Rabu, 02 Februari 2011

Rayuan

Rayuan

Suatu waktu Abu Nawas
menerima tiga orang tamu
yang mengajukan beberapa
pertanyaan kepada Abu Nawas.
“Manakah yang lebih utama,
orang yang mengerjakan
dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa
kecil ?” ujar orang yang
pertama.
“Orang yang mengerjakan
dosa kecil,” jawab Abu Nawas.
“Mengapa begitu,” kata orang pertama mengejar.
“Sebab dosa kecil lebih mudah diampuni oleh Allah,” ujar
Abu Nawas. Orang pertama
itupun manggut-manggut sangat puas dengan jawaban
Abu Nawas.
Giliran orang kedua maju. Ia
ternyata mengajukan
pertanyaan yang sama, “ Manakah yang lebih utama,
orang yang mengerjakan
dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?” tanyanya.
“Yang utama adalah orang
yang tidak mengerjakan
keduanya, ” ujar Abu Nawas.
“Mengapa demikian?” tanya
orang kedua lagi.
“Dengan tidak mengerjakan
keduanya, tentu
pengampunan Allah sudah
tidak diperlukan lagi, ” ujar
Abu Nawas santai. Orang
kedua itupun faham,
Orang ketiga pun maju,
pertanyaannya pun sama.
“ Manakah yang lebin utama,
orang yang mengerjakan
dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?” tanyanya.
“Orang yang mengerjakan
dosa besar lebih utama,” ujar
Abu Nawas.
“Mengapa bisa begitu?” tanya
orang ktiga itu lagi.
“Sebab pengampunan Allah kepada hamba-Nya sebanding dengan besarnya dosa hamba- Nya, ” ujar Abu Nawas kalem.
Orang ketiga itupun merasa puas argumen tersebut.
Ketiga orang itupun lalu
beranjak pergi.
murid Abu Nawas yang suka bertanya
kontan bertanya mendengar
kejadian itu. “Mengapa
pertanyaan yang sama bisa
menghasilkan tiga jawaban yang berbeda, ” katanya tidak
mengerti.
Abu Nawas tersenyum.
“ Manusia itu terbagi atas tiga
tingkatan, tingkatan mata,
tingkatan otak dan tingkatan
hati, ” jawab Abu Nawas.
“Apakah tingkatan mata itu?”
tanya si murid.
“Seorang anak kecil yang melihat bintang di langit, ia akan menyebu bintang itu kecil karena itulah yang tampak dimatanya,” jawab Abu Nawas memberi
perumpamaan.
“Lalu apakah tingkatan otak
itu?” tanya si murid lagi.
“Orang pandai yang melihat
bintang di langit, ia akan mengatakan bahwa bintang
itu besar karena ia memiliki
pengetahuan, ” jawab Abu Nawas.
“Dan apakah tingkatan hati
itu?” Tanya si murid lagi.
“Orang pandai dan paham yang melihat bintang di langit, ia akan tetap mengatakan
bahwa bintang itu kecil sekalipun ia tahu yang sebenarnya bintang itu besar, sebab baginya tak ada
satupun di dunia ini yang lebih
besar dari Allah SWT, ” jawab
Abu Nawas sambil tersenyum.
Si murid pun mafhum. Ia lalu
mengerti mengapa satu
pertanyaan bisa
mendatangkan jawaban yang
berbeda-beda. Tapi si murid
itu bertanya lagi.
“Wahai guruku, mungkinkah
manusia itu menipu Tuhan?”
tanyanya.
“Mungkin,” jawab Abu Nawas
santai menerima pertanyaan aneh itu.
“Bagaimana caranya?” tanya
si murid lagi.
“Manusia bisa menipu Tuhan
dengan merayu-Nya melalui pujian dan doa, ” ujar Abu Nawas.
“Kalau begitu, ajarilah aku doa itu, wahai guru,” ujar si murid antusias.
“Doa itu adalah, “Ialahi lastu lil firdausi ahla, Wala Aqwa
alannaril Jahimi, fahabli taubatan waghfir dzunubi, fa innaka ghafiruz dzambil
adzimi. ” (Wahai Tuhanku, aku
tidak pantas menjadi penghuni surga, tapi aku tidak kuat menahan panasnya api
neraka. Sebab itulah terimalah tobatku dan
ampunilah segala dosa-dosaku, sesungguhnya Kau lah Dzat yang mengampuni segala dosa.
Banyak orang yang mengamalkan doa yang merayu Tuhan ini....(Di Kasih oleh Saeful Anam pada 28 Mei 2010)

Tidak ada komentar: