Sabtu, 05 Februari 2011

Waspada (Muraqabba)

A’uudzu bilaahi minasy syaythaanir rajiim

Bismillahir rahmaanir rahiim

Allahumma shalli ‘alaa Muhammadin wa ‘alaa aali Muhammadin wa sallim

La hawla wa la quwwata illa billahil `aliyyil `azhiim

Rabbi yassir wa la ta’ssir Rabbi tammim bi-l khayr

(Ya Allah… jadikanlah segalanya menjadi mudah, jangan biarkan kesulitan membelenggu diriku, ya Allah… jadikanlah akhir dari setiap upaya ini semata-mata berupa kebaikan)

Sidi Jalaluddi Rumi k berkata, “Wahai dikau yang kehausan dan tak berarah, datanglah! Kami adalah insan-insan yang meminum ‘air’ Makrifat Sayyidina Khidir dari arus sungai beliau. Jikalau kalian tidak dapat ‘melihat air’ itu secara nyata, maka berbuatlah seolah-olah engkau seorang tuna netra. Bawalah sebuah ‘tempayan’ sebagai tempat untuk menangguk ‘air’, dan masukkanlah tempayan itu ke dalam arus sungai. Tenggelamkan dirimu sedalam-dalamnya ke dalam ‘arus sungai’ tersebut, sampai dirimu merasakan suatu sentuhan yang berbobot. Ketika sentuhan itu mulai terasa, berarti engkau telah mengalami suatu bimbingan spiritualitas. Pada saat itu kalbu kalian mulai terlempar dari kehampaan dan kepura-puraan menuju kepada suatu pengalaman ruhaniah yang nyata. Benang merah inilah yang acap kali dilakukan oleh para Awliya Allah (Syaikh, serta penuntun ruhani kita), sehingga hal tersebut haruslah menjadi bahan perenungan dan pendalaman kita mengenai makna muraqaba. Walaupun hal ini bukanlah sesuatu yang amat penting, tetapi merupakan sesuatu yang ‘wajib’ bagi para pengikut thariqat.

Pada kenyataan praktisnya, kita akan melatih beberapa kali secara bersama dan kita berharap dapat melakukannya secara terus-menerus di waktu yang akan datang. Dengan cara tersebut, kita akan menggapai thariqat ataupun ‘jalan yang lurus’ sebagai suatu kebiasaan yang konstan. Jika seseorang memberi kalian suatu format/awrad dengan jumlah yang terdefinisi dan telah ditetapkan, maka kalian harus teguh pada bilangan tersebut. Memang setiap bilangan akan merujuk pada jumlah yang terbatas. Sedangkan dzikir adalah sebuah perjalanan menuju cakrawala yang tidak terbatas, karena dia tak berawal dan tak berakhir. Tetapi bilangan tersebut merupakan latihan spiritual, serta cerminan disiplin kita. Muraqaba adalah cara yang partikular untuk melatih kalbu, dan sangat biasa dilakukan oleh para pengikut thariqat. Dalam kebiasaan kita, yaitu Khatam Khwajagan, kita melakukan rabitha, artinya, kita menenggelamkan kalbu ke dalam hubungan spiritual seperti yang telah diungkapkan di atas. Ada beberapa alasan mengapa hal ini terjadi dan dilakukan—kita diperintahkan untuk melakukannya! Seperti halnya setiap amalan kalbu, demikian pula dalam rabitha, pada awalnya harus memiliki batasan, walaupun selanjutnya amalan tersebut untuk dilakukan secara tidak terbatas. Langkah rabitha seperti inilah yang akan membawa dan mengarahkan kita kepada muraqaba. Mengenai muraqaba itu sendiri, kita temui lebih banyak lagi dalam Hadits Nabi yang banyak kita kenal.

