mutasawwif tetapi mendakwa diri mereka demikian. Semoga Allah SWT memelihara kita dari termasuk dalam golongan Mutaswif ini, dan menjadikan kita golongan Sufi dan Mutasawwif, Amin.

Adapun menurut hadhrat Khawajah Abu Yazid al-Bustami R.A perbezaan pendapat tentang perkara suci adalah merupakan suatu rahmat melainkan jika ianya membawa kepada mejauhkan pengertian tauhid.

Dari kitab Sheikh Maulana Jalaluddin arRowi, Ar-Risalah Al-Aliyyah Wusta, Hlmn: 44-45.

AI-Hujwiri menyatakan. bahwa sufi adalah sebuah nama yang diberikan kepada wali-wali dan ahli-ahli kerohanian yang sempurna.
Pengikut sufi ada tiga derajat, yaitu sufi, mutasawwif dan mustaswif. Sufi adalah yang mati pada dirinya dan hidup .oleh Kebenaran: ia bebas dari batas-batas kemampuan manusiawi dan benar-benar telah sampai kepada Tuhan.

Dan Mutasawwif adalah orang yang berusaha keras untuk mencapai tingkatan ini dengan cara menundukkan hati dan hawa nafsu (mujahadah) dan dalam pencariannya ia meluruskan tingkah lakunya sesuai dengan teladan mereka (para sufi).

Sedanggkan Mustaswif adalah orang yang membuat dirinya secara lahiriah serupa dengan mereka (sufi-sufi) untuk sekedar mencari uang, kekayaan, kekuasaan serta keuntungan- keuntungan duniawi, tapi sedikitpun tidak mempunyai pengetahuan tentang kedua hal ini (kesufian dan tasawuf).

Kaum sufi yang beutujuan mencari Tuhan menyebut dirinya sebagai pengembara (salik) la meningkat secara perlahan melalui tahap-tahap (maqomat) setelah melalui sejumlah lintasan (thuruqot) guna mencapai tujuan bersatu dengan kenyataan (al-Haqq)

Ini merupakan darjat sufi yang paling tinggi dan sempurna. Berdasarkan definisi-definisi di atas, kita mendapati bahawa seseorang Ahli Sufi perlu melalui tiga peringkat berikut:

1. Bidayah

Orang yang berada di peringkat ini, akan merasai pada... fitrahnya bahawa terdapat suatu hakikat yang perlu dikecapi. Hakikat itu ialah akhlak dan peradaban yang mulia.

Natijahnya, rohnya benar-benar merasa rindu untuk mengecapinya. Untuk mengenali dan mengecapinya pula, memerlukan kepada suatu perjalanan yang berbekalkan keazaman dan niat yang jujur dan benar.

2. Mujahadah

Aspek amalan yang berhubung kait dengan syariat.

3. Orang yang merasai Zauq

Merasai dan mencapai hasil yang dicita-citakan.

Dalam erti kata lain, peringkat tasauf adalah:

Mengenal nafsu, rangsangan dan keinginannya.
Menyucikan hati dan membersihkan roh daripada sifat-sifat yang kotor dengan bermujahadah.
Menghiasi diri dengan sifat-sifat yang mulia dan meningkatkan diri dari satu makam ke satu makam untuk menjadi ahli sufi yang mempunyai hati yang sentiasa sibuk bersama Allah.
Maka, seseorang salik masih belum layak untuk digelar sebagai Ahli Sufi, melainkan setelah melalui ketiga-tiga peringkat ini dan orang-orang yang masih belum merentasi ketiga-tiga peringkat ini, dinamakan sebagai murid atau mutasawwif. (Abdul Aziz Ahmad Mansur, al-Tasauf al-Islami al-Sohih H:23)

KISAH NABI MUSA MEMBACA SHOLAWAT KEPADA ROSULULLOH SAW.

KISAH NABI MUSA MEMBACA SHOLAWAT KEPADA ROSULULLOH SAW.

Dikisahkan di dalam Kitab “Syifa’ul Asqom”, Syekh Al Hafidz Abi Nuaem menceriterakan bahwa menurut hadits ada diceriterakan wahyu Alloh SWT kepada Nabi Musa AS sebagai berikut :

Firman : Alloh ”Wahai Musa, apakah-engkau ingin AKU ‘ lebih dekat kepadamu dari dekatnya... kalammu terhadap lisanmu, supaya AKU lebih dekat kepadamu daripada dekatnya pandangan matamu terhadap matamu dan supaya AKU lebih dekat kepadamu daripada dekatnya rohmu terhadap badanmu. ?

Jawab Nabi Musa AS : “benar duhai Tuhanku”.

Firman Alloh : “Perbanyak membaca Sholawat kepada Muhammad Nabi-KU”

Jumat, 11 Maret 2011

Lihatlah

Lihat lah mereka hanya di jadikan tempat mempelajari
tak sadar sebagai korban para Penyaksi
Lupa akan Akhir dari penyebrangan
Jisim menuju Jauhar karena takdir mengaburi

Sudah berganti derai sore ini
Lukisan senjapun cerah dgn senyum menjingga
kan hilang di telan temaram malam
La Haula Wala ..Sesuci Allah menempa jiwa-jiwa

Namun pudar karena Usia dan Dunia
Di sebalik kesedihan ...lara hati
Dia hadirkan pancaran Chayanya NYA
pada bintang-bintang dlm qalbu yang mengerti diri

Jangan ada lagi tarian kata yg sumbang menyanyikan Irama Rabbi
Hingga Qalam hanya membelukari hati
dan meracuni akal dari pengertian Maha Maqsudi

Jika jujur yang di cari
maka di atas awanlah mega hilang
bersembunyi menutupi maksud-maksud hati.
Karena Mega tiada perlu mencari di sini
menga hanya berseda gurau
untuk melihat bahagian lain Keindahan Illahi.
Pun menga mencari nun jauh dirembulan bukan pada si pemimpi.

Kelu megah pun memanggil di lanturan kata
Rasa yg halus nyaris tiada tergores dgn kata
tak kan berbaris mahir pada bibir yg kering tiada bahasa
Irama jiwa mengada dengan nada-nada nyala
Sebab huruf membatah untuk bicara dzahir trselubungi pd nyata
Hanya persinggahan Qadim terang di pentas permainan dunia

Malam melenai segenap hati Detak jam dan waktu membisik seru
Menatap celah-celah membelah qalbu. Hai jiwa yang terpaku kaku dlm lena tidur mu
Bukan kah tlah KU isyratkan..Lihatlah adanya Aku disemua laku

Sampai kapan ku tergila-gila. Haruskah pada Rindu untuk Mu
Ku ceritakan lewat sejuta kata. Pada angin aku berbisik mesra
Pada malam kutitipkan cahaya. Pada embun aku bercengrama
Hingga mata memerahpun aku tiada rasa
Hanya cinta dan rindu semarak di dada
Aku hanya sesuatu yg Engkau buat untuk rindu
Atau bahasaku kurang merayu???Duhai Pemilik Qalbu

Ku dekap air dalam gnggaman membuih
Ku belai pesona Jiga awan, anginpun mengangkasa
ku menari bersama senja, sinar mentaripun Memerah
Ku nyayikan kidung indah melodipun ikut bersama
Ohh gerangan saat Pelita kunyalakan di jiwa
Terlihat terang nayata semua Satu Jua

Istirahatlah wahai jiwa yang mengila
Lenalah di alam Insan mimpi mu
Malam telah di rangkul pagi akan menyapa
Biarlah aku dgn segenap jiwa
Dgn sendiri nyatakan membaca Qauniah-Nya
Tidurlah dlm mimpi Ruh-Nya
Dikenikmatan di atas rasa selagi di Mukabir
Dalam heningpun malam memutik amal pun bukan ibadah
Bersama2 nafas zikir tentulah adanya
biar aku lena dlm hening panjang jejak Mukamil

Senin, 07 Maret 2011

OUR LOVE "Kala Aku Gaib dalam Ada"

OUR LOVE
"Kala Aku Gaib dalam Ada"

N:.................................................
KekasihKu,sunguh Tampan dan Penyemburu
Wahai Pujaanku..aku trsipu menatap Mu
Engkaupun malu memandangku
Duhai nuansa hidup....apakah rahasia ini
Mega-mega biru dan segala dahaga
Trsembunyi dalam takbir Wajah-Mu
Bermain dlm gemerintik hujan Tajalli
Duhai pujaan hati segenap Cinta
Tersembunyi rapat dlm tiap cinta Kau dan Aku
Duhai kekasihku, segala Wajah untuk ku
Engkau sembunyi dalam relung hatiku
Aku gila kepada Mu

H:..........................................
Engkau ada dalam diriku Wahai Kekasih
Aku ada untuk menyaksikan Ekau Pujaanku
Tiap waktu, tiap ruang juga kepada jarak
Nun tiap segala yang tak bisa diungkapkan
Dalam waktu ataupun ruang Kau Adalah Hidup ku
Tanpa cela, tanpa ragu, Menerangi aku
Menyala semerbak benderang dalam naungan Asmara
Memesra kita saling pandang ..aku malu
Engkau snantiasa menatap aku
Jangan begitu Duhai Kekasih!!!!
Engkaulah Yang menyegarkan jutaan kedahagaan ku
Akupun Gila pada mu..
Gila yang menjalar ke segala arah dari jiwaku
Duhai Maha Cantik memamerkan merah pipi Mu,
Dengan Wangi-Wangi azali yang mencurah di dagu Indah Mu
Mari jangan malu Kekasih
Mari kita menyanyikan lagu cinta dan dahaga,
Mari kita saling Mengila, Aku gila karena Engkau Mengilai aku
Aku Rindu karena Engkau Memesra-i Aku
Aku Cinta karena Cinta yang kau Beri
Aku Mendekat dan Merayu karena Engkau yg Mau
Duhai Pujaan ku..Aku pun Tergila pada Mu

H:.........................................
Menatap Wajah-Mu duhai Kekasih..!!
Sang Maha Dewi Sumber buhulan rindu
Engkau membuat lidah ku kelu kala di pulas dalam Mulut-Mu
Engkau hasrat hidupku yg tak hancur pupus
Bila smua lebur aku tetap setia Memuja-Mu
Tiada tiram yang bergetar melainkan ada Mutiara Cinta-Mu
Rindu ku mengelora mengeletar dalam cahaya kelip Mata-Mu
Diriku wujud cahaya Kekasih-Mu
Yang Kau sapa dari kedalam Unsur-Mu
Dengan segenap Sifat-ku aku Merindui-Mu,
Aku juga tergila-gila pada-Mu
Kala menyaksikan segenap sifat kelaku dan nama-Mu
aku berbisik "Engkau sungguh Maha Dewi"
dan Engkau menyapa "Engkau Karena Aku"

N:....................................
Terimaksih Duhai Pujaan Hidup ku
Aku ada karena mau MU...
Mari kita memesra ....
kita memesra-i sekujur Wajah hingga meresap kedalam jiwa.
Puaskan dahaga ku..Kekasih..Sungguh aku tak pernah Tau
Jangan kau buat aku lupa kepada Kenikmatan Rengkuh-Mu
Ajari dan bimbing Aku dalam tiap Nuasan Cinta-Mu
Jangan biarkan aku lena dalam lelap dlm sendiriku
tolong ganggu-i tiap malam-malam ku dengan Asmara Cinta-Mu
I LOVE YOU.

H:....................................
Untuk aku yang mabuk kepayang
menetes lenyap dalam kegelapan malam hingga pajar menyapa
lebur dalam keindahan Api, dari Bibir Kekasih nan merona merah
aku demi aku keram dalam ketiadaan
menatapi Tajalli demi Tajalli. ..duhai Engkau Pujaan ku
Sang Maha Dewi yang Malu tersipu menatap ku
Kala Aku me Mesra-i sekujur Wajah Mu..
ohh..Kekasih "Nun berbias"

By...H dan N