Ketika sayyidina Jibril pada suatu kesempatan mengunjungi baginda Rasulullah , beliau menanyakan hal mengenai Islam, Iman dan Ihsan. Muraqaba adalah suatu jargon yang sangat berkaitan dengan Ihsan—ketika kita beribadah kepada Allah , seakan-akan kita melihat Dia. Walaupun kita tidak mampu melihat Dia; Dia pasti melihat kita. Ini adalah bentuk pelatihan untuk menjadi Ihsan—dan Tasawwuf (Sufisme Islam) adalah media untuk merunutnya. Hal inilah yang membuat tasawwuf sangat menarik sebagai bagian dari Din-al Islam. Bagian yang tertinggi. Dalam tingkatan yang sudah demikian pencapaiannya—Allah -lah Yang Memiliki Haqiqatul Akbar. Apa itu Haqiqat? Yaitu suatu kondisi, di mana pada saat engkau menyembah-Nya, seakan-akan engkau melihat-Nya dan walaupun engkau tidak melihat-Nya, Dia melihatmu. Haruslah kita selalu waspada bahwa Dia selalu melihat kita. Jika suatu saat kalian berkata bahwa, “Aku ini ahli tasawwuf,” maka kalian tidak pantas berkata, “Di mana Allah ? Aku tidak melihat-Nya. ” Itu berarti kalian belum masuk ke tingkat Ihsan. Kalian harus selalu istiqamah untuk melakukan hal tersebut. Di dalam apa yang dicontohkan oleh Rasulullah , ada yang disebut dengan musyahada. Hal ini tentu tidak mudah untuk dicapai. Musyahada disebut juga ‘bersaksi’. Muraqaba (berasal dari kata raqaba/raqib) itu sendiri merupakan faktor kedua setelah kondisi kesaksian ini karena dia menyangkut kesadaran bahwa kita diamati oleh-Nya.

Sidi Muhyidin Ibnu Arabi menerangkan bahwa asal kata ini berakar dari ayat terakhir Ayat Kursi, “Wa laa ya-uuduhu hifzhuhumaa…” Dia (Allah ) adalah Raqib as-samawaati wa-l-ardh (Pemilik Alam Dunia dan Akhirat). Muraqaba dari seorang hamba merupakan implikasi dan imitasi dari Atribut Ilahi, yaitu al-Raqib atau Dia Yang Memiliki Pengelihatan atas Segala Sesuatu dengan Segala Yang Dia Miliki. Muraqaba yang kita laksanakan merupakan khazanah kesadaran bahwa Dia melihat kita. Dia melihat di setiap lingkup Waktu yang ada, sebagaimana Waktu adalah Dia. Waspadalah mengenai hal ini. Dia mengawasi di dalam setiap untaian waktu, siang dan malam hari. Pada kondisi biasa-biasa saja, tingkatan kewaspadaan tersebut tidak melekat pada diri kita. Mengapa? Karena kita terlalu sibuk dengan kehidupan yang serba materialistik—yang kita anggap lebih bernilai. Kita sudah sedemikian tenggelamnya dalam atribut yang mendunia. Dunia memang diciptakan untuk ‘merayu’ kita. Namun demikian, melalui dunia pula kita dapat mengambil hikmah untuk selalu mencari-Nya. Kita pun tak pantas berkata bahwa kita akan lebih baik jika tidak berada di dunia; karena kalau bukan karena “dunia”, bagaimana kita mengenal Dia? Sekarang permasalahannya adalah, kita berada dalam situasi sedemikian rupa, dan tidak ‘bersama’ Dia.

Ibnu Ata`illah berkata, “Subhanallah! Segala Puji bagi Allah Yang Menciptakan segala yang tak berawal.” Dia menciptakan suatu lapisan selubung, dan hal tersebut ghaib. Hanya dengan usaha mendekati ‘selubung’ tersebut, kita akan mengerti ‘apa’ di balik semua ini. Segala format ritual yang kita laksanakan bukanlah untuk menyingkirkan atau menyingkir dari dunia, tetapi mencoba memahami untuk apa dunia ini diciptakan. Kita harus mengerti hal itu. Muraqaba adalah usaha untuk menjadi sadar, dan lebih sadar lagi. Kita harus memulai dengan hal-hal yang sederhana dulu, sebelum melangkah kepada hal yang lebih besar. Walaupun, pada kenyataannya apa yang kita sebut ‘kecil’ pun sebenarnya tidak kecil; tetapi sangat besar. Apa saja ‘perbekalan’ kita untuk ‘melihat’ Allah ? Kita hanya punya daya imajinasi saja. Maulana Syaikh membacakan suatu ayat yang menyatakan bahwa Allah bersama kita, di mana pun kita berada. Cobalah berimajinasi bahwa Dia bersama kalian. Oleh karena itu, cobalah melakukan satu langkah lebih awal, yaitu membayangkan bahwa Rasulullah selalu bersama kalian. Beberapa dari kita bisa diberikan karunia untuk dapat merasakan/melihat itu, tetapi pada umumnya jarang sekali. Jadi, apa yang kita lakukan adalah ‘membayangkan’ seseorang yang memang sudah berada di jalur Rasulullah. Dengan metode ini, tentunya akan sangat mudah bagi kita. Kita bisa melakukannya setiap saat. Ketika kita ingin melakukan muraqaba, kita akan menemukan kemudahan. Orang akan selalu bertanya mengenai bagaimana caranya, khusunya orang-orang Barat atau orang-orang yang bersikap serba rasional. Bahkan mereka pernah bertanya kepada Maulana Syaikh, bagaimana caranya mengungkapkan cinta. Yang terpenting di sini sebagai jawaban adalah, bagaimana kita membuat sesuatu menjadi sederhana atau mudah. Apa yang kita laksanakan dalam muraqaba adalah: berpakaian serba putih dan duduk dengan khusuk. Hikmah yang dapat diperoleh adalah kita dapat memperoleh kekuatan spiritual yang dahsyat. Kalian bisa melakukannya kapan saja, khususnya di malam hari. Harus dicapai kondisi ghusl, yaitu mandi terlebih dahulu (suci hadats besar), segala sesuatu harus dibersihkan, karena hal tersebut sangat penting. Muraqaba ini merupakan sebuah langkah dalam penyucian kalbu (tazkiya tun-nafs). Lahir dan batin harus suci. Kemudian duduk dengan khusuk lalu berkatalah dalam kalbu, di dalam kehadiran Maulana Syaikh, Rasulullah , dan Allah , “Engkau bersamaku sepanjang hari, tetapi akulah yang tidak bersama-Mu. Sekarang aku mencoba meninggalkan segalanya demi kesungguhanku untuk bersama-Mu. Diriku tidak mampu untuk bersama-Mu dalam keadaan aku bersama atribut keduniaan.” Inilah kiranya suatu cara untuk membersihkan batin. “Aku duduk bersama-Mu dalam kehadiran waktu, aku selalu berusaha untuk bersama-Mu.”


Untuk itu kita harus duduk dalam kesunyian dan kegelapan. Kita harus seksama mengosongkan diri kita dari berbagai keburukan. Mengapa keburukan-keburukan itu tidak condong untuk menginggalkan kita? Karena kita menyukainya. Malah seringkali kita ini ‘gemar’ dengan penderitaan dan kesedihan yang kita buat sendiri. Ada sebuah cerita dari sebuah negeri di timur, di mana terdapat sekelompok orang yang berkonsentrasi pada meditasi ala Jepang. Di sebuah kuil Zen, pengunjung diantar berkeliling kuil oleh pembimbingnya langsung. Pengunjung tersebut mengatakan bahwa tempat ini pastilah tempat yang suci, karena banyaknya orang yang duduk dalam posisi yang khas dan meditatif. Lalu timbullah pertanyaan, “Mereka sedang bermeditasi apa?” Pembimbing menjawab, “Orang ini bermeditasi mengenai film yang dia tonton semalam; yang ini mengenai tempat tidur, dan lain-lain.” Setiap orang sedang melakukan ‘muraqaba’ dengan versinya masing-masing. Mereka melakukannya untuk hal-hal yang salah! Kalian harus mengerti kepada ‘Siapa’ ber-muraqaba harus diarahkan! Suatu ketika seorang anak muda datang kepada Syaikh, “Maulana, Saya bingung—berilah saya rasa damai. Beberapa waktu yang lalu, saya jatuh cinta kepada seorang gadis, dan kami sempat memutuskan untuk menikah. Tetapi di lain pihak, dia menemukan pria lain yang dia suka dan malah akhirnya merekalah yang menikah! Saya sangat menderita akibat hal ini, tak tahan rasa sakitnya.” Lalu Syaikh menjawab, “Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Temui gadis lain dan nikahi dia.” Si anak muda menjawab, “Usul yang baik, Syaikh! Tetapi pikiran saya selalu terbersit oleh kenangan akan gadis itu dan jikalau saya mencoba jutaan kali, Saya tidak bisa melupakannya. ” Syaikh bertanya, “Mengapa kamu sampai mengingatnya seperti demikian?” Anak muda itu menjawab, “Sebenarnya bukan saya sengaja melakukannya, tetapi selalu saja hal itu datang ke ingatanku Syaikh. Selalu saja bayangannya melewati nuansa pikiran ini.

Nah bukankah hal ini sangat luar biasa? Si anak muda tidaklah sampai menyembah gadis itu; tidak pernah menerima formulasi wirid dari gadis itu yang memuat nama-nama atribut sang gadis. Inilah konsekuensi dari kebersamaan. Ketika meletakkan seseorang di kalbu dengan rasa cinta (mahabbah), kita tidak akan mampu untuk menghilangkannya. Inilah buahnya muraqaba. Lalu mengapa kita tidak melakukan hal tersebut terhadap Syaikh atau guru kita? Sang Syaikh hanya memerlukan satu kali untuk memasuki kalbu dan pikiran kita—lalu akan terus bersemayam di dalamnya terutama setelah mahabbah, kita pun berkonjugasi dengan itu. Para jamaah seringkali mengatakan, “Ya Maulana, kami sudah mencoba muraqaba, tetapi sesaat pada saat dimulai, semua hal yang bersifat keduniaan malah menghampiri kami. Suasana kantor, pekerjaan, anak-anak. Lantas kami harus apa? Syaikh menjawab, “Kalian telah membuat suatu muraqaba. Kalian harus puas dengan hasil tersebut. Memiliki suasana pekerjaan, kantor, dan anak-anak dalam pikiran dan kalbu, itu pun muraqaba namanya. Setiap hal yang kalian cintai, sudah diusahakan, cita-citakan atau tercapai sepanjang hidup kalian selama ini, akan membuah dengan sendirinya di dalam diri kalian. Saya pun berada dalam situasi yang sama. Saya ber-muraqaba kepada Syaikh saya. Saya memeluk dan mencium tangan dan kakinya. Sekarang hal-hal kecintaan tersebut secara terus-menerus membuah di dalam kalbu saya. Dalam kalbu ini terus berkata, “Ya Maulana, ya Maulana,” walaupun pikiran kita tidak memerintahkannya. Ketika sebuah objek yang menimbulkan mahabbah itu sudah bervibrasi di dalam kalbu, pada saat itu kalian sudah dalam kondisi muraqaba. Ketika semua vibrasi ini berulang, dan berulang lagi, maka objek itu sendiri akan hilang. Inilah tingkatan tertinggi dalam muraqaba. Hal ini bergantung kepada siapa yang kalian cintai.

Seorang jamaah yang melakukannya dalam kondisi bising mengalami kesulitan, karena dia tidak dapat mendengar ‘suara dari dalam dirinya.’ Sebenarnya hal itu mudah saja, asal kita mau berusaha setenang mungkin. Salah satu cara yang paling efektif adalah jangan bergerak sama sekali. Duduk dengan rileks dan jangan tegang. Biarkan tubuh kalian jatuh, ini bagian dari usaha pengosongan atribut keduniaan tersebut. Lepaskan. Ingat akan Syaikh atau guru-guru kita, ingat bahwa Syaikh mampu untuk melihat hal itu. Ketika kalian bernafas dengan tenang, ucapkan di setiap nafas itu, ALLAH, ALLAH, ALLAH, ALLAH! Demikian selanjutnya—tak perlu metode lain.

Wa min Allah at taufiq bi hurmatil habib bihurmatil Faatiha.


MEDITASI SUFI

Muraqabah adalah meditasi. Meditasi adalah konsentrasi
dan fokus. Meditasi adalah meminta dan mencari jalan
untuk mencapai apa yang Anda cari. MEDITASI SUFI
adalah tingkat terakhir, titik akhir dari
spiritualitas yang mampu kita capai. Meditasi bukannya
duduk di atas kaki Anda, bersila, memejamkan mata
sambil berpikir bahwa Anda telah mencapai apa yang
sedang Anda cari. Hal tersebut hanyalah imitasi, bukan
meditasi sebenarnya.

Meditasi bukanlah bagi pemula. Ini merupakan tingkat
akhir pagi para darwish dalam Thareqat ini, tingkat
tertinggi bagi amalan Sufi. Meditasi bukan untuk semua
orang. Pertama-tama para pemula harus di persiapkan
dan di latih melalui latihan-latihan spiritual lain
yang mengarah pada perkembangan dari berbagai
karakteristik yang diperlukan untuk mencapai
tingkatan meditasi. Dia harus belajar tata cara dan
menguasai metode sufisme untuk mencapai titik itu. Dia
harus di latih.

Latihan ini amat penting, karena meditasi meminta Anda
untuk menghentikan berbagai perasaan dan keinginan.
Anda harus menghilangkannya untuk menyiapkan diri,
bahkan pada tahap awal meditasi. Diri Anda dipenuhi
dengan berbagai hal yang tidak manfaat dan ini harus
disucikan, juga belajar untuk mengendalikan berbagai
pikiran dan perasaan sebelum pelaksanaan meditasi Sufi
Anda berhasil. Meditasi Sufi adalah sebuah ‘koneksi
atau hubungan’, dan fisik Anda harus mampu membawa
‘koneksi’ ini.

Jika melakukan meditasi namun Anda masih di bawah
kontrol nafsu-nafsu, maka meditasi Anda tidak akan
berhasil. Mungkin Anda mengira sedang bermeditasi,
namun sebenarnya hanya menipu diri sendiri. Anda tidak
akan berhasil dalam disiplin ini tanpa mulai dengan
penyucian diri dan belajar bagaimana menghentikan
gangguan-gangguan tersebut. Dalam meditasi Sufi, Anda
harus melepaskan segala keinginan-keinginan selain
cinta pada dia yang sedang menjadi tujuan meditasi
Anda. Lenyapkan segala nafsu keinginan kecuali cinta
pada yang dituju. Jika tersisa keinginan lain, maka
meditasi Anda tak membuahkan apapun. Mungkin Anda
menyatakan kalau Anda mempraktekkan meditasi namun hal
itu tidak berdasar.

Laksana sebuah sungai mengalir ke samudra, setelah
sampai maka merekapun menyatu, maka demikian pula
halnya dengan jalan meditasi Sufi yang mengarahkan
para pencari pada kefanaan di dalam apa yang sedang
dia cari. Bagaimanapun, para pencari harus
mempertahankan pikiran tunggal untuk mencapai tujuan
akhirnya. Hanya jika dia berkemauan dan mampu
meninggalkan segala hal dan kembali ke dalam dirinya
dengan perhatian tak terbagi, maka dia mampu
menjelajahi jalur ini sampai akhir. Jika berhasil,
baru dia akan menemukan apa yang di carinya.

Tidak ada komentar: